I. PENDAHULUAN1 Latar Belakang1.1.1 Pokok pikiran
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki keberagaman terbanyak di dunia. Keberagaman tersebut berupa bahasa, budaya, hukum adat, kearifan tradisional, agama hingga ras. Namun sayangnya keberagaman yang terjadi di Indonesia dapat memicu konflik sehingga dapat memecah persatuan nasional jika tidak dicarikan penyelesaian akar masalah. Untuk itu diperlukan perekat yang dapat mempersatukan rakyat Indonesia. Di masa lampau, Sumpah Pemuda menjadi alat yang dapat menyatukan keberagaman di Indonesia. Dari Sumpah Pemuda itulah kita dikenalkan dengan bagaimana memandang bangsa, bahasa dan tanah air Indonesia. Namun dengan kondisi kekinian bangsa Indonesia perlu adanya perekat baru yang bukan sekedar doktrin semata dan memandang kembali bangsa Indonesia sebagai sebuah negara tanpa menghilangkan keberagaman bangsa. Kondisi kekinian Indonesia berada ditengah globalisasi yang mengikis kesadaran generasi muda akan warisan tradisi budaya Indonesia sehingga diperlukan sebuah solusi untuk mengenalkan kembali warisan tradisi budaya Indonesia. Beranjak dari latar belakang inilah Rancangan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya disusun.
Keragaman Budaya Indonesia sebagai alat pemersatu
Budaya merupakan hasil dari kebiasaan, tingkah laku dan kepercayaan yang ada pada suatu kelompok umat manusia dalam kurun waktu dan tempat tertentu. Oleh karena itu setiap daerah memiliki budaya yang unik dan berbeda dengan daerah lainnya. Keunikan budaya yang beragam telah menjadikan budaya sebagai sebuah identitas yang dimiliki suatu kelompok manusia. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki keberagaman terbanyak di dunia. Namun hal tersebut dapat menjadi sumber konflik dan memecah persatuan nasional sehingga menimbulkan disintegrasi negara jika tidak dicarikan penyelesaian akar masalah. Kasus Dayak-Madura, Poso, Papua, Aceh dan beberapa daerah lainnya adalah sebuah konflik yang disulut karena adanya keberagaman di Indonesia. Kasus-kasus tersebut akan menjadi sumber disintegrasi Negara dan hal tersebut sudah seharusnya menjadi evaluasi bagi bangsa Indonesia untuk mencari kembali alat pemersatu baru bangsa.
Gagasan kebudayaan nasional Indonesia sebagai Identitas dan kesadaran Nasional sudah dicetuskan sejak Sumpah Pemuda tahun 1928. Kebudayaan Nasional bersumber pada puncak-puncak kebudayaan daerah di seluruh Indonesia yang selaras dengan norma-norma berbangsa dan bernegara. Namun doktrin pemersatu bangsa lewat Sumpah Pemuda mungkin saat ini sudah bukan lagi menjadi alat pemersatu yang relevan dalam menjawab keberagaman bangsa Indonesia karena tingkat pendidikan pada masyarakat yang sudah berbeda dengan masa lalu. Oleh karena itu sudah seharusnya kita mencari alat pemersatu lain yang tidak sekedar menjadi doktrin semata, namun ada alasan yang nyata kenapa kita dapat bersatu.
Keragaman budaya di Indonesia seharusnya dapat menjadi pemersatu bangsa jika kita tidak hanya melihat dari perbedaan saja melainkan kesamaan yang terdapat di setiap budaya, baik dari segi arsitektural, tarian, motif pakaian, lagu, dan beberapa ekspresi budaya lainnya. Kesamaan tersebut timbul dari proses akulturasi dan asimilasi budaya yang sudah terjalin ribuan tahun yang lalu melalui perpindahan penduduk, sebelum Indonesia terbentuk, selain kesamaan asal usul bangsa Indonesia. Untuk menemukan kesamaan yang terdapat di dalam budaya daerah di Indonesia dapat dilakukan dengan pengumpulan data-data ekspresi budaya tradisional terlebih dahulu yang berupa motif kain, seni tari, musik tradisional, cerita rakyat, arstiektur tradisional, makanan tradisional dan lain-lain. Pengumpulan data-data ekspresi budaya tradisional juga dapat mengenalkan budaya daerah lain sehingga menimbulkan rasa kepemilikan budaya tradisional.
