Mangel adalah salah satu istilah yang digunakan untuk memancing. Baik itu memancing ikan maupun memancing binatang-binatang lainnya. Ada lagi bermacam-macam istilah memancing ikan yang dipakai di daerah ini, antara lain: mengail, mengedik, menganggang, dan mewarnai. Istilah-istilah tersebut dipakai untuk memancing ikan yang beratnya kurang dari 20 kg. Sedangkan mengale adalah istilah yang dipakai untuk memancing ikan dan binatang lain yang beratnya lebih dari 20 kg. Oleh karena itu, menangkap buaya dengan cara memancing sering disebut dengan istilah ‘mangale buaya’.
Upacara mangale buaya ini terbagi atas beberapa tahap, yaitu:
1. Upacara melabuh ale
2. Upacara mengambil buaya
3. Upacara membunuh buaya
4. Upacara membaca doa selamat
Orang-orang akan bersepakat menangkap buaya, apabila buaya mengganggu ketentraman kampung. Misalnya menangkap ternak dan menakut-nakuti orang kampung dengan sering menampakan diri di hadapan banyak orang. Buaya yang telah banyak melakukan kesalahan, akan dianggap menyerahkan diri untuk segara ditangkap.
Sebagai tanda sang buaya akan menyerahkan diri, seringkali mengebur-ngeburkan air sungai dengan ekornya di sekitar tenoat kediaman seorang pawang. Apabila buaya telah memberikan tanda-tanda seperti itu, pawang akan segera bertindak. Sang pawang akan bermusyawah dengan beberapa orang pemuka masyarakat di daerah itu untuk segera melaksanakan upacara mangale buaya.
Selain untuk menjaga ketentraman orang-orang kampung, upacara ini juga dilaksanakan dengan maksud untuk mengambil kulitnya. Kulit buaya sangat baik untuk bahan dasar pembuatan tas, tali pinggang dan sebagainya. Oleh karena itu harganya sangat mahal.
Adapun maksud penyelenggaraan masing-masing tahap upacara tersebut sebagai berikut:
Upacara melabuh ale boleh dilaksanakan pada setiap saat. Meski demikian upacara ini lazim dilaksanakan menjelang waktu magrib (kira-kira pukul 05.30 s.d. 06.00). Saat-saat seperti ini dipilih dengan harapan agar ale tersebut dapat dimakan oleh sang buaya pada malam harinya. Sebab buaya lebih senang ke luar mencari mangsanya pada malam hari.
Apabila terdengar berita bahwa ale telah dimakan oleh buaya, maka pawang harus memperhitungkan saat yang tepat untuk menjemput sang buaya yang terkena ale tersebut. Biasanya sang pawang mengetahui saat-saat yang baik untuk berangkat dan saat-saat yang dapat mendatangkan bahaya.
Waktu pelaksanaan upacara membunuh buaya tidaklah bisa dipastikan dengan mudah. Bergantung pada waktu penjemputan buaya oleh pawang beserta pembantu-pembantunya, hingga sampai di tempat pembunuhan. Oleh karena itu, seandainya buaya yang dijemput sampai ke kampung pada malam hari, pembunuhan sang buaya tetap ditangguhkan pada keesokan harinya. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan yang seluas-luanya kepada orang kampung untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Serta mengindari dari sesuatu yang bisa melukai atau kecerobohan lainnya yang mungkin timbul akibat terbatasnya cahaya pada malam hari.
Upacara membaca doa selamat, lazim dilaksanakan pada malam jumat selepas sholat magrib. Menurut kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun, upacara ini dilaksanakan sekurang-kurangnya tiap tiga malam jumat secara berturut-turut.
Upacara melabuh ale dilaksanakan di daerah ale dilabuhkan. Rakit biasanya dilabuhkan di kuala suka (anak sungai atau di tepi sungai yang agak jauh dari tempat permukiman warga. Sedangkan tempat pelaksanaan upacara mengambil buaya tergantung di daerah atau tempat ale dibawa lari oleh sang buaya. Mungkin saja upacara tersebut terpaksa dilaksanakan di laut, kalau kebetulan ale dibawa lari oleh sang buaya ke laut.
Upacara membunuh buaya biasanya dilakukan di lapangan terbuka. Maksudnya supaya seluruh masyarakat kampung dapat menyaksikan peristiwa yang cuku mengesankan bagi orang kampung itu. Upacara membaca doa selamat dilaksanakan di rumah pawang atau pun di suarau-surau.
Adapun mantera yang dibacakan pada upacara melabuh ale ialah sebagai berikut:
Assalamualaikum kutahu asalmu mule menjadi rotan sage. Ramput putih dayang musinah, jatuh ke laut berjurai-jurai. Sudah diizinkan Nabi Nuh, hendak bertemu dengan janjian. Bujang singong, bujang singyang putih dade hitam belakang. Kias di gunung batang, kias di gunung batu, rambut putih pancung muari turun mandi.
Sambut senandung tuan puteri seberang laut. Kala engkau tidak menyambut, ke hulu kau tak makan, ke hilir kau tak dapat minum. Tunduk ke bawah engkau muntahkan nanah. Kalau engkau tidak menyambut engkau disumpah tuan putri malin kohar.
Neng zab raden kerinci, raden amali. Hulubalang sri rantam. Kumpullah engkau di sini, aku nak bekerja ramai. Jika engkau tidak berkumpul di sini engkau disumpah putri malin kohar.
Mantera-mantera tersebut dimaksudkan agar umpan tersebut disambut buaya. Dipercaya bahwa setiap mantera yang diucap dalam upacara ini mengandung unsur magis yang dapat mendorong buaya untuk memakan umpan dalam rakit atau ale.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja