Setiap Kabupaten yang ada di Bali memiliki corak kebudayaan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Salah satunya Desa Adat Tenganan Pegringsingan yang letaknya di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem. Sekitar 56 menit dari pura lempuyang yang menjadi ikon wisata karangasem
Desa Adat Tenganan Pegringsingan memiliki berbagai kearifan lokal yang mampu menarik kunjungan wisatawan, salah satunya Tradisi Perang Pandan atau yang juga dikenal dengan tradisi Mekare-Kare.
Tradisi Perang Pandan adalah tari perang yang tidak menentukan kalah dan menang, diobati atau tidak diobati tidak pernah menimbulkan inpeksi. Tradisi Perang Pandan ini bertujuan untuk menghormati Dewa Indra sebagai Dewa Perang dan Dewa kesuburan.
Dewa Indra juga merupakan Dewa yang tertinggi bagi masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan, karena beliau di percaya oleh warga masyarakat setempat yang menganugrahkan tanah yang begitu luas untuk di tempati oleh warga masyarakat Desa Tenganan Pegringsingan itu sendiri.
Tradisi Mekare-Kare atau Mekare sampai saat ini masih terus dilaksanakan oleh masyarakat Desa Adat Tenganan Pegringsingan sebagai suatu keharusan yang tidak boleh dilanggar, karena dengan dilaksanakannya Mekare-Kare tersebut akan mendatangkan kebaikan, kesuburan, dan kemakmuran pada Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Menjadi salah satu atraksi wisata di bali timur yang menjadi incaran para wisatawan eropa.
Mekare-Kare ini biasanya dilakukan oleh anak dengan anak, dewasa dengan dewasa, dan orang tua dengan orang tua juga. Mekare-Kare ini dilaksanakan didepan Bale Agung, kemudian didepan Bale Patemu Kelod, selanjutnya didepan Bale Patemu Kaje, dan yang terakhir (paling meriah ) dilakukan Di Bale Patemu Tengah.
Mekare-Kare di Bale Patemu Tengah diselenggarakan dengan penambahan fasilitas yaitu penambahan fasilitas panggung agar para wisatawan atau penonton lebih mudah untuk menyaksikan atau menonton Mekare-Kare tersebut.
Mekare-Kare merupakan suatu kegiatan perang yang dilakukan oleh dua orang laki – laki, dengan mempergunakan senjata berupa pandan berduri dan memakai perisai yang disebut dengan Tamyang. Mekare-Kare ini secara umum dilakukan oleh laki – laki baik anak – anak (dari umur 5 tahun), dewasa (dari umur 17 tahun ke atas) maupun orang tua (bagi yang sudah menikah).
Dalam penentuan peserta perang ini tidak ditentukan mengenai persyaratan dan ketentuan secara khusus. Dalam Mekare-Kare atau Mekare ini ada tiga orang sebagai pemisah yang disebut tukang belas dan umbul –umbul (terdiri dari Teruna yang akan memimpin permainan perang dan bertugas mencarikan lawan yang pantas baik orang yang berasal dari Desa Adat Tenganan Pegringsingan maupun orang yang berasal dari luar desa). Tukang Belas ini adalah orang yang cukup usia dan biasanya adalah orang yang di hormati di Desa Adat Tenganan Pegringsingan.
Mekare-Kare ini betul – betul didasarkan atas sukarela dan bertujuan untuk menghindari permusuhan. Peserta perang ditentukan dengan melihat keadaan lawannya, misalnya orang tua dengan orang tua, orang dewasa dengan orang dewasa dan anak – anak dengan anak – anak.
Mengenai aturan main dalam Mekare-Kare atau Mekare ini terdapat beberapa peraturan yang harus ditaati oleh para peserta perang, antara lain :
Memiliki makna religi dalam arti luas mencakup berbagai bentuk pemujaan, spiritualitas, serta praktik hidup yang telah bercampur dengan budaya. Upacara keagamaan merupakan unsur pokok dari religi. Melalui upacara, manusia menyandarkan diri pada kekuatan alam untuk memenuhi kebutuhan serta tujuan hidupnya, baik material maupun spiritual. Dalam upaya ini, upacara dipandang sebagai simbol untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Masyarakat Tenganan Pegringsingan, yang dikenal sebagai masyarakat Bali Aga atau Bali Kuno, memiliki berbagai unsur upacara dalam aktivitas mereka, salah satunya adalah Tradisi Mekare-Kare. Tradisi ini berfungsi untuk menguji ketabahan dan keberanian. Mekare-Kare disebut juga sebagai tari perang, karena kata “kare” diartikan sama dengan “kale”, yang berarti perang.
Tradisi ini digolongkan sebagai tari sakral karena hanya dilaksanakan pada saat upacara desa adat. Meskipun pada hari ketiga dan keempat orang luar diperbolehkan ikut serta, ada beberapa tahapan dalam pelaksanaannya yang hanya boleh dilakukan oleh warga Desa Adat Tenganan Pegringsingan.
Tradisi Mekare-Kare memiliki makna religius yang sangat kental dan menjadi simbol rasa syukur kepada Dewa Indra. Bagi masyarakat Tenganan Pegringsingan, tradisi ini adalah ritual sakral yang mengandung kekuatan spiritual, mempererat hubungan masyarakat, serta menjaga keharmonisan desa. Kepercayaan terhadap kekeramatan upacara ini didasarkan pada keyakinan bahwa Mekare-Kare mampu menjaga keseimbangan antara alam dan manusia, sekaligus menjadi ritual penolak bala untuk melindungi desa dari bahaya dan wabah penyakit.
Selain itu, penghormatan kepada Dewa Indra sebagai Dewa Perang juga menjadi bagian penting dari tradisi ini. Unsur religi dalam Mekare-Kare dapat dilihat dari penggunaan mantra-mantra serta persiapan daun pandan yang digunakan dalam atraksi perang. Hal ini sesuai dengan teori Interaksi Simbolik, di mana setiap simbol dalam atraksi Mekare-Kare memiliki makna dan menjadi bagian dari proses penyampaian nilai spiritual bagi masyarakat Tenganan Pegringsingan.
Sumber : https://balitravelguides.com/tenganan-bali-age-village/
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.