Meningkatnya arus informasi teknologi telah menjadikan dunia dalam satu tatanan baru yang prosesnya dinamakan globalisasi. Globalisasi yang memiliki tujuan terciptanya masyarakat dunia tanpa batas-batas negara berusaha menghilangkan peranan negara dalam menjalankan tugasnya untuk menyejahterakan warga negaranya. Perdagangan bebas, liberalisasi, privatisasi dan gencarnya arus informasi merupakan bagian dari Globalisasi yang tidak dapat kita hindari lagi. Globalisasi selain memiliki dampak perekonomian terhadap Indonesia juga dapat menghegemoni budaya karena arus informasi yang meningkat. Dan kondisi kekinian budaya Indonesia berada pada kondisi dimana terjadi penetrasi budaya global karena pengaruh globalisasi sehingga mengikis kesadaran generasi muda akan warisan tradisi budaya Indonesia selain mengikis devisa negara. Dan hal tersebut menjadi tantangan kedepan bangsa Indonesia guna melestarikan kebudayaan tradisional. Untuk itu diperlukan sebuah inisiatif untuk menyelamatkan kebudayaan tradisional sebagai warisan budaya sehingga Indonesia memiliki identitas bangsa dan dapat menyelamatkan ekspresi budaya tradisional agar tidak diklaim oleh pihak asing.
Keberagaman Indonesia sebagai faktor pendorong pertumbuhan ekonomi kreatif
Kondisi sistem perekonomian dunia saat ini tidak lagi mendasarkan kepada kekuatan kuantitas suatu produk melainkan bagaimana produk tersebut dapat berinovasi dan menciptakan nilai-nilai baru. Penggunaan motif batik yang dilakukan oleh Adidas menjadi salah satu bukti dari adanya inovasi yang dilakukan dalam dunia bisnis. Sebenarnya, ekonomi kreatif sendiri sudah didengungkan oleh para pakar ekonomi di Indonesia dan ajakan presiden SBY dalam acara pembukaan Pekan Produk Nasional Indonesia (PPNI) 2007 di Jakarta untuk mengembangkan ekonomi kreatif dalam pembangunan ekonomi di Indonesia. Namun sangat disayangkan jika para penggagas ekonomi kreatif belum memandang ekspresi kebudayaan nasional sebagai faktor pendorong kreativitas produksi.
Ekonomi kreatif yang dicetuskan oleh J.A Schumpeter merupakan ekonomi yang berlandaskan kepada innovation dan creative destruction sebagai faktor penting dalam memahami berjalannya sistem ekonomi kapitalisme. Innovation menurut Schumpeter adalah menciptakan kombinasi baru yang dihasilkan dari barang yang telah ada untuk tujuan komersil. Sementara creative destruction merupakan penghancuran nilai ekonomi barang lama dengan barang baru secara creative. Lalu bagaimana kaitannya dengan Indonesia?. Bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan ekspresi dapat memanfaatkan ekspresi kebudayaan tradisional sebagai pemicu ekonomi kreatif. Banyak keuntungan yang diperoleh dengan memanfaatkan kekayaan ekspresi budaya tradisional yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Pertama, sebagai cara untuk melestarikan warisan budaya tradisional sehingga jika diproduksi secara komersil dapat mengenalkan kembali budaya tradisional yang sempat menghilang di masyarakat. Kedua, sebagai pemicu laju inovasi dalam perekonomian Indonesia karena masih banyaknya ekspresi-ekspresi budaya tradisional milik Indonesia yang belum didayagunakan. Ketiga, dapat menciptakan budaya tradisional baru yang dimiliki Indonesia karena inovasi-inovasi yang akan dilakukan. Keempat, jika diatur dalam hukum yang jelas dan tegas, dalam hal ini melalui RUU Hak Kekayaan Negara Atas Budaya, dapat menghasilkan devisa negara dari perusahaan-perusahaan multinasional dan negara lain yang memakai motif atau ekspresi budaya tradisional Indonesia sebagai bagian dari komoditas inovasi.
