Pada zaman dahulu ada sebuah desa berada di dekat Galela. Sekarang desa itu dikenal dengan nama Desa Mamuya. Tidak diketahui sejak kapan desa itu dinamai Mamuya. Konon, nama desa itu berasal dari seseorang suku terasing di hutan. Kata orang Tobelo, namanya Nihiri, yang berarti sakit. Awalnya, orang dari hutan itu mengganggu penduduk di luar hutan. Dia mencuri temak penduduk sehingga penduduk menjadi marah dan merencanakan untuk menangkapnya. Para tua-tua (orang yang dianggap tua) di karnpung itu merencanakan untuk menangkap Nihiri pada malam hari ketika ia melaksanakan aksinya. Penduduk pun setuju. Pada saat malam tiba, penduduk bersiap-siap menangkapnya. Ketika Nihiri melaksanakan aksi mencurinya, penduduk secara beramai-ramai menangkapnya dengan menggunakan gomutu (tali yang dibuat dari pohon enau), kemudian dipukul hingga babak belur. "Mengapa kau mengganggu desa kami?" tanya Kepala Adat. "Kami butuh makanan dan tempat tinggal," jawab Nahiri sambil merintih-rintih. Kepala...
Pada zaman dahulu, di Desa Marahai hidup satu keluarga. Mereka adalah sepasang suami isteri dengan seorang anak perempuan. Sang ayah bemama Daluku dan sang ibu bemama Haiti, sedangkan anak perempuan mereka bemama Bebeoto. Hari-hari mereka lalui dengan bahagia. Bebeoto sangat disayangi oleh ayah dan ibunya. Agaknya, kebahagiaan di keluarga ini tidak berlangsung lama. Pada waktu usia Bebeoto enam tahun, Daluku meninggal karena sakit keras. Maka hari-hari berikutnya dilalui Bebeoto hanya berdua dengan ibunya. Untuk menghidupi anaknya yang masih kecil, Haiti menanam tanaman di kebun dan memelihara ayam. Pada suatu saat, wabah penyakit temak melanda Desa Marahai. Semua ayam yang dipelihara Bebeoto mati kerena diterjang wabah penyakit. Seekor ayam betina yang baru bertelur lima butir pun ikut mati. Keadaan itu membuat Bebeoto dan ibunya putus asa. Mereka hanya berdoa kepada Tuhan agar bencana wabah itu cepat berlalu. Dalam beberapa minggu si ibu masih bisa menjaga diri dan ana...
Valau naik mobil dari Tobelo ke Galela, kita akan melihat sebuah gunung berapi yang menjulang tinggi, tampak megah dan indah. Gunung ini adalah Gunung Dukono. Taukah kalian bagaimana asal-mula nama gunung ini? Nah, silakan simak cerita berikut ini. Pada zaman dahulu kala Gunung Tarakani adalah sebuah gunung berapi yang sangat tinggi. Pada waktu meletus, gunung itu patah menjadi dua bagian, yaitu Tarakani besar dan Tarakani kecil. Tarakani besar dengan ketinggian 800 di atas permukaan laut terletak di antara Desa Seki dan Desa Soasio, dekat Danau Galela. Tarakani kecil dengan ketinggian 600 meter di atas permukaan laut terletak di Desa Makete, Ngidiho, dan Desa Simau. Di atas puncak Gunung Tarakani besar terdapat suatu lembah yang besar dengan kedalaman kira-kira 600 meter dengan luas kurang lebih 10 ha dan ditutupi oleh hutan yang lebat. Lembah yang dalam ini adalah bekas kawah sewaktu gunung a pi itu masih aktif. Di atas puncak Gunung Tarakani besar juga terdapat...
Konon, pada zaman dahulu kala hiduplah seorang nenek yang sudah sangat tua di seputar Talaga Lina. Talaga ini sangat indah pemandangannya dan aimya jemih. Suatu ketika nenek berkeinginan untuk pergi ke daerah pesisir di ujung utara Pulau Halmahera, tepatnya di Desa Jere. Sebelum berangkat, sang Nenek mempersiapkan bekalnya berupa sebuah saloi (keranjang), dan tidak ketinggalan juga air yang dibawa dari Telaga Lina yang ditaruh dalam bungkusan daun dinga (sukun). Keesokan harinya berangkatlah sang Nenek menuju pesisir dengan menggendong saloi berisi air yang dibungkus daun dinga. Setelah menempuh jarak yang panjang dan memakan waktu yang lama, si Nenek mengalami kelelahan dan memu tuskan untuk berisirahat di sebuah pohon rindang nan sejuk dan menyandarkan diri untuk melepaskan keletihannya. Akan tetapi, pada saat ia bersandar di bawah pohon, tanpa disadarinya air yang di dalam saloi tertumpah ke tanah dan tiba-tiba saja air tumpahan itu berubah menjadi sebuah talaga dan talaga itu se...
Di suatu tempat yang sangat jauh dari keramaian di tepi hutan terpencil, hiduplah keluarga kecil yang terdiri atas mit 'ayah', bot 'ibu', dan anaknya yang bemama Finagonli. Mangole adalah nama kampung mereka. Mata pencaharian mereka adalah sebagai petani. Di pagi hari yang cerah, bot dan mit pergi ke kebun untuk menanam kelapa dan cengkeh. Sementara itu, anaknya menyiapkan hidangan makan siang agar kedua orang tuanya ketika pulang dapat segera mengisi perut mereka. Setelah itu, di sore hari, Finagonli pergi ke hutan bersama temantemannya untuk mencari kayu bakar. Finagonli adalah anak yang rajin, pandai, jujur, dan patuh kepada kedua orang tuanya. Selain itu, Finagonli juga seorang anak yang cantik dengan suara lembut memikat. Suaranya lembut terdengar seperti gesekan biola. Pada suatu hari, pelabuhan Mangole mulai ramai ketika seorang pemuda berpakaian sederhana turun dari kapal kecil (motor dalam) sambil membawa barang dagangannya. Tujuannya ada...
Alkisah, di pulau yang terpencil di pedalaman hutan Gunung Sali hiduplah keluarga kecil yang terdiri atas satu orang perempuan dan dua orang laki-laki. Kedua orang tua mereka telah tiada setelah mereka beranjak dewasa. Pakaian mereka compang-camping. Mereka bertiga sering kekurangan makanan karena menanti panen hasil kebun. Tidak makan dua atau tiga hari atau seminggu adalah hal yang biasa bagi mereka bertiga. Mata pencaharian mereka adalah melaut dan berkebun. Biasanya, kakak laki-laki yang pertama dan kedua pergi ke laut untuk menjaring ikan. Alat-alat yang disiapkan adalah bubu dan jaring. Sementara itu, saudara perempuan mereka pergi ke kebun untuk menanam ubi dan ketela. Setelah itu, ia bermain-main di hutan areal kebun mereka untuk mencari sayuran dan apa saja yang bisa dimakan dan dibawanya pulang untuk mengganjal perut. Itulah kehidupan mereka sehari-hari. Pada suatu ketika saat matahari mengeluarkan cahaya penerang kepada alam pada pagi hari, dua orang k...
Di Kecamatan Tobelo Selatan, Halmahera utara, terdapat sebuah telaga yang disebut Telaga Paca. Menurut legenda setempat, telaga ini terjadi melalui suatu proses yang cukup menarik. Pada mulanya ada seorang gadis yang tinggal di sebuah gubuk di tengah hutan bersama beberapa keluarga. Jarak rumah mereka saling berjauhan satu dengan yang lain. Gubuk tersebut berada di sebelah barat Desa Paca. Pada suatu hari, secara tiba-tiba terdengar suara seseorang yang memanggilnya, "Hai, teman, siapakah namamu ?" "Nama saya Memeua ... ," jawab sang gadis sambil memerhatikan seseorang yang menyapanya tersebut. Karena merasa belum mengenal seseorang yang menyapanya, Memeua bertanya dalam hatinya, "Siapakah gerangan orang ini? Suda sekian lama saya hidu p di sini, tidak seorang lelaki pun yang pemah mendatangi saya," Pria muda itu mendekati Memeua sambil menjulurkan tangannya dan berkata, "Maaf, izinkanlah saya memperkenalkan diri kepada Dinda. Nama saya Kububu, berasal dari suku Gale...
Dahulu sekitar tahun 1650 di belahan timur Pulau Halmahera, tepatnya di daerah pesisir pantai utara Teluk Kao, hiduplah dua orang pemuda bersaudara. Kedua pemuda itu sangat akrab dan saling menyayangi. Si sulung bemama Torobuku, sedangkan si bungsu bemama Hagapanoto. Tubuh mereka kekar, sehat, dan sangat dikagumi karena kekuatan mereka. Dari tahun ke tahun mereka hidup dengan bercocok tanam. Makanan kesukaan mereka adalah sagu yang tepungnya diambil dari pohon umbira, pohon enau, dan juga keladi. Ada yang kecil, sedang, besar, dan yang paling besar mereka sebut dara. Keladi dibudidayakan hingga saat ini. Garis tengahnya bisa mencapai 35m dan tingginya bisa mencapai lebih dari 2 meter. Jenis keladi ini sangat enak dimakan dengan memakai kuah santan kelapa yang dalam bahasa Tobelo disebut ogana. Makanan yang bernama mahigouku adalah makanan kesukaan mereka. Suatu ketika kedua pemuda terse but bersepakat memasak keladi (widara) dengan membuat kuah dari santan kelapa atau...
Penduduk asli suku Taliabo- kurang lebih sekitar 4 km dari pesisir pantai ke pedalaman- banyak bermukim di daerah-daerah yang masih sangat terpencil dan merupakan alam yang tandus. Salah satu desa yang terpencil itu bemama Desa Manghai. Desa itu memiliki sebuah legenda yang dikenal oleh masyarakat sekitamya. Konon, pada zaman dahulu kala hiduplah seorang lelaki bemama Ngandong. Pada suatu hari pak Ngandong mulai jenuh dengan kehidupan di desanya. Ia pun bertekad mencari kehidupan yang lebih baik. Pak Ngandong mulai berjalan di hutan dengan membawa sebuah kapak yang merupakan satu-satunya harta yang dimilikinya. Ia terus berjalan tanpa arah dan tujuan. Ia hanya berharap mendapat tempat tinggal dan tempat yang memungkinkan baginya mencari pekerjaan untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidupnya. Setelah sekian lama melakukan perjalanan, akhirnya tibalah ia di sebuah tempat yang memiliki tanah yang tidak begitu luas, tetapi cukup yang subur dan perairan yang baik karena letaknya di...