Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyarakat Jawa merupakan salah satu masyarakat yang hidup dan berkembang mulai zaman dahulu hingga sekarang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Jawa dalam berbagai ragam dialeknya dan mendiami sebagian besar Pulau Jawa (Herusatoto, 1987: 10). Salah satu produk dari masyarakat Jawa yang masih dilestarikan sekarang adalah tradisi Sekaten. Tradisi Sekaten merupakan tradisi tahunan untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW yang digelar di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat di Solo,Jawa Tengah selama tujuh hari.
Ketika kembali mengulik sejarah, tradisi sekaten sebenarnya berhubungan erat dengan sejarah penyebaran agama Islam yang ada di Pulau Jawa. Walisongo adalah tokoh utama dibalik lahirnya tradisi sekaten, yang di mana Sekaten digunakan oleh Walisongo untuk menyebarkan agama islam di Pulau Jawa. Saat itu, Walisongo memproyeksikan Sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW sekaligus sebagai media penyiaran Agama Islam. Awal mulanya Sekaten dilakukan pada masa kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu Kerajaan Demak dan turun-menurun sampai pada era kerajaan Surakarta dan Jogjakarta. Saat itu, Raja Demak pertama yakni Raden Patah bermusyawarah dengan Walisongo untuk membahas mengenai cara menyiarkan Islam di Jawa. Pada saat itu Sunan Kalijaga mengusulkan untuk membiarkan agar tradisi masyarakat yang masih beragama Hindu tetap ada, akan tetapi disisipi dan diganti tujuannya sesuai ajaran Islam. Contohnya, acara semedi diganti dengan sholat dan acara sesaji diganti dengan perayaan hari raya Islam.
Pada perayaan Hari Raya Islam yakni dalam rangka memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW terdapat usulan untuk membunyikan gamelan di sekitar masjid, karena saat itu masyarakat Jawa menyukai gamelan. Ketika orang-orang sudah berkumpul, mereka akan diberi pelajaran tentang agama Islam. Usul tersebut disetujui oleh para wali dan langsung dilaksanakan. Dengan demikian setiap hari lahir Nabi Muhammad SAW yaitu tanggal 12 maulud 12 Rabiul Awal Penanggalan Islam di sekitar Masjid ditabuhlah gamelan. Setelah mengikuti kegiatan tersebut, masyarakat akan diberi pelajaran tentang agama Islam dengan dituntun untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Dari kata syahadatain itulah muncul istilah sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Secara simbolik, dua kalimat syahadat tersebut direpresentasikan dalam dua perangkat gamelan Sekaten, yakni Kanjeng Kyai Guntur Sari dan Kanjeng Kyai Guntur Madu yang di mana dua gamelan tersebut ditabuh secara bergantian.
Hal itu juga berlaku saat kerajaan islam berpindah ke Mataram serta saat kerajaan Islam Mataram terbagi dua menjadi Kasultanan Jogjakarta dan Kasunanan Surakarta, di mana Sekaten tetap dilaksanakan setiap setahun sekali dibulan maulud di pelataran atau alun-alun utara keraton kasunan surakarta. Pelaksanan sekaten dimulai dengan keluarnya dua perangkat gamelan sekati (Kyai gunturmadu dan Kyai guntursari) dari keraton untuk ditempatkan di depan Masjid Agung Surakarta. Selama enam hari terhitung dari hari keenam sampai kesebelas bulan maulud dalam kalender Jawa, kedua perangkat gamelan dengan komposisi musik Jawa Rambu dan Rangkur ditabuh untuk menandai bahwa perayaan sekaten dimulai.
