×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

Ritual

Provinsi

Kepulauan Riau

Asal Daerah

Kepulauan Riau

Mangale Buaya

Tanggal 08 Jul 2014 oleh Remontulus .

Mangel adalah salah satu istilah yang digunakan untuk memancing. Baik itu memancing ikan maupun memancing binatang-binatang lainnya. Ada lagi bermacam-macam istilah memancing ikan yang dipakai di daerah ini, antara lain: mengail, mengedik, menganggang, dan mewarnai. Istilah-istilah tersebut dipakai untuk memancing ikan yang beratnya kurang dari 20 kg. Sedangkan mengale adalah istilah yang dipakai untuk memancing ikan dan binatang lain yang beratnya lebih dari 20 kg. Oleh karena itu, menangkap buaya dengan cara memancing sering disebut dengan istilah ‘mangale buaya’.

Upacara mangale buaya ini terbagi atas beberapa tahap, yaitu:

    1. Upacara melabuh ale
    2. Upacara mengambil buaya
    3. Upacara membunuh buaya
    4. Upacara membaca doa  selamat

Orang-orang akan bersepakat menangkap buaya, apabila buaya mengganggu ketentraman kampung. Misalnya menangkap ternak dan menakut-nakuti orang kampung dengan sering menampakan diri di hadapan banyak orang. Buaya yang telah banyak melakukan kesalahan, akan dianggap menyerahkan diri untuk segara ditangkap.

Sebagai tanda sang buaya akan menyerahkan diri, seringkali mengebur-ngeburkan air sungai dengan ekornya di sekitar tenoat kediaman seorang pawang. Apabila buaya telah memberikan tanda-tanda seperti itu, pawang akan segera bertindak. Sang pawang akan bermusyawah dengan beberapa orang pemuka masyarakat di daerah itu untuk segera melaksanakan upacara mangale buaya.

Selain untuk menjaga ketentraman orang-orang kampung, upacara ini juga dilaksanakan dengan maksud untuk mengambil kulitnya. Kulit buaya sangat baik untuk bahan dasar pembuatan tas, tali pinggang dan sebagainya. Oleh karena itu harganya sangat mahal.

Adapun maksud penyelenggaraan masing-masing tahap upacara tersebut sebagai berikut:

  1. Melabuh ale dimaksudkan/bertujuan agar ale yang telah dilengkapi dengan umpan tersebut dapat dimakan oleh sang buaya.
  2. Mengambil buaya dimaksudkan/bertujuan agar buaya yang telah terkena ale tersebut dapat dibawa pulang untuk kemudian dibunuh secara bersama-sama.
  3. Membunuh buaya dimaksudkan/bertujuan agar buaya tidak lagi membuat keonaran atau mengganggu keamanan kampung.
  4. Membaca doa selamat dimaksudkan/bertujuan, pernyataan rasa syukur orang-orang kampung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas tertangkapnya sang buaya. Serta memohon perlindungan dan keselamatan terhadap segala macam mara bahaya yang akan menimpa kampung beserta seluruh masyarakat pada masa-masa mendatang.


Upacara melabuh ale boleh dilaksanakan pada setiap saat. Meski demikian upacara ini lazim dilaksanakan menjelang waktu magrib (kira-kira pukul 05.30 s.d. 06.00). Saat-saat seperti ini dipilih dengan harapan agar ale tersebut dapat dimakan oleh sang buaya pada malam harinya. Sebab buaya lebih senang ke luar mencari mangsanya pada malam hari.

Apabila terdengar berita bahwa ale telah dimakan oleh buaya, maka pawang harus memperhitungkan saat yang tepat untuk menjemput sang buaya yang terkena ale tersebut. Biasanya sang pawang mengetahui saat-saat yang baik untuk berangkat dan saat-saat yang dapat mendatangkan bahaya.

Waktu pelaksanaan upacara membunuh buaya tidaklah bisa dipastikan dengan mudah. Bergantung pada waktu penjemputan buaya oleh pawang beserta pembantu-pembantunya, hingga sampai di tempat pembunuhan. Oleh karena itu, seandainya buaya yang dijemput sampai ke kampung pada malam hari, pembunuhan sang buaya tetap ditangguhkan pada keesokan harinya. Hal ini dilakukan untuk memberi kesempatan yang seluas-luanya kepada orang kampung untuk menyaksikan peristiwa bersejarah itu. Serta mengindari dari sesuatu yang bisa melukai atau kecerobohan lainnya yang mungkin timbul akibat terbatasnya cahaya pada malam hari.

Upacara membaca doa selamat, lazim dilaksanakan pada malam jumat selepas sholat magrib. Menurut kebiasaan yang telah dilakukan secara turun-temurun, upacara ini dilaksanakan sekurang-kurangnya tiap tiga malam jumat secara berturut-turut.

Upacara melabuh ale dilaksanakan di daerah ale dilabuhkan. Rakit biasanya dilabuhkan di kuala suka (anak sungai atau di tepi sungai yang agak jauh dari tempat permukiman warga. Sedangkan tempat pelaksanaan upacara mengambil buaya tergantung di daerah atau tempat ale dibawa lari oleh sang buaya. Mungkin saja upacara tersebut terpaksa dilaksanakan di laut, kalau kebetulan ale dibawa lari oleh sang buaya ke laut.

Upacara membunuh buaya biasanya dilakukan di lapangan terbuka. Maksudnya supaya seluruh masyarakat kampung dapat menyaksikan peristiwa yang cuku mengesankan bagi orang kampung itu. Upacara membaca doa selamat dilaksanakan di rumah pawang atau pun di suarau-surau.

Adapun mantera yang dibacakan pada upacara melabuh ale ialah sebagai berikut:

Assalamualaikum kutahu asalmu mule menjadi rotan sage. Ramput putih dayang musinah, jatuh ke laut berjurai-jurai. Sudah diizinkan Nabi Nuh, hendak bertemu dengan janjian. Bujang singong, bujang singyang putih dade hitam belakang. Kias di gunung batang, kias di gunung batu, rambut putih pancung muari turun mandi.

Sambut senandung tuan puteri seberang laut. Kala engkau tidak menyambut, ke hulu kau tak makan, ke hilir kau tak dapat minum. Tunduk ke bawah engkau muntahkan nanah. Kalau engkau tidak menyambut engkau disumpah tuan putri malin kohar.

Neng zab raden kerinci, raden amali. Hulubalang sri rantam. Kumpullah engkau di sini, aku nak bekerja ramai. Jika engkau tidak berkumpul di sini engkau disumpah putri malin kohar.


Mantera-mantera tersebut dimaksudkan agar umpan tersebut disambut buaya. Dipercaya bahwa setiap mantera yang diucap dalam upacara ini mengandung unsur magis yang dapat mendorong buaya untuk memakan umpan dalam rakit atau ale.

DISKUSI


TERBARU


Ulos Jugia

Oleh Zendratoteam | 14 Dec 2024.
Ulos

ULOS JUGIA Ulos Jugia disebut juga sebagai " Ulos na so ra pipot " atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos "Homitan" yang disimp...

Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...