|
|
|
|
Wayang Banyumasan: Sejarah, Proses, dan Pelestarian Budaya di Cilacap Tanggal 22 Oct 2024 oleh Aniasalsabila . |
Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang telah menjadi media untuk menyampaikan cerita-cerita epik, mitos, hingga pesan-pesan moral bagi masyarakat. Dalam perkembangannya, wayang tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga alat edukasi dan refleksi sosial. Di wilayah Cilacap, khususnya bagian Banyumasan, tradisi ini terus dipertahankan, meskipun dihadapkan dengan berbagai tantangan modernisasi. Berikut adalah penjelasan lengkap mengenai sejarah, proses, serta alat-alat yang digunakan dalam pertunjukan wayang Banyumasan.
Wayang Banyumasan adalah varian dari wayang kulit yang berkembang di daerah Banyumas, Jawa Tengah, termasuk Cilacap. Kata "wayang" sendiri berasal dari istilah "ayang-ayang" yang berarti bayangan, merujuk pada pertunjukan di mana penonton melihat bayangan dari boneka kulit di layar. Wayang Banyumasan dipengaruhi oleh budaya Jawa dan Sunda, mengingat letak geografis Banyumas yang berbatasan dengan wilayah budaya Sunda di bagian barat Jawa.
Secara historis, wayang Banyumasan dikenal memiliki gaya yang lebih bebas dan merakyat dibandingkan dengan wayang di Solo atau Jogja, yang cenderung lebih aristokrat. Salah satu tokoh penting dalam penyebaran wayang di wilayah ini adalah Nyai Panjang Emas, yang membawa wayang ke daerah Banyumas dan mengembangkan tradisi ini hingga menjadi bagian dari identitas budaya setempat. Tradisi wayang Banyumasan kemudian terbagi menjadi dua aliran, yaitu Lor Gunung dan Kidul Gunung, yang dibedakan berdasarkan wilayah serta instrumen musik pengiring dan gaya penyampaian cerita (sanggit) yang berbeda.
Meskipun begitu, pada masa kini, batas antara wayang Banyumasan dan varian wayang lainnya semakin kabur, terutama dengan munculnya Wayang Nusantara yang mencampurkan berbagai gaya dari daerah-daerah berbeda. Namun, pengaruh dan karakteristik khas dari wayang Banyumasan tetap bisa dikenali, terutama dalam cara penyampaian cerita dan musik pengiring yang digunakan.
Pertunjukan wayang merupakan seni yang kompleks dan membutuhkan persiapan matang dari sang dalang. Sebelum pertunjukan dimulai, dalang mempersiapkan tema cerita yang akan disampaikan. Tema ini biasanya disesuaikan dengan konteks acara atau pesan yang ingin disampaikan. Dalam wayang Banyumasan, cerita yang dibawakan sering kali berasal dari epos Mahabharata atau Ramayana, namun diolah dan disesuaikan dengan nilai-nilai lokal.
Dalam satu malam pertunjukan, wayang bisa menggambarkan beberapa peristiwa yang terjadi di tempat yang berbeda namun dalam waktu yang sama. Ini disebut sanggit, atau cara dalang mengolah alur cerita. Sanggit dalam wayang Banyumasan cukup fleksibel, dengan alur yang bisa maju, mundur, atau campuran, memungkinkan cerita untuk disajikan secara menarik dan dinamis.
Pertunjukan wayang tidak bisa dilepaskan dari alat-alat pendukung yang digunakan untuk menghidupkan cerita. Berikut adalah beberapa elemen penting dalam pertunjukan wayang Banyumasan:
Wayang Kulit: Wayang terbuat dari kulit kerbau yang diukir dan diberi warna. Bentuk wayang biasanya tidak menyerupai manusia secara realis, melainkan simbolik dengan bentuk-bentuk yang distilisasi. Setiap karakter memiliki bentuk dan warna yang berbeda untuk mewakili sifat atau peran mereka dalam cerita.
Gamelan: Gamelan adalah seperangkat alat musik tradisional Jawa yang terdiri dari berbagai instrumen seperti saron, slenthem, gendang, kenong, dan lain-lain. Musik gamelan digunakan untuk mengiringi seluruh pertunjukan wayang, dengan irama yang menyesuaikan suasana cerita, seperti suasana perang, percintaan, atau kesedihan.
Kelir: Kelir adalah layar putih yang digunakan untuk menampilkan bayangan wayang. Penonton melihat bayangan wayang yang dimainkan di belakang layar, yang diterangi oleh lampu. Dalam tradisi awal, lampu yang digunakan adalah lampu minyak, namun kini kebanyakan dalang menggunakan lampu listrik.
Sinden dan Wiraswara: Sinden adalah penyanyi perempuan yang berfungsi mengiringi pertunjukan dengan lagu-lagu tradisional, sementara wiraswara adalah penyanyi laki-laki. Kehadiran sinden dan wiraswara tidak hanya untuk memperindah pertunjukan, tetapi juga membantu menggambarkan suasana atau emosi tertentu dalam cerita.
Cempala dan Kecrek: Cempala adalah alat yang digunakan oleh dalang untuk memukul kecrek, sebuah alat berbunyi yang terbuat dari logam. Cempala dan kecrek digunakan oleh dalang untuk menandai ritme atau momen penting dalam cerita, seperti saat terjadi pertempuran atau perubahan adegan.
Dalam tradisi wayang, terdapat berbagai pantangan dan ritual yang harus diikuti, baik oleh dalang maupun penonton. Beberapa lakon tertentu, seperti Baratayudha atau Karno Tanding, dianggap sebagai lakon yang berat dan sering kali dihindari untuk dibawakan dalam acara pernikahan atau upacara tertentu karena dipercaya dapat membawa nasib buruk. Di beberapa daerah, pertunjukan lakon ini bahkan dipercaya dapat memicu bencana alam, seperti banjir atau naiknya hewan buas ke darat.
Selain pantangan lakon, banyak dalang yang menjalani ritual khusus sebelum pertunjukan, seperti meditasi, puasa, atau memberikan sesajen. Meskipun tidak semua dalang mengikuti ritual ini, tradisi tersebut masih dihormati di kalangan dalang-dalang senior, terutama mereka yang mewarisi seni mendalang dari leluhurnya.
Selain sebagai hiburan, wayang juga berfungsi sebagai media pendidikan. Dalam setiap lakon, selalu tersisip pesan-pesan moral yang ditujukan untuk penonton. Dalam cerita-cerita Mahabharata dan Ramayana, misalnya, seringkali digambarkan pertentangan antara kebaikan dan kejahatan, dengan pesan bahwa kebaikan pada akhirnya akan menang. Dalam konteks lokal, wayang juga bisa digunakan untuk menyampaikan ajaran agama, filosofi hidup, atau bahkan kritik sosial dan politik.
Dalam wawancara yang dilakukan oleh Kelompok 47 KKN UNS 2024, Pak Tejo Sutrisno, seorang dalang senior di wilayah Cilacap, menyampaikan harapannya agar wayang tetap lestari di masa mendatang. Beliau berharap adanya dukungan yang lebih besar dari pemerintah untuk mempromosikan wayang di berbagai acara resmi dan festival kebudayaan. "Wayang diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya tak berwujud, jadi kita punya tanggung jawab untuk melestarikannya. Tanpa dukungan pemerintah dan masyarakat, wayang bisa kehilangan esensinya sebagai media pendidikan dan moral," jelas Pak Tejo.
Beliau juga menekankan pentingnya regenerasi dalang serta peran teknologi dalam memperluas jangkauan pertunjukan wayang. Pak Tejo telah mendirikan sanggar "Sena Laras" untuk melatih anak-anak muda di Cilacap agar menjadi dalang masa depan. Dengan adanya sanggar ini, beliau berharap tradisi mendalang tetap hidup dan berkembang, bahkan di era modern yang serba digital.
Penutup
Wayang Banyumasan adalah bagian penting dari warisan budaya Indonesia yang patut dilestarikan. Meskipun dihadapkan dengan tantangan zaman, wayang tetap memiliki daya tarik tersendiri bagi masyarakat yang menghargai nilai-nilai tradisional. Melalui program digitalisasi budaya oleh Kelompok 47 KKN UNS 2024, diharapkan tradisi wayang Banyumasan dapat didokumentasikan dan diwariskan kepada generasi mendatang, sehingga tetap hidup dan berkembang di tengah arus modernitas.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |