×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Manuskrip, Naskah Kuno

Elemen Budaya

Naskah Kuno dan Prasasti

Provinsi

Jawa Tengah

Asal Daerah

Surakarta

Serat Centhini

Tanggal 04 Apr 2016 oleh Farrihnabhan .

Serat Centhini adalah buku kesusastraan Jawa yang aslinya ditulis dalam bahasa dan tulisan Jawa dalam bentuk tembang Macapat dan mulai ditulis pada tahun 1814 dan selesai pada tahun 1823.

(Catatan : Tembang Macapat adalah sejumlah Tembang Jawa dengan irama tertentu, jumlah suku kata tertentu, akhir kata tertentu dalam satu bait tembang, sangat populer di masyarakat Jawa untuk refleksi peristiwa tertentu menggunakan tembang yang pas dengan suasana yang ingin ditimbulkan, sejumlah nama tembang Macapat: Maskumambang, Mijil, Sinom, Kinanti, Asmaradana, Gambuh, Dandanggula, Durma, Pangkur, Pocung, Megatruh, Jurumedung, Wirangrong, Balabak, Girisa).

Buku aslinya berjudul Serat Suluk Tambangraras ditulis berkat prakasa KGPA Anom Amengkunagoro III putera Pakubuwono IV, raja Surakarta (1788 - 1820). Dia kemudian yang menggantikan kedudukan raja sebagai Pakubuwono V (1820 - 1823). Sedangkan penulisan dan penyusunan dilaksanakan oleh:

  1. Ki Ng. Ranggasutrasno, pujangga kerajaan.
  2. R. Ng. Yasadipura II, pujangga kerajaan
  3. R. Ng. Sastradipura, juru tulis kerajaan
  4. Pangeran Jungut Manduraja, pejabat kerajaan dari Klaten.
  5. Kyai Kasan Besari, Ulama Agung dari Panaraga
  6. Kyai Mohammad, Ulama Agung kraton Surakarta.

Buku aslinya saat ini masih ada di Sanapustaka di kraton Surakarta. Ada beberapa salinannya di Reksapustaka Mangkunegaran, Paheman Radya-Pustaka Sriwedari, Museum Sana Budaya di Yogyakarta dan Museum Gajah di Jakarta dan mungkin juga di tempat-tempat lain.

Buku ini terdiri dari 12 (duabelas) jilid dengan seluruhnya berjumlah kurang lebih 3500 halaman. Berisi semacam "Ensiklopedia Kebudayaan Jawa" karena berisi hampir semua tata-cara, adat istiadat, legenda, cerita dan ilmu-ilmu lahir bathin yang beredar dikalangan masyarakat Jawa pada periode abad ke 16-17 dan masih banyak yang hidup dan lestari sampai dengan saat ini.

Sumber tulisan saya ini adalah Serat Centhini yang sudah ditranskripsi dari tulisan Jawa menjadi tulisan Latin tapi masih menggunakan bahasa Jawa. Transkripsi ini juga terdiri dari 12 (dua belas) jilid. Transkripsi dari tulisan Jawa menjadi tulisan Latin dilakukan oleh Kamajaya, Ketua Yayasan Centhini, Yogyakarta, diterbitkan oleh Yayasan Centhini, 1991. Referensi juga diambil dari buku Pustaka Centhini - Ichtisar Seluruh Isinya karangan Ki Sumidi Adisasmita, Penerbit UP Indonesia, Yogyakarta, tahun 1975.

Sampai saat ini belum ada terjemahan Serat Centhini ke bahasa Indonesia. Pernah dicoba oleh Yayasan Centini, tapi terhenti hanya sampai jilid 1. Kemungkinan ada kesulitan pembiayaan, mungkin juga faktor waktu dan tingkat kesulitan tersendiri.

Kandungan isi dari Serat Centhini adalah sangat luar biasa yang mencakup banyak sisi dari kebudayaan Jawa. Pokok ceritanya adalah kisah pelarian dari dua putra, dan satu putri dari Sunan Giri III (Giri Parapen) ketika ditaklukkan oleh Sultan Agung dari Mataram pada tahun 1636. Putra pertamanya bernama Jayengresmi diiringi dua santri Gathak dan Gathuk. Berpisah dengan dua adiknya, Jayengsari dan Niken Rancangkapti, diiringi oleh santri Buras.

Kisah perjalanan melarikan diri dari kejaran prajurit Sultan Agung ini yang direkam dalam cerita perjalanan dengan menemukan banyak peristiwa pertemuan dengan berbagai tokoh di seluruh Jawa yang menceritakan berbagai cerita, legenda, adat istiadat dan berbagai ilmu lahir dan bathin.

Kisah ini juga diisi dengan kisah perjalanan Mas Cebolang seorang santri yang nantinya akan menjadi suami Niken Rancangkapti dan berganti nama jadi Seh Agungrimang.

Sebagai anak-anak Sunan Giri Parapen yang adalah tokoh terkemuka penyebaran agama Islam di Jawa, sudah barang tentu kisah perjalanannya juga dalam rangka mencari kesempurnaan hidup sebagai seorang Muslim. Harus diingat bahwa Islam yang berkembang di Jawa adalah Islam Jawa yang sudah melalui proses sinkretisasi yang lebih cenderung pada tasauf dalam pencarian hakekat untuk pencapain makrifat.

Serat Centhini mendapat pujian dari Denys Lombart - orientalis asal Perancis - pengarang buku Le Carrefour Javanais dalam bahasa Perancis yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Nusa Jawa Silang Budaya, mengatakan dalam bukunya sebagai berikut:

Walaupun teks itu sering dianggap salah satu karya agung kesusastraan Jawa, baru sebagian saja yang sudah di terbitkan dan meskipun Serat Centhini mungkin bisa merupakan salah satu karya agung kesusastraan dunia, untuk sementara yang terdapat hanyalah sebuah ichtisar pendek dalam bahasa Belanda dan satu lagi dalam bahasa Indonesia.

Salah satu versi yang masih tersimpan, tidak kurang dari 722 pupuh panjangnya, terbagai atas dua belas bagian besar (Note: duabelas jilid). Setiap pupuh terdiri dari bait-bait yang jumlahnya tidak tetap, antara 20 dan 70 buah, semuanya disusun menurut tembang tertentu (Note: Macapat), yang memberikan kepada pupuh itu baik konsistensinya maupun warna nadanya.

Tergantung dari tembangnya, bait dapat terdiri dari 4 sampai 9 larik, dan setiap larik mengandung sejumlah tertentu kaki matra dan rima tertentu. Belum ada yang menghitung jumlah bait dalam Serat Centhini, tetapi seperti diihat, jika setiap pupuh mengandung rata-rata 40 bait dan setiap bait 7 larik, maka diperoleh 200.000 larik lebih. Hendaknya diingat bahwa wiracerita-wiracerita Yunani karangan Homeros: Iliad dan Odyssey masing-masing hanya mengandung 15,537 dan 12.363 larik.

Komentar tersebut diatas menandakan bahwa Serat Centhini adalah salah satu hasil kesusastraan Jawa yang tak ternilai harganya. Bisa diakui sebagai salah satu kesusastraan klasik dunia. Tapi sangat sungguh ironis, buku yang menarik para budayawan dunia untuk mendalaminya, tidak begitu dikenal oleh bangsanya sendiri. Penerbitan buku ini adalah salah satu usaha untuk lebih memperkenalkan Serat Centhini kepada masyarakat bangsa Indonesia.

Sumber : http://mistikindonesia.com/2014/12/02/serat-centhini.html

DISKUSI


TERBARU


Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

Refleksi Realit...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Refleksi Keraton Yogyakarta Melalui Perspektif Sosiologis

Manusia dan kebudayaan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Adanya manusia menjadi penyebab munculnya kebudayaan. Kebudayaan sangat penting dalam k...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...