Sebuah sungai dimanapun pastilah mempunyai peran yang sangat vital bagi masyarakat, apalagi pada zaman dahulu, banyak kegiatan yang bertumpu pada keberadaan sungai, bahkan peninggalan peradaban zaman purba banyak ditemukan di daerah sungai daripada di tempat-tempat lainnya. Di Kabupaten Sumedang dan sekitarnya, sungai yang memiliki peran sangat vital bagi masyarakat dari masa lalu sampai sekarang diantaranya adalah Sungai Cimanuk.
Beberapa sumber mengakatakan bahwa Sungai Cimanuk adalah sungai yang berhulu di kaki Gunung Papandayan Kabupaten Garut pada ketinggian +-1200 di atas permukaan laut (dpl), mengalir ke arah timur laut sepanjang 180 km dan bermuara di Laut Jawa di Kabupaten Indramayu, semakin ke hilir Sungai Cimanuk ini semakin lebar, itu sebabnya pada abad ke-16 muara sungai ini menjadi salah satu pelabuhan milik Kerajaan Sunda yang paling ramai. Dengan aliran sungai sepanjang 180 km, Sungai Cimanuk ini melintasi beberapa kabupaten yaitu Garut, Sumedang, Majalengka, Indramayu, dan Cirebon.
Dari zaman dulu fungsi utama sungai ini bagi penduduk sekitarnya adalah untuk keperluan irigasi dan sarana pengairan lainnya, namun kebanyakan airnya tak termanfaatkan dengan maksimal dan mengalir begitu saja ke laut, melihat potensinya yang cukup besar, dan untuk mengefektifkan pemakaian airnya agar tidak langsung terbuang ke laut, dibangunlah Waduk Jatigede yang saat ini masih dalam proses pembangunan. Sungai Cimanuk ini berada dalam pengelolaan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk-Cisanggarung
Dan ternyata dibalik manfaat dan fungsinya yang sangat penting, sungai cimanuk ini memiliki cerita legenda atau sasakala yaitu Sasakala Sungai Cimanuk. Cerita dari Sasakala Sungai Cimanuk ini titik kisahnya berada ketika Sumedang Larang berada dibawah kekuasan Kesultanan Mataram. Berikut adalah cerita dari Sasakala Sungai Cimanuk :
Sasakal Sungai Cimanuk
Ketika sedang jaya-jayanya Belanda menduduki Batavia, Sultan Mataram mengirim utusannya umbul Arim Muhammad dan Umbul Arif Muhammad ke Kabupaten Sumedang untuk menggalang kekuatan militer, tujuan mengutus kedua umbul tersebut adalah untuk menyampaikan sepucuk surat pada Bupati Suriadiwangsa yang kala itu memerintah di Sumedang. Surat perintah tersebut berisi maksud agar Sumedang mempersiapkan kekuatan tempurnya untuk menjadi bagian dari kekuatan militer Mataram guna menyerang kompeni yang menduduki tanah Batavia.
Umbul Arim Muhammad dan Arif Muhammad merupakan dua umbul yang bersaudara, kakak beradik. Dalam melaksanakan tugasnya mengirimkan surat ke Sumedang mereka ditemani oleh beberapa orang prajurit, jarak yang jauh dari Mataram ke Sumedang pun mereka tempuh bersama-sama. Selama diperjalanan, satu persatu prajurit meninggal karena serangan penyakit demam berdarah dan pada akhirnya tinggalah hanya mereka berdua. Kedua umbul mulai putus asa mengingat jarak yang harus ditempuh masih sangat jauh, ditambah lagi mereka tersesat disebuah hutan belantara dan perbekalanpun mulai habis, mereka bertahan hidup hanya dengan memakan dedaunan, biji-bijianan, dan buah2an.
Mengingat amanah yang diemban, mereka tak patah semangat dan terus melanjutkan perjalanan, namun semakin jauh mereka berjalan ternyata mereka semakin tersesat hingga sampailah di kedalaman hutan yang angker di belahan timur Sumedang. Mereka semakin bingung dalam menentukan arah yang harus diambil dan kelelahanpun mulai melanda mereka, karena mulai kelelahan mereka pun memutuskan untuk beristirahat sejenak didalam hutan dan menunggu penduduk setempat yang lewat. Sayang, sampai berhari-hari mereka menunggu tak ada satupun penduduk yang lewat, merekapun tak mendapatkan petunjuk jalan untuk sampai ke Sumedang. Sabda sang Sultan tak bisa dilanggar, jika mereka melanggar maka hukuman telah menunggu didepan mata, maka karena hal tersebut sekuat tenaga mereka akan berusaha menunaikannya meskipun harus mengorbankan jiwa dan raga...namun, ternyata perjalanan malah menuntun mereka menuju keputus-asaan, mental mereka diuji antara dua pilihan antara menyerah atau terus bertahan dengan semangatnya.
Semua telah mereka lewati dalam perjalanan, mulai dari hutan, sungai-sungai, tebing curam dan lainnya yang semakin menjebak mereka dalam pertentangan perasaannya sendiri. Hingga pada suatu ketika, sampailah mereka disebuah tepian sungai, karena saat itu cuaca buruk maka mereka memutuskan untuk menghentikan perjalanan sejenak. Ketika itulah cuaca buruk semakin menjadi-jadi, mulai dari angun ribut, petir yang menggelegar-gelegar, hingga curahan hujan yang tak henti-hentinya. Mereka mencari tempat berlindung dan memilih untuk berlindung di sela-sela gua batu, namun ternyata hujan tak juga reda selama berminggu-minggu mereka terkurung dalam gua batu tersebut. Sungai pun kala itu terdengar bergemuruh disertai longsoran-longsoran tepian sungai disekitarnya, banjir dan longsor sudah di depan mata mereka.
Karena tempatnya berlindung kala itu dirasa sudah tidak aman lagi, merekapun memutuskan untuk mencari tempat berlindung yang lain...namun naas saat mereka keluar dari gua, disaat bersamaan Gunung Pareugreug di Parakankondang yang tidak jauh dari tempat mereka berlindung ikut longsor, akibatnya merekapun semakin terjebak dalam banjir yang kian dahsyat karena bongkahan batu dan tanah menutupi aliran sungai dan mengakibatkan meluapnya air sungai. Dari tempat mereka berada tersebut akihirnya mereka melihat perkampungan, namun mereka melihat perkampungan yang berderet dipinggiran sungai dan berhektar-hektar lahan pertanian milik penduduk mulai karam diterjang banjir, mereka pun melihat penduduk berbondong-bondong menyelamatkan diri ke tempat yang lebih tinggi...akhirnya, merekapun hanya bisa pasrah menunggu sampai air surut.
Ditengah tak menentunya hati mereka, tiba-tiba datang seorang kakek tua menghampiri mereka berdua, ternyata kakek tua tersebut sangat peka dan tahu bahwa kedua umbul sedang mengalami kesulitan. Kakek tua tersebut adalah Aki Pangebon, kedatangannya disambut baik oleh kedua umbul. Melihat dahsyatnya fenomena sungai dihadapannya, Arim Muhammad bertanya pada sang kakek nama sungai tersebut, sang kakek tak buru-buru menjawabnya, karena sang kakek juga ternyata tidak tahu nama sungai tersebut karena ia juga telah lama mengembara di dalam hutan dan tak pernah mendengar nama sungai itu.
Aki Pangebon melihat sekelililng, ia melepas pandangannya ke pepohonan sementara burung-burung berkicau sembari melompat-lompat didahan-dahannya...maka terlintaslah kata manuk (burung) untuk menjawab pertanyaan para umbul, sehingga ia menjawab nama sungai itu adalah Cimanuk (ci = air/sungai, manuk = burung). Setelah mendengar dan mengetahui nama sungai tersebut, kedua umbul mengutarakan niatnya hendak menemui bupati Sumedang. Mendengar maksud dari kedua umbul, Aki Pangebon menasehati mereka agar tidak melanjutkan perjalanan selama air sungai belum surut karena akan sangat berbahaya, namun ia tak bisa berbuat banyak ketika ternyata Arim Muhammad tak mendengar nasehatnya dan tetap memaksa melanjutkan perjalanannya dengan menyebrang sungai menggunakan sebatang pohon pisang, Aki Pangebon hanya bisa berharap dan mendoakan kedua umbul tersebut agar selamat sampai tujuan.
Karena memaksakan diri menerjang sungai yang sedang meluap, akhirnya kedua umbul terapung-apung di atas permukaan air melawan derasnya aliran air dan menyebabkannya hampir tenggelam. Ditengah perjuangan mereka melawan derasnya air, tiba-tiba pohon pisang yang mereka kendarai meluncur begitu saja ke arah selatan seperti mendapat tarikan gaib dan membuat mereka terdampar disebuah bukit kecil. Di bukit kecil itu kedua umbul menemukan banyak kuya (kura-kura) sepertinya kura-kura tersebut terdampar karena sebelumnya hanyut terbawa banjir, berdasar hal tersebut kedua umbul menamakan bukit kecil itu Cikuya. Ditempat tersebut mereka mendirikan gubuk untuk beristirahat, lama kelamaan tempat peristirahatan mereka semakin berkembang menjadi tempat untuk belajar agama atau pesantren, dan pesantren tersebut menjadi pesantren yang pertama kali ada di Darmaraja saat itu. Sedangkan Arif Muhammad menyebut bukit kecil tempat mereka terdampar itu dengan nama Ciduging (cai dugi = batas permukaan air pada saat banjir).