Gamelan sekaten adalah benda pusaka keraton yang disebut kanjeng Kyai Sekati dibuat oleh Sunan Giri yang ahli dalam kesenian parawitan (Setyaningrum, 2022). Alat pemukulnya terbuat dari tanduk kerbau dan untuk mendapatkan bunyi pukulan yang nyaring dan bening, alat pemukul harus diangkat setinggi dahi sebelum dipukul pada masing-masing gamelan. Sementara Gending Sekaten adalah rangkaian lagu gending yang terdiri dari Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Salatun pathet nem, Ngajatun pathet nem, Batem Tur pathet nem, Supiyatun pathet barang, dan Srundeng gosong pelog pathet barang. Untuk persiapan spiritual, biasanya sebelum Sekaten dilaksanakan para abdi ndalem keraton menyiapkan mental dan batin untuk mengemban tugas sakral tersebut. Selain itu, abdi ndalem yang bertugas memukul gamelan sekaten, juga harus mensucikan diri dengan berpuasa dan siram jamas. Gamelan sekaten dapat dilihat pada gambar di bawah ini
Pagelaran sekaten di Surakarta sendiri selalu diikuti dengan kegiatan pasar malam selama sebulan penuh. Pagelaran tersebut dimulai dengan ditandai oleh bunyi gamelan yang akan diarak ke masjid. Acara ini akan berlangsung pada tanggal keenam hingga keduabelas Rabiul Awal, yang di mana pada tanggal ini juga gamelan akan ditabuh secara terus menerus. Setelah itu acara akan dilanjutkan dengan Tumplak Wajik dan Grebeg Maulud. Tumplak Wajik akan dilaksanakan selama dua hari sebelum Grebeg Maulud diadakan. Upacara Tumplak Wajik ini berupa kotekan atau permainan lagu dengan kentongan. Hal ini dilakukan sebagai tanda bahwa pembuatan gunungan telah dimulai. Lagu-lagu yang dimainkan dalam Tumplak Wajik seperti Lompong Keli, Owal Awil, Tudhung Setan dan lain sebagainya. Pagelaran Sekaten dapat dilihat pada gambar di bawah ini
Beberapa nilai yang terkadung dalam tradisi Sekaten, di antaranya sebagai berikut :
a. Nilai Agama Pada saat itu masyarakat sangat menyukai gamelan sehingga Walisongo menjadikan gamelan sebagai media penyiaran agama Islam. Saat masyarakat sudah berkumpul Walisongo menuntun mereka untuk mengucapkan dua kalimat syahadat. Dari kata syahadatain itulah muncul istilah sekaten sebagai akibat perubahan pengucapan. Acara sekaten tersendiri juga dilaksanakan sebagai bentuk perayaan kelahiran Nabi Muhammad SAW dan di dalamnya diadakan penabuhan gamelan. Dengan demikian sekaten dan agama islam saling berkaitan erat karena bertujuan sebagai sarana pernyebaran agama Islam. b. Nilai Pendidikan Tradisi sekaten bisa menjadi sarana pembelajaran bagi generasi muda untuk mengetahui adat istiadat serta budaya yang ada di Iindonesia terutama di Jawa. c. Nilai Ekonomi Seiring dengan perkembangan zaman, sekaten mulai dimanfaatkan dalam sektor ekonomi, yakni sebaga ladang masyarakat untuk berdagang d. Nilai Sosial Sekaten memiliki beragam fungsi sosial bagi masyarakat, salah satunya sebagai sarana berinteraksi sosial masyarakat satu dengan yang lain. Sekaten dapat dirasakan oleh semua kalangan tanpa memandang status sosial.
Referensi Daniswari, D. (2022). Mengenal Gamelan Sekaten Surakarta, Gamelan yang Dibunyikan Selama 7 HariKompas.https://regional.kompas.com/read/2022/03/10/054500878/mengenal-gamelan-sekaten-surakarta-gamelan-yang-dibunyikan-selama-7-hari?page=al Herusatoto, Budiono. (1987). Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Hanindita. Koentjaraningrat. (1996). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Marzuki. “Tradisi Dan Budaya Masyarakat Jawa Dalam Perspektif Islam.” Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta no. (2017): 2. Setyaningrum, P. (2022). Mengenal Gamelan Sekaten Keraton Yogyakarta, Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogo Wilogo. Kompas. https://yogyakarta.kompas.com/read/2022/10/05/182803078/mengenal-gamelan-sekaten-keraton-yogyakarta-kyai-guntur-madu-dan-kyai?page=all Sunati, and Zeniar Nur Aulia. “Sekaten Cultural Tradition At The Kasunanan Surakarta Palace.” The Ushuluddin International Students Conference 1, no. 1 (2023): 516–22. http://proceedings.radenfatah.ac.id/index.php/UInScof2022.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja