|
|
|
|
Wadian Tanggal 23 Nov 2014 oleh muhammad baidowi. |
Satu bentuk budaya yang menonjol di Kabupaten Barito Selatan adalah Seni Tari. Dan tari yang paling populer adalah Tari Wadian. Tarian ini hanya ada di DAS Barito, dengan ciri khas pemakaian gelang besar pada tangan para penarinya. Dengan demikian selama tarian dilakukan, gelang-gelang itu senantiasa beradu mengeluarkan bunyi-bunyian yang sangat meriah.
2. APA ITU WADIAN?
Wadian secara ringkas berarti basir, pemimpin ritual keagamaan, dukun dan tabib. Wadian juga berarti proses pekerjaan ritual Wadian. Dan wadian juga berarti tarian magis untuk tujuan pengobatan atau kematian.
Dalam masyarakat Dayak DAS Barito, terutama pada Suku Dayak Ma’anyan, Dusun dan Lawangan, wadian terdiri dari beberapa jenis:
1. Wadian Amunrahu, yaitu pekerjaan wadian yang khusus dilakukan untuk tujuan pengobatan orang sakit.
2. Wadian Dadas, yaitu pekerjaan wadian yang khusus dilakukan untuk pengobatan orang sakit. Wadian ini dilakukan oleh Wadian Perempuan, juga dikenal sebagai Wadian Dusun, bahkan dipandang juga sebagai Wadian Hakei (Balian Islam).
3. Wadian Bawo, yaitu pekerjaan wadian yang dilakukan oleh kaum laki-laki dan bertujuan untuk pengobatan orang sakit.
4. Wadian Matei, yaitu wadian khusus yang hanya dilakukan untuk upacara kematian.
5. Wadian Wara, yaitu wadian khusus yang hanya ada pada suku Dayak Lawangan dan dilaksanakan dalam upacara kematian.
.
3. TARI WADIAN BAWO
(Versi Suku Dayak Ma’anyan)
Berdasarkan catatan Tjilik Riwut dalam bukunya ”KALIMANTAN MEMBANGUN, Alam dan Kebudayaan”, penerbit PT. Tiara Wacana Yogyakarta, halaman 474-475, asal mula Wadian Bawo adalah dari cerita rakyat suku Dayak Ma’anyan sebagai berikut :
Alkisah, tersebutlah sebuah kampung bernama Tenong Ranayab di daerah tanah tinggi Bawo yang dikepalai seorang Pembekal bernama Datu Too. Datu Too memiliki seorang anak laki-laki yang sangat gemar berburu bernama Lala. Lala dikenal masyarakatnya sebagai pemuda yang mengagumkan karena kekuatan tubuhnya, cita rasa berkeseniannya yang sangat tinggi dan kesaktiannya yang luar biasa.
Suatu kali dia mendemonstrasikan keahliannya berburu dari awal sampai akhir dalam bentuk tarian. Tarian inilah yang kemudian menjadi bakal Wadian Bawo. Dan dalam perkembangan selanjutnya, Tarian Wadian Bawo yang juga dikenal sebagai Tari Galang Bawo ini tumbuh menjadi tari sakral khas kaum lelaki yang bangga mempertunjukkan keahlian berburu, kekuatan otot dan kedigjayaan ilmu gaib dalam pengobatan orang sakit.
Menurut tutur para tetuha, Wadian Bawo berikut perkembangannya sebagai tarian gaib yang khas untuk pengobatan orang sakit lahir antara tahun 1501-1512.
.
4. TARI GANGGERENG
(Versi Suku Dayak Ma’anyan)
Tjilik Riwut juga mengisahkan lahirnya Tari Ganggereng yang bertepatan waktunya dengan kelahiran Tari Wadian Bawo, tetapi berasal dari kampung yang berbeda. Kalau Wadian Bawo berasal dari kampung Tenong Ranayab maka Tari Ganggereng berasal dari Kampung Sarunai. Lalu bagai mana lahirnya Tari Ganggereng itu?
Suatu hari kampung Sarunai diserang musuh yang memporak-porandakan kampung itu. Akibat serangan itu, rakyat spontan bersatu melawan dan terjadilah pertempuran yang sangat dahsyat. Rupanya perlawanan rakyat Sarunai tidak cukup sekedar memukul mundur para agresor, justru sebaliknya mereka berhasil mengejar dan mengalahkan musuhnya sampai ke kampung mereka.
Karena sangat gembira berhasil memukul lawan dan mengejar hingga kampung halamannya maka dalam perjalanan pulang dari peperangan, para pahlawan Sarunai menari-nari sambil terus mengguncang-guncangkan senjata yang mereka bawa. Dengan demikian, lahirnya tari Ganggereng adalah luapan kegirangan yang sangat besar atas prestasi mengalahkan musuh secara gemilang.
.
5. TARI WADIAN DADAS
(Versi Suku Dayak Ma’anyan)
Tari Wadian Bawo dan Ganggereng kian meluas di banyak desa pada berbagai kalangan suku yang ada. Kekaguman orang kepada kepahlawanan penduduk Sarunai kian berkembang seiring tumbuhnya tari Ganggereng. Namun kekaguman kepada Wadian Bawo dengan tampilnya sosok Lala yang perkasa ternyata jauh lebih memukau. Akibatnya deman Lala dan Wadian Bawo kian menyebar kemana-mana.
Sampai akhirnya, pada tahun 1540, tersebutlah seorang wanita bernama Ineh Payung Gunting yang sangat berambisi menandingi kepiawaian, keperkasaan dan kesaktian Lala dengan wadian Bawo yang sangat dibanggakannya. Apa yang terjadi? Pergilah Ineh Payung Gunting keluar kampung menuju suatu tempat yang sangat baik untuk bertapa di Bukit Baratus alias Pegunungan Meratus. Tidak ada niat lain kepergian wanita cantik itu kecuali untuk mencari kesaktian yang sehebat-hebatnya dan keahlian lebih dalam menandingi tarian sakral wadian Bawo yang sudah terkenal.
Akhirnya, dari pertapaan di dalam goa itulah Ineh Payung Gunting bertemu dengan seekor ular besar jenis tadung kobra yang berdiri menari-nari melenggak-lenggokkan kepala serta pinggangnya yang ramping. Setelah itu dia juga berjumpa dengan seekor macan yang melompat-lompat kesana-kemari menuntun ilhamnya yang sangat dahaga. Ringkas cerita, kedua binatang inilah yang mengajarinya petunjuk dan gerak tari nan sangat indah dalam tapabratanya yang hening bisu. Dalam pertapaan itu dia juga menyerap makna melayang-layangnya mangamet si burung elang gaib. Sampai akhirnya, sempurnalah apa yang diidamkannya dari pertapaan itu, yaitu tercapainya kepandaian menari, ketangguhan ilmu kesaktian dan terkabulnya ilmu pengobatan secara gaib.
Hasilnya, tanpa terduga ternyata Ineh Payung Gunting sudah menjelma menjadi seorang penari handal dengan lenggak-lenggok erotis ular tadung, lompatan-lompatan gesit macan hutan dan mampu melayang-layang dalam wujud burung elang (mangamet) penguasa angkasa raya. Wanita inilah yang kemudian dikenal sebagai cikal bakal Wadian Dadas.
.
6. INEH PAYUNG GUNTING
(Versi Suku Dayak Ma’anyan)
Pada awalnya, dalam adat suku Dayak Ma’anyan umumnya dan Suku Bawo khususnya, Wadian digunakan sebagai media pengobatan atau penyembuhan dari segala penyakit. Para pelaku wadian dianggap mempunyai kekuatan spiritual yang luar biasa. Kekuatan tersebut identik dengan kekuatan fisik laki-laki sehingga terbentuklah pandangan bahwa dunia wadian adalah milik laki-laki. Wadian laki-laki inilah yang dikenal dengan Wadian Bawo.
Kondisi tersebut terus berlangsung selama perjalanan kehidupan suku Bawo sampai pada suatu ketika terjadi pendobrakan dominasi laki-laki dengan munculnya seorang perempuan bernama Diang Dara Sangkuai Ulu. Perempuan ini dianugerahi kekuatan dan keterampilan wadian oleh seorang Dewi cantik dari Gunung Paramatun yang bernama Ineh Payung Gunting.
Pada awal penampakannya Ineh Payung Gunting berwujud seekor burung elang. Ineh Payung Gunting sangat tertarik dengan Diang Dara Sangkuai Ulu yang rajin mencermati setiap gerak-gerik ular. Akhirnya, Ineh Payung Gunting mengajarkan keahlian wadian serta menunjukinya kelengkapan-kelengkapan wadian seperti gelang dan selendang. Wadian wawei alias Wadian perempuan inilah yang kemudian terkenal luas dengan sebutan Wadian Dadas.
Keahlian Wadian Dadas ini kemudian diajarkan pula oleh Diang Dara Sangkuai Ulu kepada teman-teman perempuannya. Upaya-upaya memberdayakan diri dari keterkungkungan pandangan tradisional atas dominasi laki-laki ini nampaknya sangat menggangu pemikiran para laki-laki diantaranya Lala, anak kepala Suku Bawo yang selama ini dianggap paling handal melakukan wadian Bawo. Secara konfrontatif Lala menghendaki Diang Dara Sangkuai Ulu menghentikan niatnya dan menyadarkannya bahwa perempuan mempunyai banyak keterbatasan sesuai kondratnya. Konflik pun tidak dapat dihindarkan. Namun Diang Dara Sangkuai Ulu ternyata tetap bersikeras pada pendiriannya bahwa wanita juga mempunyai hak untuk mengangkat harkat dan martabatnya, terlebih lagi dengan tujuan mulia menolong sesama manusia melalui wadian. Maka terjadilah aksi saling unjuk kebolehan.
.
7. LAHIRNYA IRUANG WUNRUNG (1)
(Versi Suku Dayak Ma’anyan)
Lala pun sangat bersemangat mempertontonkan kebolehannya menari Wadian Bawo seraya memamerkan otot dan kesaktiannya kepada pesaing cantik Diang Dara Sangkuai Ulu. Namun apa yang terjadi? Diang Dara Sangkuai Ulu bukannya takut, justru sebaliknya dia melawan aksi atraktif Lala itu dengan membalas mempertontonkan keahliannya menarikan Wadian Dadas. Walhasil, gemerincing gelang-gelang Bawo dan Dadas pun silih berganti membelah suasana. Persaingan terjadi dengan sangat seru, keras dan memukau. Singkat kata, jurus atraksi baru Wadian Dadas yang dikeluarkan Diang Dara Sangkuai Ulu ternyata tidak kalah dahsyat dari gerakan berotot Wadian Bawo. Artinya, gerakan otot dan olah tubuh Lala yang mempertunjukkan keperkasaan lelaki harus berbalas tunai dengan atraksi sakti Diang Dara Sangkuai Ulu yang lincah bagai lompatan macan, melayang-layang bagai kepakan sayap burung mangamet dan gemulai laksana lenggak-lenggok leher dan pinggul ular tadung kobra yang seksi.
Menyikapi perang terbuka yang mengarah persaingan tidak sehat maka berkat kearifan kepala suku Bawo, konflik pun dapat diselesaikan secara damai dan bijaksana. Kepala suku Bawo menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah berkedudukan setara didalam kehidupan. Oleh sebab itu maka beliau menyarankan kepada Lala dan Diang Dara Sangkuai Ulu untuk secara bersama-sama memajukan keahlian wadian dalam bentuk wadian baru yakni wadian bersama. Penampilan kolaboratif kedua wadian inilah yang dikemudian dikenal luas dengan istilah Iruang Wunrung (Ma’anyan) atau Ruang Wunrung (Dusun).
.
8. LAHIRNYA IRUANG WUNRUNG (2)
(Versi Suku Dayak Ma’anyan)
Pada suatu hari yang cerah, Kepala Suku Bawo sudah merencanakan menggelar acara Tumet Leut yaitu pertunjukan kesenian mirip berbalas pantun di depan rumah mereka. Karenanya beliau keluar rumah dengan diiringi anak dan istrinya.
Di halaman rumah, tampak telah tersedia ansak atau wadah sesajen yang masih kosong, dupa parapen, seperangkat alat musik, penginangan dan perangkat lainnya. Pada saat yang sama berdatangan pula para kerabat dan tetangga yang memang diundang untuk menghadiri acara seni itu. Tidak seberapa lama datanglah ibu Pasungan yang bertugas menyediakan isi ansak, maka wanita ini pun mengisi ansak dengan sesajen yang terdiri dari telur ayam, kue serabi, gula merah, ayam masak, buah kelapa dan harum-haruman. Belum lama sesajen selesai disusun rapi, kepala suku pun meminta istrinya yang sehari-hari dipanggil Ineh untuk mulai menembangkan Tumet Leut. Agaknya dia tidak sabar untuk segera mendengarkan lantunan lagu yang sudah lama tidak disenandungkan.
Pada saat Ineh sedang asyik mengalunkan Tumet Leut, tiba-tiba Lala datang dengan kasar dan marah sehingga tumet leut pun terhenti. Karena suasana tiba-tiba berubah, segera Kepala Suku bertanya kepada putra kebanggaannya. Apa jawab Lala? Rupanya dia sedang sangat marah besar karena wanita yang bernama Diang Dara Sangkuai Ulu mengaku sebagai Wadian dan itu merupakan kelancangan yang sangat ganjil dari seorang wanita. Tidakkah wadian hanya khusus untuk pria saja?
“Apa, iya?”
“Tentu saja iya. Apakah ayah anggap Lala sedang berbohong dan berpura-pura?”
“Ya.., tidak juga. Kan wadian hanya keahlian kaum pria saja, jadi apa mungkin wanita mengaku demikian? Dan lagi…., apa kamu tidak marah lantaran dia menolak kamu…?”, pancing kepala suku.
”Bukan itu masalahnya. Perempuan tidak tahu diri itu sudah terang-terangan mengaku wadian dan mengaku mampu menolong orang dengan wadiannya. Dia kabarnya memperoleh ilmu dari seorang dewi yang berasal dari Gunung Paramatun yang bernama Ineh Payung Gunting.”
”Kalau begitu kita semua masuk ke dalam rumah saja, kita makan dulu. Sambil makan, silahkan anakku berkisah tentang perempuan itu. Mari….!”
Maka orang-orang pun mengikut di belakang kepala suku memasuki rumah besar. Ringkas kata, dalam suasana makan, Lala pun bercerita kepada semua yang hadir di persantapan itu.
Sementara di tempat lain dan dalam suasana lain, Diang Dara Sangkuai Ulu sudah mencapai tahap akhir latihannya. Kembali dia mencermati gerak-gerik erotis ular yang meliuk-liukkan tubuhnya. Dia meniru gerak-gerik itu sekuat tenaganya. Tidak ada musik yang mengiringi. Hanya desau air mengalir dan gesekan dedaunan tertiup angin yang menjadi musiknya. Namun karena penghayatan yang sangat kuat, tanpa musik pun tarian itu sangatlah indah jadinya. Luar biasa. Sampai akhirnya, tiba-tiba datang seekor burung elang yang terbang tinggi-rendah dengan kepak sayapnya yang sesekali membentang diam.
Ternyata, elang itu penjelmaan dewi cantik yang bernama Ineh Payung Gunting. Dia pun turun dan berubah ke wujud aslinya. Katanya: ”Aku Ineh Payung Gunting dari Gunung Paramatun. Aku peduli dengan hasratmu yang kuat untuk menjadi wadian. Karena kesungguhanmu itu maka hari ini kuturunkan ilmuku untukmu dan kamu akan menjadi wanita pertama sebagai Wadian Dadas. Maka, jadilah orang yang setia dalam mengabdi kepada sesama.”
”Baiklah, Ineh”, jawab Diang Dara Sangkuai Ulu dengan penuh hormat. ”Terima kasih atas kebaikan Ineh kepada saya. Saya berjanji setia mengabdikan diri bagi kepentingan sesama.”
Maka Ineh Payung Gunting pun menyerahkan gelang-gelang dadas dan memakaikannya ke tangan Diang Dara Sangkuai Ulu. Kemudian Ineh Payung Gunting mengajari gerak-gerik wadian dadas seraya mengalunginya selendang. Setiap gerak yang diajari diikuti dengan seksama oleh Diang Dara Sangkuai Ulu. Akhirnya, jadilah dia Wadian Dadas yang sempurna.
Sampai pada hari yang lain, tampaklah Diang Dara Sangkuai Ulu sedang melatih beberapa teman wanitanya. Tanpa diduga, datanglah Lala yang lama dendam kepadanya. Dengan marah-marah Lala menghentikan latihan itu. Kata Lala: ”Sudahlah Diang Dara Sangkuai Ulu. Tidak perlu kamu mengajari mereka hal-hal begitu. Wadian adalah pekerjaan laki-laki. Perempuan tidak bisa menjadi wadian. Wanita hanya boleh belajar memasak, melahirkan, mengasuh anak dan menjadi istri!”
”Semua itu kami pelajari karena memang itulah dunia kami. Tapi kami juga mau mengabdikan diri kepada kepentingan sesama, sehingga menjadi wadian tidaklah cukup untuk lelaki saja!”
”Kamu salah, Sangkuai Ulu!”, teriak Lala. ”Kamu melawan kodrat kewanitaanmu!!”
”Kami tidak merasa melawan kodrat!”, jawab Diang Dara Sangkuai Ulu tenang. ”Kami tetap akan menjadi wadian Dadas, wadian yang serupa tapi tidak sama dengan Wadian Bawo kebanggaanmu itu. Maaf saja, kami tetap berusaha menjadi wadian karena kami ingin berbuat kebajikan!”
”Tidak!!”, teriak Lala marah, ”hentikan dan turuti keputusanku. Apa kamu sanggup seperti ini..?”, tantang Lala seraya mendemontrasikan Wadian Bawo.
Diang Dara Sangkuai Ulu tertegun mendengar tantangan Lala. Sesungguhnya dia berniat menahan diri dan tidak melayani provokasi itu. Namun karena teman-temannya merasa perlu membalas maka mereka pun menjawab tantangan itu dengan mendemonstrasikan Wadian Dadas bersama-sama. Rupanya, aksi balas Wadian Dadas Diang Dara Sangkuai Ulu dan kawan-kawan membuat Lala sangat terkejut, tertegun dan salah tingkah. Meski pun begitu dia terus membawakan Wadian Bawonya menghadapi Wadian Dadas yang terus pula beraksi. Hasilnya, kedua fihak terus bersaing dalam keunggulan tari masing-masing. Kepala suku Bawo yang dari kejauhan membiarkan aksi permusuhan kedua fihak berlangsung akhirnya mendekat dengan membawa beberapa perangkat upacara. Beliau masuk ke arena persaingan dan memotong aksi tari permusuhan itu dengan maksud mendamaikan mereka. Katanya: ”Berhentilah kalian memamerkan tari permusuhan. Jangan lagi menari karena kemarahan. Jika kalian ingin dikenal sepanjang zaman maka permusuhan ini harus dihentikan dan kita tampilkan keduanya dalam satu tarian yang penuh perdamaian. Mari kita tampilkan Wadian Dadas dan Bawo sebagai tarian bersama.”
Akhirnya, Diang Dara Sangkuai Ulu dan Lala berhasil didamaikan oleh Kepala Suku Bawo. Mereka akhirnya mau saling memaafkan. Mereka berjanji untuk tidak saling merendahkan. Mereka pun bersumpah tidak lagi saling menghina. Mereka juga dimintakan kesungguhan nan sejati atas perjanjian itu. Maka atas keberhasilan itulah, kedua fihak di tampung tawari dalam sebuah upacara perdamaian adat kecil. Hasilnya, sejak saat itu Wadian Dadas dan Bawo tidak lagi beradu dalam tari permusuhan yang saling menjatuhkan namun senantiasa tampil bersama dalam sebuah pertunjukan yang hadir membawa gairah cinta dan saling menguatkan.
.
9. AWAL PENGOBATAN
WADIAN BAWO DAN DADAS
(Versi Suku Dayak Dusun Witu Ma’ai)
Pada zaman dahulu, keberadaan manusia di Kalimantan sangatlah jarang, bahkan sangat luar biasa jarang. Meskipun begitu, pada sebuah tempat di hulu sungai Barito, di Gunung Pararawen, tersebutlah sebuah kelompok masyarakat kecil yang dipimpin seseorang yang bernama Tionggomba. Diluar masyarakat ini terdapat pula kelompok lain di sebelah timur yang dikepalai Maharaja Aji. Kelompok kecil lainnya berdomisili di sebelah barat dibawah pimpinan Balayurnompur Balikar Tana. Di sebelah selatan ada Anting Mamana dan keluarganya. Sedangkan di bagian selatan berdiamlah Silulaut Danum beserta keluarga kecilnya.
Meskipun masing-masing kelompok kecil tinggal berjauhan namun persahabatan mereka sangatlah kuat sehingga apabila salah satu kelompok memerlukan bantuan maka kelompok lain akan datang asalkan menerima kabar. Dengan begitu kegotong-royongan yang terbina sangatlah kental.
Tersebutlah peristiwa pada satu kampung di sungai Tewei yang disebut sebagai kampung Tendung Ranayas, Ranayas Bakoi Lou Ranayas Bakoi Belai. Di kampung ini tinggallah beberapa orang dari kelompok suku yang berbeda-beda. Kehidupan mereka rukun dan damai. Mereka hidup menurut adat mereka masing-masing.
Diantara mereka ternyata ada penduduknya yang bisa menjadi wadian yaitu Reun si wadian laki-laki dan Amme istrinya selaku wadian perempuan. Singkat cerita, sakitlah salah seorang penduduk di kampung itu. Namun celakanya, sakit itu tidak kunjung sembuh berbulan-bulan walau pun bermacam-macam obat telah diusahakan dan berbagai jenis ramuan telah diberikan. Sampai akhirnya mereka berkesimpulan bahwa penyakit yang diderita bukan sakit sembarangan dan harus mencari pengobatan lain. Maka atas kesepakatan bersama, diundanglah Reun dan istrinya Amme untuk mengadakan pengobatan wadian. Atas undangan itu keduanya pun tidak keberatan. Ringkas kata, inilah pengobatan wadian yang pertama dilakukan oleh Wadian perempuan maupun laki-laki di tepian sungai Barito.
.
10. WADIAN DADAS = WADIAN HAKEI
(NABI MUHAMMAD DALAM KEPERCAYAAN DAYAK DUSUN WITU MA’AI)
Tari Wadian Dadas yang hidup di Kabupaten Barito Selatan, khususnya di sekitar desa Kalahien pada suku Dayak Dusun Witu, merupakan bukti akulturasi yang sangat panjang antara Kaharingan (Animisme-Dinamisme khas Dayak), Hindu dan Islam. Keserasian dan keselarasan yang terus berkembang dari masa ke masa ini semakin membuktikan bahwa budaya lokal memang senantiasa akomodatif dan kooperatif atas setiap perkembangan yang terjadi. Maka untuk membuktikannya, inilah hikayat lahirnya Wadian Dadas orang Dayak Dusun Witu di sekitar Desa Kalahien yang diceritakan kembali oleh Bapak Saiten R. Natu dari narasumber utama Kakah Makei Damon. Ternayata Wadian Dadas adalah Wadian Hakei atau Wadian Islam karena menurut versi ini wadian Dadas lahir dari keterikatannya dengan kisah Nabi Muhammad. Inilah kisah itu:
Syahdan… tersebutlah sebuah Kerajaan aman-makmur yang tidak diketahui dimana lokasinya dan pada zaman apa masa keberadaannya. Yang diketahui, pemerintah lokal itu dipimpin seorang raja. Diantara rakyatnya terdapat seorang pemuda gembel, Elok Nur Hakim, yang pekerjaannya mengais sampah setiap hari untuk mencari makan. Meskipun pria muda ini pekerjaannya sangat tidak lazim dizaman itu yakni mengais sampah dan sisa-sisa buangan makanan orang, tetapi dia pemuda yang baik. Kenapa dikatakan baik? Karena dia jujur, cerdas, tidak bisa mencuri dan tidak pernah menyakiti orang lain. Badannya secara kasat mata juga terbilang normal dan sehat namun tidak diketahui kenapa dia memilih sisa makanan buangan sebagai pengisi perutnya dikala lapar? Hanya ini keganjilan yang ada padanya.
Raja yang memerintah termasuk pemimpin bijaksana. Dia selalu menghajatkan kebaikan bagi seluruh rakyatnya. Oleh karena itu tidak heran kalau raja ini selalu berdo’a dan berhasrat supaya senantiasa dimampukan membahagiakan kehidupan semua makhluk. Entah karena obsesi dan impiannya yang berlebihan atau memang pengharapan mulianya yang didengarkan Yang Maha Kuasa, pada suatu malam yang damai, Raja bermimpi diberikan segenggam tepung ajaib oleh Makhluk Gaib yang tidak bisa diterkanya siapa. Kata makhluk itu, tepung yang diberikan merupakan tepung ajaib, apabila dijadikan kue dan dimakan akan bisa membuat yang memakannya mengerti bahasa segala makhluk dan benda-benda, baik makhluk hidup, makhluk gaib maupun benda-benda mati. Karena diberikan dalam mimpi, sang raja tidak begitu menghiraukannya. Tetapi begitu dia terbangun dan membuka tangang kanannya, ternyata tepung gaib itu benar-benar ada di sana. Terperajatlah dia menyadari mimpi yang menjadi nyata.
Antara percaya dan tidak, raja lalu memerintahkan juru masak istana untuk segera membuatkannya roti lempeng “tumpi” dari tepung segenggam yang dibawanya. Dan atas perintah raja itu maka segeralah dibuatkan kue serabi sesuai petunjuk raja. Namun karena pekerjaan di dapur saat itu sangat banyak sedangkan suaminya yang biasa membantu memasak sedang sakit maka pekerjaan Mak Jongos menjadi semrawut dan tidak beraturan. Disatu sisi dia harus cermat memasakkan bubur putri raja yang sedang cerewet, disisi lain dia juga harus mendahulukan pesanan roti gulung dari ibu suri. Belum pekerjaan yang disuruh ratu seperuh jalan, tiba-tiba pula raja menyuruhnya membuat tumpi. Agak kerepotan agaknya juru masak itu hari ini. Namun karena semua pengkhidmatan yang dilakukannya untuk anggota keluarga raja, terpaksa wanita paruh baya itu mengerjakannya dengan suka cita sesuai kemampuannya.
Akibat juru masak sangat sibuk mengerjakan tugas utama, kue tumpi yang sedang dipersiapkan ternyata terabaikan juga. Tatkala telah tercium aroma hangus menyebar di ruang dapur, barulah disadari masakan serabi yang sedang di atas tungku sudah gosong mengeluarkan aroma tidak sedap. Serta merta juru masak mengangkat masakan itu. Gemetar wanita itu ketakutan. Bercucuran keringat dingin keluar dari dahinya yang hitam. Dia sangat takut kepada murka raja apabila kelalainnya diketahui paduka. Maka agar peristiwa itu tidak segera tersebar ke luar dapur segera kue gosong itu dibuangnya keluar jendela. Dalam detik itu juga kue serabi baru sudah dibuat dengan tepung lain yang ada di rak dapur istana. Tampak lega perempuan itu seraya mengipasi badannya yang kepanasan. Ada senyum dibibir tua yang sangat setia itu.
Pengembara jujur lagi miskin, Elok Nur Hakim, rupanya berada di sisi dapur istana. Dimana pun keberadaannya, dia tidak pernah membuat orang bersakwasangka. Itulah istimewanya dia. Dia tampak sengaja untuk hidup dalam kondisi miskin papa. Dia hanya makan dari kaisan sampah yang telah dibuang orang. Dia sangat jujur dan pantang mengambil hak orang. Dia zahirnya tampak seperti lelaki kebanyakan yang normal-normal saja. Tapi kenapa dia hanya mau hidup berkelana dan mengambil makanan sisa? Inilah misteri dalam dirinya. Dan disisi istana kini dia berada. Namun keberadaannya sama sekali tidak mengusik siapa pun yang berada di sana. Para pengawal tetap acuh tak acuh akan dia. Kerabat istana dan para tetangga hanya sesekali memperhatikan ulahnya yang kalam dan dingin. Begitu pun ketika lelaki putih semampai ini tiba-tiba berjongkok, mengambil sesuatu dari tanah dan memakannya. Semua memandang biasa apa yang sedang terjadi.
Namun segala sesuatu yang dianggap biasa rupanya berdampak luar biasa bagi Elok Nur Hakim. Setelah pria ini selesai melahap makanan gosong yang baru diambilnya dari tanah, tiba-tiba saja terjadi perubahan luar biasa dalam dirinya. Seketika kepalanya terasa berputar-putar. Sekejap matanya terasa berkunang-kunang. Namun peristiwa aneh itu hanya berlangsung sebentar saja. Selepas itu tiba-tiba dia sudah memiliki pandangan dan pemahaman lain terhadap alam dan lingkungan yang ada disekitarnya. Baginya semua tumbuhan-tumbuhan, hewan, dinding istana, langit, batu, dahan kayu, angin, baju robek yang dipakainya dan semua benda ternyata pandai berbicara dan berkata-kata. Agaknya dia telah menerima anugerah kemampuan memahami segala bahasa. Sementara di dalam istana, raja yang baru saja memakan kue tumpi yang dihidangkan ternyata tidak mendapatkan apa pun dari janji yang dialaminya didalam mimpi. Masygul hati paduka memikirkan keanehan mimpinya yang tidak terlaksana? Kenapa tepung yang diperolehnya dari mimpi ternyata tidak bisa membuatnya seperti yang dijanjikan?
Disaat Elok Nur Hakim sudah faham segala bahasa benda dan alam raya, saat itulah datang kapal besar mengunjungi negerinya. Semua mata tertuju ke pelabuhan di tepi sungai. Semua perhatian tercurah ke sana. Semua ketakjuban terlihat nyata. Betapa tidak, baru kali inilah ada kapal megah singgah ke negeri ini.
Setelah dicari tahu, ternyata kapal megah dan besar ini milik Nabi Muhammad. Sang Nabi sedang berkunjung seorang diri ke negeri ini. Sungguh luar biasa, seorang manusia mulia naik perahu seorang diri mengunjungi negeri nan sangat jauh. Intinya, beliau Rasul Allah rupanya ada keperluan kepada raja penguasa negeri.
Nabi Muhammad sudah berada di astana Raja, sementara kerumunan rakyat masih banyak memenuhi pelabuhan dan tepian pantai. Rakyat rupanya belum puas menyaksikan keagungan kapal Rasul. Dan dalam keadaan yang sama Elok Nur Hakim masih tetap mengelusi lambung kapal nan megah. Dia masih terpana akan keindahan dan kemegahan kapal dihadapannya. Ketika kekaguman dan lamunan masih menjadi satu, tiba-tiba Elok Nur Hakim terperajat bukan kepalang. Betapa tidak, tiba-tiba kapal kayu nan megah itu berkata-kata laksana manusia kepadanya:
“Segera bunuh aku, tenggelamkan aku! Sekarang umurku sudah sampai. Aku harus mati hari ini juga. Cepat tumbuk perutku sampai bocor dan aku tenggelam!”
“Bagai mana bisa begitu?”, tanya Elok Nur Hakim heran.
“Cepat lakukan pintaku. Umurku sudah sampai. Aku harus mati, sekarang !“
“Tidak,” jawab Elok menolak keras. “Kamu kan kapal seorang Nabi, badanmu juga masih bagus.”
“Tidak!!”, jawab kapal itu berteriak keras. “Aku harus mati dan tenggelam sekarang juga karena umurku ditakdirkan habis hari ini!”
“Tidak bisa, kamu kendaraan Nabi Besar. Bagaimana nabi pergi kalau kamu tenggelam di sini?”
“Ayolah tolong…!”, ucap kapal itu menghiba. “Aku harus mati sekarang.., ini sudah takdirku…”
Karena kapal terus menghiba dan tidak kendor jua dari keinginannya maka Elok pun mencari akal untuk memenuhi keinginan segera mati itu. Akhirnya, ditemukanlah sebuah alu besar dibelakang kampung. Karena suasana siang tidak mungkin merusak kendaraan orang mulia maka Elok pun berbisik akan membunuhnya dimalam hari. Dengan berat hati kapal pun setuju.