Perlindungan Hukum terhadap ekspresi budaya tradisional
Ide kepemilikan pribadi pertama kali dicetuskan oleh John Locke, seorang filsuf berkebangsaan Inggris yang menggagas ide liberalisme. Ide ini dilatarbelakangi oleh sejarah Negara-negara Eropa dengan kekuasaan monarki yang sangat dominan. Dalam hal tersebut, warga sipil tidak memiliki hak untuk barang-barang yang dimilikinya. Raja dapat dengan mudah mengambil apa saja milik warga. Dan kemudian lahirlah ide tentang kepemilikan pribadi (property theory) sebagai bagian dari sebuah upaya untuk mengusulkan adanya pembatasan kekuasaan raja. Konsep kepemilikan pribadi inilah yang mengilhami pemikir lainnya yang melahirkan hak kekayaan intelektual (Intellectual Property Rights).
Teori kepemilikan John Locke menyebutkan seseorang boleh memiliki atau mengklaim sesuatu sebagai miliknya jika ia telah bekerja dan mengolahnya. Misalnya seseorang dapat mengklaim tanah yang sedang ia garap sebagai miliknya. Atau seseorang dapat mengklaim bahwa pohon mangga itu miliknya jika ia telah merawatnya, walaupun orang tersebut bukan yang menanamnya. Contoh pertama adalah faktor Labour, dan yang kedua adalah faktor mixing methapor. Kedua faktor inilah yang menjadikan sah suatu kepemilikan barang. Prinsip tersebut ternyata cocok untuk barang-barang yang terlihat, misalnya tanah, pohon, rumah dsb. Namun bagaimana jika barang tersebut tidak terlihat, misalnya pengetahuan atau gagasan. Jika seseorang memiliki kue, lalu kue tersebut dibagi atau diberikan semuanya kepada orang lain. Maka orang pertama tidak lagi memiliki kue atau berkurang. Namun jika ada seseorang yang memiliki pengetahuan tradisional lalu memberikan pengetahuannya kepada orang lain, apakah pengetahuan tersebut berkurang?.
Ternyata konsep kepemilikan pribadi tidak sepenuhnya dapat dijalankan pada benda-benda tak terlihat. Lalu bagaimana dengan budaya tradisional yang berbasiskan pada budaya berbagi dan erat kaitannya dengan kegiatan-kegiatan ritual dari masyarakat tertentu dan diwariskan secara turun temurun? Hal ini menjadi sebuah dilema yang dihadapi oleh bangsa Indonesia terutama penggiat budaya. Disatu pihak, adanya perlindungan hukum atas kekayaan ekspresi budaya tradisional sangat diperlukan guna melindungi eksploitasi komersil dan klaim ekspresi budaya tradisional oleh negara lain atau pihak lain melalui paten atau hak cipta. Sementara disisi lain mengalami kesulitan mengenai posisi dan definisi ekspresi budaya tradisional di mata hukum internasional. Kesulitan ini dikarenakan perbedaan mendasar mengenai cara pandang kepemilikan yang terdapat pada konvensi internasional dan masyarakat pemilik budaya.
Perlindungan ekspresi budaya tradisional, saat ini sedang dirumuskan oleh WIPO (World Intellectual Property Organization) dan beberapa pasal yang sedang diatur terdapat mengenai definisi ekspresi budaya tradisional, pengaturan penggunaan, dan kepemilikan ekspresi budaya tradisional. Perumusan pasal-pasal tersebut akan membuat negara-negara anggota meratifikasi perundang-undangan dalam negeri agar sesuai dengan perjanjian tersebut. Namun beberapa pasal dalam Draft perjanjian tersebut menimbulkan permasalahan baru, dilihat dari kepemilikan dan pengaturan penggunaan ekspresi budaya tradisional, sehingga akan terjadi konflik antar daerah atau komunitas pemilik ekspresi budaya tradisional. Untuk itu, Rancangan Undang-Undang yang diajukan berusaha mengembalikan kepemilikan dan pengaturan penggunaan ekspresi budaya tradisional kepada pemerintah melalui sebuah lembaga.
1.1.2 Daftar Peraturan Perundang-undangan Nasional yang Terkait
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights)
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
1.2 Tujuan dan Manfaat1.2.1 TujuanRancangan Naskah Akademik RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya ini disusun sebagai acuan untuk merumuskan pokok-pokok pikiran yang akan menjadi bahan dan dasar bagi penyusunan RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya.
1.2.2 ManfaatMemberikan pemahaman kepada pemerintah, DPR dan masyarakat akan pentingnya perlindungan ekspresi budaya tradisional. Dilihat dari sektor ekonomi, dapat meningkatkan perekonomian Indonesia dengan meningkatkan produktivitas. Menjaga identitas bangsa Indonesia melalui perlindungan ekspresi budaya tradisional Memberikan pengaturan penggunaan ekspresi budaya tradisional dengan jelas karena memiliki definisi dan batasan-batasan terhadap pihak yang akan menggunakan ekspresi budaya tradisional.
1.3 Metode PendekatanMetode yang digunakan dalam menyusun Naskah Akademik RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya meliputi: Studi Pustaka, termasuk melakukan kajian pada Undang-Undang Hak Cipta Nomor 19 Tahun 2002 serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan budaya. Melakukan konsultasi pakar untuk memperkaya dengan mengadakan serangkaian diskusi untuk memperoleh masukan dan tanggapan guna dari berbagai pemangku kepentingan guna memperkaya materi yang akan disusun untuk menyempurnakan Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya.
1.4 Sistematika Naskah AkademikNaskah Akademik ini disusun dengan sistematika, sebagai berikut:I. Bab Pendahuluan, yang berisi latar belakang perlunya Indonesia mengesahkan Rancangan Undang-Undang ini, dengan cakupan (a) Pokok-pokok pikiran, (b) tujuan dan manfaat dipersiapkannya Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya, (c) metode pendekatan; dan (d) Sistematika Naskah Akademik
II. Bab Kajian Hukum mengenai perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan budaya, mencakup peraturan terkait yang ada di Indonesia, serta peraturan perundang-undangan dan kesepakatan internasional yang telah diterima dan disepakati di Indonesia, seperti International Covenan on Economic, Social, and Cultural Rights melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005.
III. Bab Ruang Lingkup Naskah Akademik, yang mencakup: (a) Ketentuan Umum yang memuat istilah-istilah/pengertian-pengertian yang dipakai dalam Naskah Akademik; (b) Materi yang memuat penjelasan mengenai RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas budaya.
Bab Kesimpulan dan Saran menjabarkan rangkuman pokok isi Rancangan Naskah Akademik, saran untuk menyempurnakan dan memperkaya materi Rancangan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya guna melindungi kekayaan ekspresi budaya tradisional.
II. KAJIAN HUKUMPeraturan Perundang-undangan Nasional yang terkait- Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Pasal 28C ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan manusia”
Mengingat budaya merupakan salah satu hak umat manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya, maka diperlukan sebuah peraturan yang setingkat undang-undang untuk melindungi ekspresi budaya tradisional dari eksploitasi komersil dan pencurian.
- Pasal 28I ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Pasal 28I ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa: “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”
Ekspresi budaya tradisional merupakan sebuah bentuk identitas budaya dan didalamnya terdapat hak masyarakat tradisional, untuk itu perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional perlu dilakukan guna menghormati dan melindungi hak masyarakat tradisional.
- Pasal 32 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Pasal ini menyatakan bahwa: “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah beradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dalam mengembangkan nilai-nilai budayanya”
Dalam pasal ini, selain memajukan kebudayaan nasional Indonesia, maka negara menjamin kebebasan masyarakat untuk terus mengembangkan kebudayaan tanpa memerlukan batasan jika akan menyelenggarakan pagelaran kebudayaan.
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
Undang-undang ini selain mengatur perlindungan kekayaan intelektual juga menjelaskan posisi negara dalam kepemilikian budaya ekspresi budaya tradisional melalui pasal 10 ayat 2, yaitu : “Negara memegang Hak Cipta atas folklore dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, seperti cerita, hikayat, dongeng, legenda, babad, lagu, kerajinan tangan, koreografi, tarian kaligrafi, dan karya seni lainnya”
Namun dalam pasal tersebut, tidak dijelaskan secara rinci tentang definisi ekspresi budaya tradisional beserta batasan-batasannya dan pengaturan penggunaan ekspresi budaya tradisional, baik komersil maupun non komersil
- Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi
Pasal 23 ayat 2 dalam Undang-Undang ini menyatakan bahwa: “Pemerintah menjamin perlindungan bagi pengetahuan dan kearifan lokal, nilai budaya asli masyarakat, serta kekayaan hayati dan non hayati di Indonesia”
Dalam pasal ini, pemerintah menjamin perlindungan nilai budaya asli masyarakat namun tidak disertai pengaturan dan definisi yang jelas budaya asli masyarakat.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
- Undang-undang ini menetapkan diberlakukannya Konvenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang diselenggarakan pada tahun 16 Desember 1966 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kesepakatan InternasionalInternational Convenant on Economic, Social, and Cultural RightsMajelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 16 Desember 1966 telah menghasilkan 31 pasal mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. ICESCR (International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights) juga menjabarkan hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya pada masyarakat dalam pasal 15.
Revised Draft Provisions For The Protection of Traditional Cultural Expressions/Expressions of FolkloreWIPO
(World Intellectual Property Organization) telah membuat sebuah draft yang berisi pasal-pasal tentang perlindungan ekspresi budaya tradisional. Dalam pasal-pasal tersebut menjelaskan tentang definisi ekspresi budaya tradisional beserta batasan-batasan dan bentuk-bentuk yang dapat dilindungi, kepemilikan ekspresi budaya tradisional, bentuk-bentuk penggunaan yang harus mendapatkan izin dari komunitas pemilik ekspresi budaya tersebut, serta sanksi dan pengecualian. Namun kepemilikan budaya tradisional yang dimiliki oleh komunitas budaya akan menimbulkan konflik daerah karena terjadi perebutan kepemilikna ekspresi budaya tradisional. Sehingga seharusnya kepemilikan budaya tradisional dikembalikan kepada negara lewat sebuah lembaga yang mewakili negara dalam pengaturan ekspresi budaya tradisional.
III. RUANG LINGKUP NASKAH AKADEMIKKetentuan Umum Memuat istilah-istilah/pengertian-pengertian yang terdapat dalam Rancangan Naskah AkademikEkspresi Budaya Tradisional : Sebuah ekspresi yang dihasilkan dari manifestasi budaya yang telah dikembangkan secara turun temurun baik berbentuk maupun tidak, dapat berupa tarian, musik, simbol, motif pakaian, dan lain sebagainya.
Ekonomi Kreatif : Ekonomi kreatif yang dicetuskan oleh J.A Schumpeter merupakan ekonomi yang berlandaskan kepada innovation dan creative destruction sebagai faktor penting dalam memahami berjalannya sistem ekonomi kapitalisme. Innovation menurut Schumpeter adalah menciptakan kombinasi baru yang dihasilkan dari barang yang telah ada untuk tujuan komersil. Sementara creative destruction merupakan penghancuran nilai ekonomi barang lama dengan barang baru secara kreatif.International Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) : Kovenan yang dihasilkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 16 Desember 1966 yang membahas mengenai hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya.Konvensi Berne : Konvensi Bern pertama kali diselenggarakan pada tahun 1886, 3 tahun setelah Konvensi Paris diselenggarakan di Paris. Konvensi ini mewajibkan negara-negara yang menandatanganinya untuk melindungi karya-karya pencipta yang berasal dari negara-negara yang menandatanganinya seolah-olah menjadi warga negaranya sendiri. Sebelum adanya perjanjian tersebut, setiap negara hanya dapat melindungi karya-karya penciptanya berasal dari negara asalnya. Selain itu, konvensi Bern juga mengharuskan negara-negara yang menandatanganinya agar memiliki undang-undang Hak Cipta yang sesuai dengan tolak ukur minimum yang telah disepakati. Penggabungan Konvensi Paris yang mengatur Perlindungan Hak atas Kekayaan Industri, dan Konvensi Bern yang mengatur Perlindungan Karya Seni dan Sastra melahirkan BIRPI (Bureaux Internationaux Réunis pour la Protection de la Propriété Intellectuelle), yang merupakan cikal bakal dari WIPO (World Intellectual Property Organization). WIPO (World Intellectual Property Organization) : merupakan sebuah lembaga dibawah naungan PBB yang mengatur tentang Kekayaan Intelektual dan kepemilikan industri. Indonesia dan anggota WIPO telah meratifikasi Perjanjian Internasional tentang Hak Cipta (WIPO Copyright Treaty) ini pada 20 Desember 1996. Pengesahan ini dinyatakan Indonesia lewat Keppres No. 19 Tahun 1997.
MateriPerlindungan budaya melalui hukum sebenarnya telah tertuang dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Pasal 10, namun Undang-Undang tersebut hanya sebatas pada definisi dan tidak dijelaskan lebih mendetail pengaturan dan sanksi. UU Hak Cipta pertama di Indonesia disahkan tahun 1982 (UU No.6) kemudian diubah tahun 1987 (UU. No.7), diubah lagi tahun 1997 (UU No. 12) dan yang terakhir, yang kini berlaku, adalah tahun 2002 (UU No.19). Undang-undang yang berlaku saat ini, UU No.19 tahun 2002, belum mampu memberikan solusi perlindungan ekspresi budaya tradisional. Hal ini terlihat dari hanya 1 pasal yang mengatur perlindungan ekspresi budaya tradisional (folklore), yakni Pasal 10, dan tidak dijelaskan secara terinci mengenai bagaimana penggunaan ekspresi budaya tradisional secara komersil, baik oleh warga negara Indonesia maupun warga asing.
Kekayaan ekspresi budaya Indonesia dapat dijadikan sebagai sumber inovasi dalam menjalankan roda perekonomian negara. Namun kekayaan ekspresi budaya tradisional harus dilindungi oleh pemerintah, dalam hal ini sebagai pemegang kedaulatan negara, melalui Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya. RUU tersebut secara tegas akan mengatur ekspresi budaya tradisional sebagai kekayaan negara atas budaya yang harus dilindungi dan jika akan digunakan secara komersil diharuskan membayar sejumlah uang kepada negara, sebagai pemegang lisensi. Undang undang tersebut juga dapat memberikan devisa negara karena akan diperlakukan sama dengan Kekayaan Intelektual dengan membayar lisensi jika ingin diproduksi secara komersil. Dengan diterapkannya undang-undang tersebut dan mendapatkan pengakuan dari negara lain maka budaya tradisional diharapkan dapat dilestarikan dan dilindungi dari pihak-pihak lain yang akan mengambil dan mengeksploitasi budaya tersebut sehingga dapat melestarikan identitas bangsa Indonesia.
Dalam RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya yang kami ajukan, terdapat pasal yang mengatur definisi ekspresi budaya tradisional (Pasal 1 dan 2), penggunaan ekspresi budaya tradisional baik oleh pihak asing maupun domestik (Pasal 3, 4, dan 5), serta pendirian sebuah lembaga yang mewakili negara dan memiliki wewenang (Pasal 6, 7, dan 8):
- Mendokumentasikan Kekayaan Negara Atas Budaya
- Memberikan Lisensi Kekayaan Negara Atas Budaya kepada pihak lain berdasarkan surat perjanjian lisensi
- Melakukan analisa ilmiah terhadap inovasi ataupun penemuan artefak budaya nasional dengan perangkat analisis tertentu
Dan RUU Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya dapat mejawab keraguan akan perlunya UU yang dapat melindungi ekspresi budaya tradisional karena dengan jelas mendefinisikan ekspresi budaya tradisional dan menjembatani perbedaan konsep kepemilikan intelektual dan kepemilikan pada ekspresi budaya tradisional, yang dalam hal ini akan dimiliki oleh negara lewat sebuah lembaga. Selain itu, penggunaan ekspresi budaya tradisional oleh warga negara Indonesia untuk penelitian, pendidikan, dan pertunjukan yang tidak komersil dapat menggunakan langsung tanpa persetujuan lembaga tersebut sehingga budaya indonesia dapat terus berkembang.
IV. KESIMPULAN DAN SARANKesimpulanRangkuman pokok isi naskah akademikKeberagaman budaya di Indonesia seharusnya dapat dijadikan sebuah alat untuk menyatukan elemen-elemen bangsa Indonesia dengan lebih mengedapankan persamaan-persamaan ekspresi budaya tradisional yang berkembang karena proses akulturasi dan asimilasi budaya selama ribuan tahun. Keberagaman budaya tersebut seharusnya dapat digunakan sebagai sumber inovasi dalam meningkatkan produktivitas sehingga memacu perekonomian Indonesia.
Perangkat hukum yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 mengenai Hak Cipta belum mencukupi kebutuhan masyarakat akan perlunya perlindungan ekspresi budaya tradisional. Perlindungan tersebut diajukan sebagai langkah antisipasi eksploitasi dan pencurian ekspresi budaya tradisional yang semakin menguat melalui paten dan klaim dari pihak asing. Namun perlindungan hukum tersebut seharusnya tidak membatasi ruang gerak bagi komunitas yang mengembangkan budaya dengan mengizinkan penggunaan non komersil ekspresi budaya tradisional.
Kepemilikan ekspresi budaya tradisional diberikan kepada negara lewat sebuah lembaga yang mengatur dan membina komunitas budaya guna menghindari konflik yang terjadi karena ekspresi budaya tradisional di Indonesia seringkali tidak dimiliki oleh satu kelompok saja. Selain itu, kepemilikan negara terhadap ekspresi budaya tradisional juga dapat menghindari eksploitasi pihak asing terhadap daerah-daerah jika kepemilikan ekspresi budaya tradisional dikembalikan kepada daerah.
Bentuk pengaturan yang dikaitkan dengan materi muatan
Menilik cakupan pengaturan dan bobot kepentingan materi yang dicakup, pengaturannya harus berbentuk peraturan induk, yaitu Undang-undang, yang kemudian menjadi peraturan-peraturan pelaksanaan.
Saran- Perlunya kajian dan diskusi lebih lanjut guna memperkaya materi sehingga menyempurnakan Rancangan Naskah Akademik.
- Penyusunan Naskah Akademik perlu mendapatkan prioritas tinggi, karena permasalahan yang mendesak dan sangat vital bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Lalu selanjutnya menyempurnakan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Kekayaan Negara Atas Budaya.
V. KEPUSTAKAAN
Daftar Pustaka- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
- Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta Revised Draft Provisions For The Protection of Traditional Cultural Expressions/Expressions of Folklore
- International Convenant on Economic, Social, and Cultural Rights