Punggahan
Indonesia, negara yang dihuni oleh lebih dari 260 juta jiwa yang heterogen, menghadirkan berbagai macam keunikan di tiap sisinya. Negara yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam ini memiliki banyak tradisi untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Salah satunya adalah Punggahan.
Punggahan adalah salah satu tradisi yang terdapat di Jawa (seperti Jawa Barat, Jawa Tengah), dengan cara memperingatinya yang berbeda-beda. Tradisi Punggahan sudah ada sejak dulu, meski belum jelas darimana asal-usulnya tradisi ini tercipta. Ada yang berpendapat bahwa tradisi ini asli dari Islam atau ajaran Hindu yang diterapkan pada Islam oleh Wali untuk mengajak masyarakat masuk ke Islam.
Punggahan Terdengar Asing
Apa arti dari Punggahan? Punggahan berasal dari bahasa Jawa yaitu kata Munggah, yang berarti naik atau memasuki tempat yang lebih tinggi. Yang dimaksudkan naik di sini adalah iman dan takwa. Dalam menyambut bulan Ramadhan, kita harus lebih bersyukur karena masih dipertemukan dengan bulan yang suci ini dan lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain sebagai pengingat bahwa Ramadhan segera tiba, Punggahan juga bertujuan untuk mengirimkan doa pada orang-orang yang telah berpulang terlebih dahulu ke Rahmatullah.
Semakin Ramai Semakin Khidmat
Cukup banyak perbedaan dalam melaksanakan tradisi Punggahan ini, seperti berkumpul dengan keluarga dan sanak saudara, pergi berziarah ke makam wali, dan masih banyak lagi. Namun, inti dari tradisi ini adalah perwujudan rasa syukur dengan melantukan doa-doa pengampunan, mempererat tali silahturahmi dan saling memaafkan satu sama lain agar lebih khusu’ dalam menjalani ibadah di bulan suci.
Punggahan biasanya diadakan di rumah dengan mengundang keluarga, sanak saudara, tetangga, dan juga kyiai untuk memimpin tahlil dan doa. Bahkan, sanak keluarga yang bekerja di luar kota rela datang jauh untuk dapat berkumpul bersama. Tradisi ini juga bisa dilakukan di mushola atau masjid, atau tempat berkumpul seperti balai warga. Di desa, masyarakat biasa berkumpul di rumah kepala desa.
Yang Nikmat Punya Makna Sendiri
Dalam tradisi Punggahan juga terdapat acara makan-makan seperti tradisi hari raya Idul Fitri, namun tentunya dengan menu yang berbeda. Biasanya untuk memperingati tradisi ini, masyarakat menyiapkan masakan yang lebih istimewa dibanding hari-hari biasanya. Anggapan masyarakat karena tradisi ini dilakukan setahun sekali dengan niat yang baik juga.
Yang membedakan tradisi Punggahan dengan tradisi kumpul silahturahmi yang lain adalah biasanya dihidangkan makanan seperti nasi kluban, bubur nasi, dan terdapat menu yang wajib ada. Terdapat arti tersendiri di tiap menu ini. Menu pada tumpeng yang wajib ada yaitu apem, pasung, gedang, dan ketan. Menu ini yang minimal harus ada di tiap pelaksanaan tradisi Punggahan.
Ketan. Makanan yang memiliki tekstur dan kandungan yang mirip beras ini, berasal dari bahasa melayu ini dapat ditafsirkan sebagai “khoto’an” yang artinya kesalahan.
Apem. Makanan yang bahan dasar, bentuk, dan teksturnya hampir mirip surabi ini, berasal dari bahasa Arab, “afuan/afuwwun”, yang berarti ampunan.
Gedang. Familiarnya disebut pisang ini dapat ditafsirkan kedalam bahasa Arab, “Ghodaan”, artinya esok hari atau waktu mendatang.
Pasung. Makanan bertekstur kenyal ini berbahan dasar gula aren dan tepung beras yang bercampur dengan santan dan tepung sagu. Pasung juga ditafsirkan dengan lafadz “fashoum” yang memiliki makna seruan untuk berpuasa setelah bertaubat dan meminta maaf.
Dengan kata lain, menu wajib ini bukan sekadar makanan yang tidak afdol jika tidak hadir di pelaksaan tradisi Punggahan, tetapi menu ini punya lambangnya masing-masing.
Di Mata Islam
Dalam Islam, tidak dikenal adanya tradisi Punggahan. Pada zaman Rasulullah pun tidak ada perintah untuk melaksanakan punggahan saat menyambut bulan puasa. Meski Rasulullah tidak mencontohkan tradisi ini, tetapi tradisi ini sangat diakui keberadaannya oleh masyarakat. Adapun hikmah yang bisa diambil dari tradisi ini adalah membersihkan diri sebelum masuk ke bulan suci Ramadhan.
Punggahan itu sendiri juga merupakan acara berdoa bersama. Tidak ada yang menyalahi hukum agama Islam terhadap tradisi ini, sebab semua orang bisa berdoa kepada Allah dalam bentuk apapun dan dimanapun berada selama berdoa yang baik-baik dan tradisi ini diisi dengan kegiatan yang positif.
Peringatan Punggahan ini kini sudah mulai ditinggalkan karena pengaruh globalisasi. Di daerah pedesaan mungkin masih sering dijumpai tradisi Punggahan lengkap dengan menu wajibnya. Namun, di daerah perkotaan, orang-orang sekadar menyisihkan waktunya untuk berkumpul bersama keluarga pada sahur pertama di bulan Ramadhan.
Dengan demikian, meski tradisi Punggahan ini terlihat sederhana, tetapi alangkah indahnya jika tetap dilestarikan. Sebab tradisi ini memiliki banyak manfaat dan makna tersendiri.
#OSKMITB2018
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...
Prajurit pemanah dari komunitas pemanah berkuda indonesia (KPBI) mengikuti Festival Keraton Nusantara 2017. mewakili kesultanan kasepuhan cirebon. PAKAIAN: terdiri dari ikat kepala/ totopong khas sunda jenis mahkuta wangsa. kain sembongb berwarnaungu di ikat di pinggang bersamaan dengan senjata tajam seperti golok dan pisau lalu baju & celana pangsi sunda. dengan baju corak ukiran batik khas sunda di bagian dada. untuk alas kaki sebagian besar memakai sendal gunung, namun juga ada yang memakai sepatu berkuda. BUSUR: sebagian besar memakai busur dengan model bentuk turkis dan ada juga memakai busur model bentuk korea. ANAK PANAH: Semua nya memakai anak panah bahan natural seperti bambu tonkin, kayu mapple & kayu spruce QUIVER (TEMPAT ANAK PANAH): Semua pemanah menggunakan quiver jenis backside quiver atau hip quiver . yaitu quiver yang anak panah di pasang di pinggang dan apabila anak panah di pasang di dalam quiver , nock anak panah menghadap ke belaka...
aksi pertunjukan pusaka dan pasukan kesultanan kacirebonan dari balaikota cirebon sampai ke keraton kacirebonan
Para pasukan penjaga keraton Sumedang larang