Mentari sudah jauh ditelan malam. Malam pun sudah pula lama berlalu. Nabi pun rupanya tidak turun ke kapal malam ini namun bermalam di astana raja. Sangat sunyi malam itu meronai mayapada.
Elok Nur Hakim turun menembus kegelapan malam. Perlahan dia menuruni tebing sungai yang terjal. Berhati-hati dia menuruni anak tangga yang agak licin. Sesampainya di pelabuhan, dia berhenti untuk meminum air sungai seraya mengatur nafasnya yang pendek-pendek. Setelah menghela nafas agak dalam, dibangunkannya kapal yang sudah tertidur itu untuk menanyakan kembali ketetapan hatinya.
“Iya, “kata kapal itu segera. “Takdirku memang sudah sampai hari ini. Aku harus mati.”
“Baik, “kata Elok Nur Hakim mencoba tenang. “Jangan salahkan aku atas keinginanmu ini. Aku melakukan ini hanyalah membantu kamu!!”
“Iya.., aku sangat berterima kasih atas kebaikanmu. Semoa Tuhan memberikan yang terbaik untukmu…”, ucap kapal itu bernada do’a.
Setelah disadari permintaan sang kapal untuk segera karam dan mati tidak kunjung berhenti maka dengan kesadaran penuh, pengrusakan pun dilakukan sekuat tenaga. Segera alu kayu besi menghantam lambung kapal dengan dahsatnya. Seketika hantaman lain bertubi-tubi menghujam perut dan lambung kapal. Susul menyusul hantaman lain menghancurkan badan kapal. Datang lagi pukulan dan hantaman lain secara bertenaga. Hinggap pula tumbukan berikut membabi-buta, yang akhirnya kapal itu perlahan-lahan tenggelam di tengah malam yang gelap gulita.
Karena terdengar sangat gaduh di pelabuhan maka berduyun-duyun rakyat dan aparat kerajaan memblokir keadaan. Apa yang terjadi? Ternyata ada pengrusakan di pelabuhan. Buktinya apa? Karamnya kapal sang Nabi yang dirusak adalah bukti yang tidak terelakkan. Kesimpulannya, seseorang bernama Elok Nur Hakim telah tertangkap tangan menenggelamkan kapal Nabi Muhammad secara sengaja. Tentu saja Nabi yang sedang bertamu di astana raja menjadi sangat murka.
Atas aksi pengrusakan itu maka Nabi Muhammad menuntut keadilan. Berselang beberapa hari pemberkasan perkara telah selesai dilakukan. Hari berikutnya, Elok Nur Hakim telah duduk dihadapan Mahkamah Kerajaan untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya. Apa yang terjadi dengan persidangan itu selanjutnya? Ternyata keadilan tidak dapat ditegakkan sebab sistem peradilan di kerajaan belum mengatur persidangan yang menghadirkan benda mati sebagai saksi. Dan karena persidangan menemui jalan buntu maka proses pengadilan dihentikan dan para fihak yang berselisih dianjurkan menempuh jalan damai secara kekeluargaan.
Karena Nabi Muhammad tidak juga kendor dalam menuntut keadilan maka dibawalah perkara itu ke peradilan mana saja yang memungkinkan. Akhirnya dibawalah perkara itu ke peradilan gunung tetapi gunung tidak mungkin memutuskan perkara manusia. Dibawalah dia ke peradilan binatang buas tetapi binatang buas pun tidak bisa mengadili manusia. Dibawa juga kasus itu ke sidang peradilan bangsa Jin tetapi hukum jin jauh lebih rendah dari perangkat peradilan manusia. Dibawa juga perkara ini kepada pengadilan Malaikat tetapi Kantor Pengadilan Malaikat berikut para hakim dan jaksanya tidak ada yang pernah mengadili manusia.
“Oh.. angin, tidak kah kalian bisa memberikan keadilan bagiku?“, tanya Nabi Muhammad kepada bayu nan sepoi-sepoi basah.
“Tidak mungkin, “ jawab sang bayu lembut sekali. “Angin mana pun tidak akan bisa membuat keadilan bagi manusia.”
“Oh bulan nan cerah di angkasa, “seru Nabi Muhammad pula, “tidak kah engkau bisa mengadili kasus ku ini dengan seadil-adilnya?”
“Tidak mungkin, “ jawab sang rembulan, “bulan hanyalah bisa memantulkan cahaya yang menerpanya.” Artinya, pengadilan mana pun dan sistem hukum apa pun tidak mungkin akan bisa memberikan keputusan yang adil selama tidak mau mencari keadilan Tuhan. Akhirnya, kasus yang ganjil ini terus mengambang tanpa bisa dicarikan jalan keluar yang memuaskan. Dengan begitu maka tetaplah Nabi Muhammad dengan kekecewaan hatinya dan Elok Nur Hakim pun tetap merasa benar dengan segala ilmu aneh yang dimilikinya.
Waktu terus bergulir, zaman terus berganti. Karena Elok Nur Hakim tetap merasa benar dan Nabi Muhammad tetap merasa telah dirugikan maka keduanya terus berjalan mencari keadilan. Singkat kata, jadilah Elok Nur Hakim dan Nabi Muhammad menjadi dua pengembara yang kian hari terus berjalan dalam kerinduan akan keadilan. Jadilah mereka dua insan bersengketa yang sama-sama merantau mencari keadilan kemana pun juga. Mereka berselisih setiap hari tetapi terus pula berjalan beriringan. Mereka terus mengembara ke mana pun yang dirasa bisa memberikan keadilan.
Khatamul safar, tibalah pengembaraan pada sebuah sungai berair deras. Di atas sungai tampak terbujur sebatang pohon laksana jembatan. Sambil mengambil air dan minum di tepiannya, Nabi Muhammad bertanya kepada air:
“Wahai air yang jernih lagi menyejukkan. Tidak kah kamu bisa memutuskan perkara kami berdua?”
“Perkara apa itu?”
Maka berceriteralah Nabi Muhammad tentang perkara dan keluh-kesah yang menimpanya. Setelah mendengar semua kisah dan sang air menyatakan ketidak-sanggupannya, saat itulah batang pohon yang melintang di atas sungai berkata:
“Aku bisa memutuskan perkara kalian.”
“Apa, bisa?”, tanya Elok Nur Hakim terperajat dan agak tidak percaya.
“Iya, bisa.”
“Bisa?”, tanya Nabi Muhammad penuh harap.
“Iya,“ jawab batang pohon itu kalam. “Cuma harus ada persyaratan yang harus kalian patuhi. Kalian setuju?”
Setelah merenung sejenak maka Elok Nur Halim dan Nabi Muhammad mengatakan setuju.
“Baik, “ kata pohon itu tegas. “Kamu, Elok Nur Hakim, saat ini juga harus segera berada di ujungku sebelah sini dan Muhammad harus segera berada di ujung sebelah seberang sana. Kalian harus berada di kedua ujung badanku, harus terpisah jauh berbatas sungai ini. Faham?”
“Iya.”
“Baik, segera kalian berpisah.”
Setelah Nabi Muhammad menempati ujung kayu di seberang sungai dan Elok Nur Hakim berada di ujung kayu yang lain, segeralah pohon akan memutuskan perkara yang rumit dimaksud. Apa yang akan terjadi?
“Baiklah, “kata pohon kayu itu tenang. “Aku akan segera memberikan keadilan bagi kalian berdua. Pertama yang akan aku katakan, kalian berdua sama-sama berada difihak yang benar. Oleh karena itu aku putuskan kalian tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah. Tidak ada yang menang dan tidak pula ada yang kalah. Namun supaya kalian sama-sama merasa mendapatkan keadilan maka saat ini juga aku mematahkan batang tubuhku menjadi dua.”
Dan “prak”, saat itu juga pohon di atas sungai itu patah dan langsung jatuh ke dalam sungai. Air bermuncratan ditimpa kayu besar yang ambruk. Segera dia terbawa arus yang deras. Sejak kejadian itu maka Elok Nur Hakim dan Nabi Muhammad tidak bisa lagi bersama-sama. Kedua pencari keadilan itu harus terpisah oleh sungai lebar yang berair deras. Itulah takdir yang harus mereka terima: “berpisah,” sebab kalau mereka tetap bersama maka selamanya mereka terus berperkara. Singkat kata, Nabi Muhammad dipersilakan berjalan di sisi sungai yang memang diperuntukkan baginya sementara Elok Nur Hakim juga terus mengembara di sisi lain dari sungai yang bening, sejuk dan berarus deras itu. Itulah takdir kehidupan bagi mereka.
Sejak peristiwa itu, Nabi Muhammad tidak diketahui lagi jalan kisahnya. Tinggallah kisah Elok Nur Hakim yang terus merambah kemana-mana. Menurut sohibul kisah, perjalanan hidupnya sebagai pengembara miskin terus berjalan. Dia terus mengembara membawa dirinya kemana saja. Meski miskin dan berjalan tanpa tujuan tetapi tetap terkenal selaku manusia jujur dan rendah hati. Dari pengembaraan itulah akhirnya dia sampai pada tempat yang aneh di hutan. Didalam hutan itu terdapat gua akar yang menyerabut di punggung pohon besar. Disanalah terdapat tolongan atau gua setinggi manusia dewasa. Karena sedang kelelahan berjalan, tidurlah Elok Nur Hakim di dalam gua akar pada hutan nan tenang itu.
Selang dua jam kemudian lelaki itu terbangun. Dilihatnya matahari sudah condong ke Barat. Angin senja terasa lembut menyapu kulit. Kicau burung dan jerit kera terasa indah membelah suasana. Setelah menguap dan mengusap-usap mata, tiba-tiba dia tertegun pada sebuah benda yang tersampir rapi di pojok dalam gua. Apa itu? Bergeraklah dia ke arah benda yang membuatnya penasaran. Setelah dekat, diraihnya benda segi empat berwarna hitam itu. Benda apa ya? Setelah diangkat, jelaslah kalau itu sebuah buku. Seketika hatinya menjadi sangat gembira karena selama ini dia tidak pernah memegang buku. Jangankan memegang buku, melihat buku pun belum. Sepanjang yang diketahuinya, buku dijaman itu hanyalah milik raja atau para pendeta. Artinya buku adalah barang langka, mewah dan sangat luar biasa nilainya.
Begitulah…, ketika buku itu dibolak-baliknya dengan sangat hati-hati dari halaman ke halaman, tahulah dia bahwa yang berada ditangannya adalah buku ilmu yang sangat dahsyat. Sebabnya apa? Karena buku itu ternyata buku “Ilmu Panahuli.” Siapa saja yang bisa mengamalkannya akan bisa menghidupkan orang mati. Siapa pun pemiliknya maka dialah Pangeran Sambung Nyawa. Siapa pun yang menemukannya, dialah manusia digjaya yang beroleh keberuntungan nan sangat hebat. Sungguh luar biasa.
Karena kegembiraan yang luar biasa, Elok Nur Hakim yang pandai segala bahasa akhirnya membaca buku itu dengan lafal keras. Huruf demi huruf dirajutnya menjadi kata-kata bermakna. Kata demi kata diucapkannya menjadi kalimat berirama. Begitu rapal sudah terbaca sampai akhir, saat itulah tiba-tiba bumi bergunjang. Sekonyong-konyong pohon-pohon dan dedaunan hutan berubah gemuruh laksana angin ribut. Luar biasa suasananya. Mencekam. Tidak lama berselang, sebuah gundukan tanah terbongkar membelah tengah. Apa yang terjadi kemudian? Perlahan tapi pasti keluarlah sesosok manusia besar dari pecahan bumi yang kian menganga. Sesudah sosok itu keluar dengan sempurna, barulah Elok sadar kalau dialah yang dimaksud dengan manusia masa lampau bergelar Tuan Haji.
Seraya menghilangkan kekaguman dan keterperajatan yang luar biasa, Elok berkata:
“Wahai Tuan Haji yang baru saja dihidupkan. Karena orang-orang mati yang lain masih sangat banyak maka aku harus menghidupkan mereka. Pasti mereka ingin seperti kamu, ingin hidup kembali. Tidak adil kalau satu saja yang dihidupkan sedangkan yang lain dibiarkan mati.”
“Iya…, tapi bagai mana caranya?”, tanya Tuan Haji belum yakin.
“Tuan Haji harus mau menolongku.”
“Caranya?”
“Kuburkan aku hidup-hidup. Apabila aku sudah mati, kujemput semuanya dari alam roh. Caranya, Tuan Haji harus membaca buku ilmu Panahuli ini berulang-ulang sampai kami semua muncul ke dunia ini.”
“Seberapa lama aku harus membacanya?”
“Baca dan ulangi terus sampai kami bangkit dari alam kubur.”
“Wah….!”
“Kenapa? Kamu setuju kan, sebab aku sudah berbuat baik kepadamu?”
Akhirnya dengan berat hati terpaksa Tuan Haji bersedia melakukan keinginan Elok Nur Hakim. Maka dibuatlah liang kubur secara bergotong royong. Setelah liang selesai digali, Elok bergegas merebahkan dirinya. Dan tanpa banyak fakir, Elok meminta tubuhnya segera dikubur dengan tanah. Dengan hati yang gundah dan bertanya-tanya, terpaksa Tuan Haji melaksanakan apa yang diminta. Tidak terlalu lama, jadilah kubur layaknya kuburan baru. Sesuai dengan petata yang diberikan, dibacakanlah kitab Panahuli berulang-ulang di atas kubur baru itu.
Di alam kematian, ruh Elok Nur Hakim memulai perjalanan panjangnya. Sesampainya di Tumpuk Diau atau perkampungan para arwah, Elok mengajak semua arwah untuk kembali ke alam dunia. Apa yang terjadi? Ternyata semua orang mati bersedia diajak hidup kembali. Maka tanpa berlama-lama, Elok pun memegang tangan salah satu arwah. Arwah itu kemudian memegang tangan arwah yang lain. Dan arwah yang lain memegang pula tangan arwah lainnya. Begitulah akhirnya seluruh arwah yang ditemui Elok Nur Hakim saling bergandengan sepanjang mata memandang.
Tidak lama kemudian berjalanlah rangkaian arwah itu dibawah komando Elok Nur Hakim. Mereka berjalan menuju pintu dunia yang hanya diketahui Elok Nur Hakim saja. Dari perjalanan panjang itu tibalah mereka di Padang Makhsyar. Sesampai di sana pelarian itu diketahui oleh Allah Ta’ala sehingga Tuhan berkata kepada Malaikat Jibril: “Wahai Jibril. Kalau mereka semua kembali ke dunia maka dunia akan penuh sesak. Dunia tidak muat untuk dihuni manusia. Oleh sebab itu Aku perintahkan agar kamu menurunkan badai besar, angin ribut barat yang sangat kencang sehingga buku yang dibaca oleh Tuan Haji di atas kuburan itu terpelanting dan hancur berantakan.”
Segera Malaikat Jibril melaksanakan firman Tuhannya. Hasilnya tersapulah buku Panahuli itu oleh deru badai yang sangat dahsyat. Karena bacaan Tuan Haji tiba-tiba berhenti, serta-merta Elok Nur Hakim tidak bisa melihat jalan kembali yang harus dilalui. Hilang sudah pintu dunia yang menerangi. Tidak lama berselang, matilah Elok Nur Hakim dan seluruh arwah yang telah susah payah digiringnya. Apa artinya? Elok dan semua pengikutnya benar-benar mati untuk selama-lamanya.
Setelah Allah mempertimbangkan sifat jujur Elok Nur Hakim dan pengorbanannya yang sangat besar untuk menolong sesama manusia maka Allah berkenan untuk membangkitkan ruhnya. Sejak saat itu maka ruh Elok Nur Hakim diizinkan kembali ke dunia dengan harapan budi baik akan tetap hidup sepanjang masa. Karena Allah tidak berkenan membangkitkan ruh Elok kedalam jasadnya semula, maka dititiplah ruh itu kepada burung mangamet alias burung elang. Mulai kejadian itulah maka timbul keyakinan masyarakat Dayak bahwa burung elang merupakan burung umpui, yaitu burung yang sengaja diutus Allah untuk menolong manusia dengan tugas memberikan tanda-tanda baik dan buruk kepada manusia.
Setelah ruh Elok Nur Hakim benar-benar telah menjadi ruh burung mangamet, sejak itulah burung mangamet selalu berupaya menolong manusia sebisanya. Maka ketika terjadi satu peristiwa, merasuklah ruh burung mangamet kedalam jasad perempuan bernama Ineh Payung Gunting. Apa yang terjadi? Serta merta perempuan itu berubah menjadi wanita gila. Gila apakah dia? Tiada kegilaan lain melainkan gila menari dan gila joget. Gila joget? Oh Tuhan. Setelah kegilaan itu benar-benar diperhatikan, barulah ketahuan ternyata kerasukan ruh Mangamet merupakan perantara untuk menjadi Wadian atau Penari Dukun dalam menyembuhkan orang sakit. Barulah diyakini bahwa ruh Elok Nur Hakim yang menjelma menjadi ruh burung Elang rupanya akan aktif melolong penderitaan manusia ketika dia merasuk menjadi Wadian nan gila menari.
Realitas keyakinan yang hidup dimasyarakat, setiap orang bisa diamuk dan kerasukan ruh Elok Nur Hakim, terutama perempuan. Maka siapa saja yang dirasuk lalu menjadi wadian maka tanpa disadarinya dia akan bisa menjadi dukun. Dia akan mampu mengobati orang sakit. Dan karena wadian ini bersumber pula dari “Islam” dan sama sekali tidak sama dengan wadian asli yang bernama Wadian Bawo maka orang pun mengenalnya juga sebagai Wadian Dadas. Wadian Dadas ini lama-kelamaan dikenali juga sebagai Wadian Hakei atau Wadian Islam sebab ada keterkaitan riwayat dengan Nabi Muhammad. Malah syarat bagi orang yang memungkinkan untuk disarung menjadi Wadian Dadas adalah mereka yang berpantang memakan babi, memakan bangkai, meminum darah dan semua makanan yang diharamkan Islam lainnya. Maka tatkala musik Wadian telah dibunyikan, siapa pun berpeluang dirasuk ruh mangamet, ruh kebajikan yang menjelma dari sikap suka menolong si Elok Nur Hakim.
.
11. PENGOBATAN
DENGAN CARA RITUAL WADIAN
(Versi Suku Dayak Dusun Witu Ma’ai)
A. Sekelumit Sejarah Wadian
Pada zaman dahulu, jauh sebelum masuknya agama dan kebudayaan Buddha, Hindu, Islam dan Kristen ke pedalaman sungai Barito, suku Dayak sudah menganut agama lokal yang bernama KAHARINGAN. Agama ini sangat percaya kepada Tuhan yang menciptakan dunia beserta seluruh isinya. Mereka percaya bahwa Tuhan tidak bisa dilihat dan manusia benar-benar diciptakan oleh tuhan yang gaib itu. Tuhan yang maha pencipta dan gaib inilah yang mereka kenal sebagai JUS. Namun diluar itu, mereka juga percaya kepada tuhan yang hadir, tuhan yang berwujud, tuhan yang menampakkan diri ke dalam dunia. Siapakah tuhan wujud itu? Itulah ibu-bapak yang menciptakan manusia melalui proses perkawinan. Artinya, siapa pencipta manusia setelah tuhan Jus menciptakan yang pertama kalinya? Pencipta itu tiada lain adalah tuhan berwujud manusia yang hadir sebagai ibu-bapak kita masing-masing. Jadi, kedudukan manusia adalah pencipta kedua setelah penciptaan tuhan yang maha kuasa. Begitulah keyakinan lokal memahami jati diri tuhan mereka.
Keyakinan Kaharingan berikutnya, semasa manusia belum lahir ke dunia dam masih tinggal di dalam rahim ibu, manusia diasuh oleh empat saudaranya yang lain. Mereka berempat inilah yang melindungi, mengasuh dan menjaga bayi selama sembilan bulan di masa kehamilan. Keempat saudara itu dikenal sebagai 4 M, yaitu Adam Supi, Adam Napi, Salira Jaya Sangga dan Bayang-bayang Salira. Artinya, begitu seorang bayi dilahirkan ke dunia maka dia sebagai manusia senantiasa membawa pula keempat saudaranya tadi.
Lalu kemana dan dimana mereka berempat setelah ikut dilahirkan ke dunia? Saudara yang pertama segera mengambil kedudukannya sebagai perwakilan Tuhan. Dia senantiasa mengawasi saudaranya yang manusia dalam porsinya seperti tuhan. Saudara yang kedua berkedudukan di Kayangan. Dari sana dia senantiasa mengawasi gerak langkah manusia saudaranya yang lahir bersamanya. Saudara yang nomor tiga segera mengambil kedudukannya di bumi pada suatu tempat sehingga apabila manusia itu nantinya mati maka dialah yang mengaturnya. Sedangkan saudara yang keempat mengambil tempatnya di pusat air bernama Laut Salambu, dari sinilah dia senantiasa memantau dan menjaga saudaranya yang tinggal di bumi. Oleh karena itu, kehidupan seorang manusia tidak lepas dari peran gaib keempat saudaranya di alam lain sehingga apabila keempat saudara itu diperlukan maka bisa dipanggil untuk dimintakan pertolongannya. Dan cara meminta pertolongan gaib semacam ini ada berbagai macam, diantaranya dengan Wadian, Badewa atau Manabit. Inilah cara pengobatan tradisional yang hidup dikalangan suku Dayak tertentu di sungai Barito.
.
B. Rukun Wadian
Dengan demikian jelas ternyata Kaharingan mengenal dua macam dunia, yaitu dunia nyata atau bumi atau alam syariat atau alam benda, dan dunia gaib alam alam nisbi atau alam tempat tinggal keempat saudara gaib atau alam batin.
Antara alam dunia dan alam gaib terdapat hubungan timbal-balik yang sangat kuat karena di alam batin inilah segala baik-buruk, mulia-hina dan benar-salah berproses, sedangkan dunia benda hanyalah penampakkannya saja. Makanya alam tubuh atau alam dunia tidak bisa lepas dari alam gaib sebab seluruh kekayaan dunia, bahkan seluruh anggota tubuh manusia adalah obat sekaligus penyakit yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Tinggallah manusia yang mampu tidaknya memanfaatkan potensi yang tersedia dengan bantuan kekuatan alam gaibnya masing-masing. Namun pada umumnya manusia tidak tahu potensi yang ada sejak di alam gelap kandungan ibunya ini karena begitu dilahirkan ke dunia dan merasakan nikmatnya dunia maka mereka pun silau dan lupa. Karenanya maka orang yang senantiasa mampu menyadari dan memanfaatkan potensi ini hanyalah para wadian karena mereka sanggup mengatasi gemerlap dunia yang sangat menyilaukan. Itulah kenapa apabila ada orang yang sakit atau mendapat gangguan makhluk halus, para wadianlah harapan untuk penyembuhannya. Artinya, para wadian adalah orang pintar dan manusia pilihan yang dipandang mampu mengobati pasien secara duniawi maupun gaib.
.
Rukun Wadian dalam tatanan Kaharingan pada Dayak Dusun Witu Ma’ai yang hidup di Kalahien adalah :
.
.
RUANG WUNRUNG
( PERKEMBANGAN WADIAN MASA KINI )
Pemerintah Daerah Kabupaten Barito Selatan dalam hal ini Dinas Informasi Komunikasi Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Barito Selatan, sering berpartisipasi pada berbagai even budaya baik Tingkat Provinsi Kalimantan Tengah maupun Tingkat Nasional. Dari semua penampilan tersebut, tarian daerah yang senantiasa ditampilkan dan diandalkan adalah tari Wadian. Dan tari Wadian yang paling sering mewakili Barito Selatan bertemakan “TARI RUANG WUNRUNG”, yaitu tari wadian kolaboratif antara Wadian Dadas dengan Wadian Bawo.
Apa saja macam tari Ruang Wunrung yang pernah ditampilkan itu? Berikut dicuplik sinopsisnya secara ringkas.
.
1. “INEH PAYUNG GUNTING” (TMII Jakarta Tahun 2002)
Pada zaman dahulu, dalam adat suku Dayak Ma’anyan umumnya dan Suku Bawo khususnya, Wadian digunakan sebagai media pengobatan atau penyembuhan dari segala penyakit. Para pelaku wadian dianggap mempunyai kekuatan spiritual yang luar biasa. Kekuatan tersebut identik dengan kekuatan fisik laki-laki sehingga terbentuk pandangan bahwa dunia wadian adalah milik laki-laki. Wadian laki-laki inilah yang dikenal sebagai Wadian Bawo.
Kondisi tersebut terus berlangsung selama perjalanan kehidupan suku Bawo sampai pada suatu ketika terjadi pendobrakan dominasi laki-laki dengan munculnya seorang perempuan bernama Diang Dara Sangkuai Ulu. Perempuan ini dianugerahi kekuatan dan keterampilan wadian oleh seorang Dewi cantik dari Gunung Paramatun yang bernama Ineh Payung Gunting. Pada awal penampakannya Ineh Payung Gunting berwujud seekor burung elang. Ineh Payung Gunting sangat tertarik dengan keinginan mulia Diang Dara Sangkuai Ulu dalam mencermati setiap gerak-gerik ular. Ineh Payung Gunting kemudian menurunkan dan mengajarkan keahlian wadian serta menunjukinya kelengkapan-kelengkapan wadian seperti gelang dan selendang. Wadian wawei alias Wadian perempuan inilah yang kemudian dikenal luas dengan Wadian Dadas.
Keahlian Wadian ini kemudian diajarkan oleh Diang Dara Sangkuai Ulu kepada teman-teman perempuannya. Upaya-upaya memberdayakan diri dari keterkungkungan pandangan tradisional atas dominasi laki-laki ini nampaknya sangat menggangu pemikiran para laki-laki diantaranya Lala, seorang anak kepala Suku Bawo, yang selama ini dianggap handal dalam melakukan wadian Bawo. Secara konfrontatif Lala menghendaki Diang Dara Sangkuai Ulu menghentikan niatnya dan menyadarkannya bahwa perempuan mempunyai banyak keterbatasan sesuai kondratnya. Konflik pun tidak dapat dihindarkan. Namun Diang Dara Sangkuai Ulu ternyata tetap bersikeras pada pendiriannya bahwa wanita juga mempunyai hak untuk mengangkat harkat dan martabatnya, terlebih lagi dengan tujuan mulia menolong sesama manusia melalui wadian. Terjadilah aksi saling unjuk kebolehan, namun berkat kearifan kepala suku Bawo, konflik dapat diselesaikan dengan damai dan menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan adalah berkedudukan setara didalam kehidupan ini. Oleh sebab itu kepala suku Bawo menyarankan kepada Lala dan Diang Dara Sangkuai Ulu untuk secara bersama-sama memajukan keahlian wadian untuk menolong sesama manusia dalam bentuk wadian bersama. Penampilan kolaboratif kedua wadian tersebut kemudian dikenal dengan istilah Iruang Wundrung (Ma’anyan) atau Ruang Wunrung (Dusun).
(Dipersembahkan menurut versi Dayak Ma’anyan oleh Tim Tari Pemerintah Kabupaten Barito Selatan)
.
2. RUANG WUNRUNG MAKAN PANGANTU (Sinopsis Tari Festival Budaya Isen Mulang Tahun 2004)
Ruang Wunrung Makan Pangantu merupakan upacara sakral masyarakat pedalaman Sungai Barito berupa pemberian makan berbentuk sesajian yang dipersembahkan dalam rangka pemenuhan hajat atau janji yang telah dimohonkan kepada Pangantu atau para roh-roh halus yang dianggap perwujudan makhluk sakti yang mampu mengabulkan segala permohonan.
Upacara ini disajikan dengan menampilkan Ruang Wunrung yaitu digabungkannya Tari Wadian Bawo dan Wadian Dadas secara bersamaan sebagai tanda syukur kepada para dewata Nanyu Sangiang Hiyang Piumung.
Wadian adalah orang-orang yang membawakan tarian Gelang Dadas dan Bawo berdasarkan ilham para dewata Nanyu Sangiang. Ciri khas tarian ini berupa gemerincing gelang-gelang yang dibawakan dalam gerak tari yang lemah gemulai dan diiringi tetabuhan beraneka irama sebagai pertanda diadakannya komunikasi antara Nanyu Sangiang dengan hamba-hambanya.
Upacara Ruang Wunrung Makan Pangantu ini dilengkapi tempat sesajian dari batang bambu, di dalamnya disajikan beraneka macam sesajen yang tersusun rapi.
.
I. TARI PERTAMA:
Wadian Bawo masuk membawa anak yang sakit, Batabur: permohonan kepada Jus Mulung
II. TARI KEDUA:
Para Wadian Dadas masuk arena membawa mangkok lilin; persiapan akan masuknya Wadian Bawo dengan membawa penyamaian, opas dan tampung tawar dalam acara bayar parapah.
III. TARI KETIGA :
Wadian Dadas dan Wadian Bawo memanggil roh-roh halus atau Jus Mulung dalam pemenuhan bayar parapah.
IV. TARI KEEMPAT:
Wadian Dadas dan Wadian Bawo membentuk lingkaran menyatukan kekuatan Pangantu / Jus Mulung masing-masing untuk menerima pembayaran Parapah.
V. TARI KELIMA:
Para Jus Mulung yang dipanggil oleh para Wadian Dadas dan Wadian Bawo telah datang untuk menerima sesajen dari keempat Wadian Bawo.
VI. TARI KEENAM :
Para Wadian kesurupan/kesarungan Jus Mulung yang dipanggil dan mereka langsung menerima sesajian yang ada sampai terjadi Balian Bulat.
VII. Wadian Dadas dan Wadian Bawo memulangkan Jus Mulung dan menampung tawarkan anak yang sakit tadi untuk membersihkan dan menjauhkannya dari segala sesuatu yang bisa mengganggu baik kesehatan maupun ketenangan jiwa raga dari gangguan kekuatan roh halus yang jahat.
.
3. ”WADIAN RUANG WUNRUNG, BULAT DAN APAI LAWAI”
(Sinopsis Tanggal 20 April 2008)
Tari ditampilkan dalam tiga fase yaitu Ruang Wunrung, Wadian Bulat dan Apai Lawai.
Fase Pertama : Iruang Wunrung
Tari Ruang Wunrung adalah perpaduan antara wadian bawo (laki-laki) dengan wadian dadas (perempuan) yang ditarikan di dalam satu ruangan atau tempat pertunjukan. Tarian ini dibawakan secara kolaboratif sebagai bentuk acara syukuran dan tari suka cita, dimana para penari menampilkan keahlian masing-masing dengan lemah gemulai, saling bercanda serta penuh keakraban dan kebersamaan.
Tarian ini juga merupakan harapan dan penggambaran bahwa dalam kita hidup memerlukan :
Fase Kedua : Tari Wadian Bulat
Tari Wadian Bulat merupakan ciri khas Wadian Bawo, ditarikan secara atraktif dan dilaksanakan dengan iringan musik yang sangat meriah. Wadian bulat ini merupakan simbol mufakat bulat.
Fase Ketiga : Apai lawai
Wadian Bawo yang menarikan wadian bulat selanjutnya berguling-guling di atas tikar yang di atasnya berserakan duri-duri salak yang sangat tajam. Tarian ini merupakan gambaran bagi kedua mempelai bahwa dalam mengayuh bahtera kehidupan nanti pasti akan ada riak, gelombang serta onak duri kehidupan yang menghadang namun harus dilalui dan singkirkan dari jalan kehidupan yang berliku-liku. Tarian ini sangat sesuai dengan motto Provinsi Kalimantan Tengah ”Isen Mulang” yang artinya ”pantang mundur”, sehingga biduk keluarga yang dibina oleh kedua mempelai akan memperoleh ”Dahani Dahanai Tuntung Tulus” atau ”selamat sejahtera dan bahagia untuk selama-lamanya.”
(Ditarikan oleh Sanggar Tari Ranu Mareh, Mabuan dihadapan Majlis Perkawinan putra Bapak Bupati Barito Selatan di Gedung Sultan Suriansyah Banjarmasin tanggal 20 April 2008)
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |