|
|
|
|
![]() |
Cerita Rakyat Bangkalan Ke’Lesap Tanggal 10 Jul 2018 oleh Deni Andrian. |
Menurut Cerita dahulu di Bangkalan ada seorang Raja yang suka berkelana, Keluar masuk desa-desa. Suatu ketika Baginda Raja Pangeran Sosro Diningrat / Pangeran Tjokro Diningrat III / Pangeran Cakraningrat III (1707-1718) pergi ke desa Pocong. Ia pergi keluar masuk Desa bertujuan untuk mengetahui keadaan desa. Ketika sampai di suatu tempat, Beliau bertemu dengan gadis desa yang menjadi bunga desa di desa tersebut. Masyarakat Desa Pocong menyebutnya Nyi Pocong. Setelah Sang Raja tau rumah Nyi Pocong maka Sang Raja melamar Nyi Pocong kepada orang tuanya untuk di jadikan Istri (Selir) nya. Tentu saja Orang tua Nyi Pocong tidak berpikir panjang, Mereka langsung menerima lamaran Sang Raja yang tampan. Setelah beberapa lama Baginda Raja menjalani kehidupan suami istri dengan Nyi Pocong. Pada suatu hari ketika Nyi Pocong dalam keadaan hamil, Baginda Raja pergi kembali ke kraton. Tapi sebelum pergi Baginda Raja berpesan apabila Nyi Pocong melahirkan anak laki-laki agar di beri nama Ke’Lesap. Dan saat Nyi Pocong melahirkan Seorang anak laki-laki yang tampan. Anak laki-laki yang baru lahir itu oleh Nyi pocong di Beri nama Ke’Lesap. Sesuai apa yang di amanatkan oleh Baginda Raja Pangeran Sosro Diningrat / Pangeran Cakraningrat III.
Karena Ke’ Lesap anak Baginda Raja Pangeran Sosro Diningrat / Pangeran Cakraningrat III. dengan isteri selir, Oleh karena itulah ia kurang mendapat kedudukan dibanding dengan putera-putranya dari isteri Padmi.
Pada suatu waktu ia di beritahu oleh ibunya Nyi Pocong, siapa Ayah Ke’Lesap yang sebenarnya. sebagai seorang pemuda ia merasa kesal dan berusaha untuk tampil kedepan dengan berbagai macam keahliannya. Ia suka sekali bertapa di Gunung-gunung dan di kuburan-kuburan yang keramat. Pada suatu waktu ia bertapa di gunung Geger (di Bangkalan) sampai cukup lamanya sekembalinya dari bertapa di gunung Geger (di Bangkalan) ia mempunyai beberapa macam keahlian. Terutama ia bisa menyembuhkan berbagi macam penyakit.
Hal itu terdengar oleh Raja Bangkalan yang bernama Suro Diningrat / Pangeran Tjokro Diningrat IV / Pangeran Cakraningrat IV (1718-1736). lalu ia di panggil dan diperkenankan untuk tinggal di Bangkalan dan diberinya hadiah berupa rumah di Desa Pejagan, selain itu Raja juga mengijinkan ia menjalankan prakteknya sebagai dukun, Sebagai dukun ia tidak segan untuk memberikan bantuan berbagai macam obat-obatan kepada siapapun yang menderita sakit, meskipun sudah mendapat penghormatan semacam itu Ke’ Lesap masih merasa belum puas
karena ia merasa sering diawasi oleh Raja, yang tersembunyi dibalik itu ia mempunyai ambisi untuk memegang pemerintahan di Madura. karena itu Ke’ Lesap meninggalkan kota Bangkalan terus menuju ke Timur dan akhirnya ia sampai di goa Gunung Pajuddan di daerah Guluk-Guluk dan di Guwa itulah ia bertapa untuk beberapa tahun lamanya.
Diceritakan bahwa Ke’ Lesap bertapa di sebuah Goa Gunung Pajuddan di daerah guluk-guluk selama beberapa tahun. Akhirnya yang Maha Kuasa memberi Ke’Lesap sebauh senjata Calok yang di beri nama Kodi’Crangcang. Konon Ceritanya Kodi’Crangcang itu kalau di lemparkan bisa terbang sendiri dan dapat disuruh untuk mengamuk sendiri tanpa ada orang yang memegangnya, karena kesaktian-kesaktian yang ia miliki ia makin dikenal sampai keseluruh pelosok Madura.
Ahirnya Ke’ Lesap merasa yakin pada dirinya sendiri bahwa ia sudah cukup mampu untuk mengobarkan api pemberontakan, keahlian dan kemasyhurannya banyak membawa simpati pada rakyat, sehingga ketika ia turun dari pertapaannya di gunung Pajudan ia dapat menaklukan desa-desa yang ia datangi.
Dengan bantuan pengikutnya Ke’ Lesap yang dikomandoi oleh panglima perangnya yang bernama Raden Buka mulai menyerang kerajaan Sumenep pada tahun 1749 – 1750 M. Ia mulai menyerang kerajaan Sumenep, Pertempuran terjadi dimana-mana dan tak lama kemudian Sumenep dapat didudukinya. Kanjeng Pangeran Ario Cokronegoro IV atau Raden Alza atau Adipati Sumenep XXVIII ( 1744 – 1749). Sebagai Raja Sumenep merasa sangat ketakutan. ia melarikan diri bersama-sama keluarganya ke Surabaya dan melaporkan adanya pemberontakan itu kepada Kompeni Belanda – VOC (1749 M) yang berada di Surabaya. Setelah keraton Sumenep dapat diduduki, Ke’ Lesap menempatkan Raden Buka sebagai Adipati Sumenep (1749 – 1750).
Setelah keraton Sumenep dapat diduduki, Ke’lesap menuju ke Pamekasan melalui jalan sebelah selatan ialah Bluto, Prenduan, Kaduaradan dan seterusnya. Dimanapun tempat yang ia lalui Ke’Lesap disambut oleh rakyat dengan penuh simpati dan terus rakyat menggabungkan diri sebagai pasukan Ke’Lesap, Kerajaan Pamekasan dengan mudah pula dapat dikalahkan oleh Pasukan Ke’Lesap, karena pada waktu itu Raja Pamekasan Tumenggung Ario Adikoro IV (R. Ismail) tidak ada ditempat ia sedang bepergian ke Semarang.
Raja Pamekasan Tumenggung Ario Adikoro IV (R. Ismail) adalah menantu Cakraningrat V yang bertahta di Bangkalan, sewaktu Adikoro kembali ke Semarang dan singgah di Bangkalan ia lalu mendengar dari mertuanya bahwa Ke’ Lesap melakukan pemberontakan, setelah mendengar berita itu Raja Pamekasan Tumenggung Ario Adikoro meminta diri kepada ayahnya untuk berangkat berperang melawan Ke’ Lesap. Ia sangat marah karena memikirkan nasib rakyat pamekasan yang tentunya kocar kacir karena ditinggal pemimpinnya.
Dengan diiringi pengikutnya yang masih setia Raja Pamekasan Tumenggung Ario Adikoro terus menuju ke Sampang dikota ini ia berhenti untuk beristirahat sebentar, pada saat makan siang datanglah seorang utusan Ke’ Lesap dengan membawa sepucuk surat yang isinya menantang untuk berperang. Raja Pamekasan Tumenggung Ario Adikoro sangat marah nasinya tidak dimakannya bahkan ia terus berdiri dan menanyakan kepada orang-orang banyak siapa yang sanggup mengikuti dirinya untuk berperang dengan Ke’Lesap, Penghulu Bagandan tidak menetujui untuk berangkat segera karena hari itu adalah hari naas dan menasehati untuk berangkat keesokan harinya saja.
Tetapi Raja Pamekasan Tumenggung Ario Adikoro tidak sabar untuk menunggu semalam saja, ia menanyakan lagi siapa yang sanggup mati bersama-bersama dengan dirinya. Penghulu Bagandan menyahut bahwa ia yang pertama-tama bersedia untuk mati bersama pemimpinnya karena itu tanpa ditunda-tunda lagi Raja Pamekasan Tumenggung Ario Adikoro berangkat dengan diikuti penghulu Bagandan dan pengiring-pengiring menuju ke Pamekasan, Raja Pamekasan Tumenggung Ario Adikoro dan pasukannya mengamuk sedemikian rupa sehingga musuhnya dapat dipukul mundur sampai ke Pangantenan daerah Pamekasan, akan tetapi karena jumlah pasukan Adikoro sangat sedikit dan ia sendiri sudah amat lelah maka tidak lama kemudian perutnya terkena senjata sampai ususnya keluar. Tetapi semangatnya tidak padam ia melilitkan ususnya kepada tangkai kerisnya dan ia terus mengamuk dengan senjatanya, rupanya ia kehabisan tenaga juga dan terus jatuh meninggal dunia. Demikian pula penghulu Bagandan gugur di Medan pertempuran bersama Rajanya.
Setelah Raja Pamekasan Tumenggung Ario Adikoro dapat dikalahkan maka Ke’Lesap beserta pasukannya terus menuju ke Bangkalan. Saat itu Bangkalan dipimpin oleh Raden Adipati Sejo Adi Ningrat I / Panembahan Tjokro Diningrat V / Pangeran Cakraningrat V (1736-1769). di Bangkalan pertempuran hebat pun dimulai, sebab pasukan Cakraningrat V mengadakan perlawanan-perlawanan yang cukup hebat tetapi lama kelamaan pasukan Bangkalan dapat dipukul mundur dan bantuan dari Kopeni didatangkan dari Surabaya, pertempuran terus berkobar kembali.
Bantuan dari Kompeni tidak dapat bertahan dan terpaksa mundur pula, karena Cakraningrat V merasa hampir kalah ia mengungsi ke daerah Malajah, sedangkan Benteng dipertahankan oleh Pasukan Kompeni. Waktu itu Ke’Lesap membuat Pesanggrahan di desa Tonjung.
Pada suatu malam Cakraningrat V bermimpi supaya Ke’Lesap di kirimi seorang perempuan dengan disuruh memegang bendera putih yang maksudnya Bangkalan akan menyerah, tipu muslihat itu keesokan harinya dijalankan seorang perempuan diberinya pakaian Keraton serta disuruh memegang bendera putih dan terus di kirimkan kepada Ke’Lesap. Ke’Lesap menerima pemberian itu dan wanita itu dibawa ke Pesanggrahannya dengan keyakinan bahwa Bangkalan sudah menyerah.
Pada waktu Cakraningrat V menunggu reaksi Ke’Lesap dengan dikirimkannya seorang wanita yang memegang bendera putih, tiba-tiba terlihatlah tombak pusaka Bangkalan yang bernama Ki Nenggolo gemetar dan bersinar-sinar seolah mengeluarkan api, Cakraningrat bangkit dari tempat duduknya dan langsung mengambil tombak itu, ia lalu mengajak pasukannya untuk berangkat berperang guna menumpas pemberontakan Ke’ Lesap.
Sesampainya di Desa Tonjung Ke’ Lesap sangat terkejut karena Cakraningrat V datang menyerang dengan tiba-tiba dengan tidak menunggu lama Cakraningrat V mendatangi pempinan pemberontak itu dan menancapkan tombaknya, pada seketika itu Ke’Lesap meninggal rakyat Bangkalan yang mengikuti Rajanya berseru “Bangka-la’ an” yang artinya sudah matilah. Karena itu sebagian orang Madura mengatakan bahwa nama Bangkalan itu berasal dari kalimat itu.
Sumber: https://tretantragah.wordpress.com/2015/03/06/cerita-rakyat-bangkalan-kelesap/
![]() |
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
![]() |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
![]() |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
![]() |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |