Dahulu sekitar tahun 1650 di belahan timur Pulau Halmahera, tepatnya di daerah pesisir pantai utara Teluk Kao, hiduplah dua orang pemuda bersaudara. Kedua pemuda itu sangat akrab dan saling menyayangi. Si sulung bemama Torobuku, sedangkan si bungsu bemama Hagapanoto.
Tubuh mereka kekar, sehat, dan sangat dikagumi karena kekuatan mereka. Dari tahun ke tahun mereka hidup dengan bercocok tanam. Makanan kesukaan mereka adalah sagu yang tepungnya diambil dari pohon umbira, pohon enau, dan juga keladi. Ada yang kecil, sedang, besar, dan yang paling besar mereka sebut dara. Keladi dibudidayakan hingga saat ini. Garis tengahnya bisa mencapai 35m dan tingginya bisa mencapai lebih dari 2 meter. Jenis keladi ini sangat enak dimakan dengan memakai kuah santan kelapa yang dalam bahasa Tobelo disebut ogana. Makanan yang bernama mahigouku adalah makanan kesukaan mereka.
Suatu ketika kedua pemuda terse but bersepakat memasak keladi (widara) dengan membuat kuah dari santan kelapa atau ogana. Sambil duduk makan, kemudian kelarlah satu kata teguran dari adiknya, Hagapanoto, yang mengatakan bahwa ogana mereka kurang garam. Torobuku selaku kakaknya merasa dihina sehingga ia langsung mengangkat ogana lalu menyiramkannya di kepala Hagapanoto. Pada saat itu juga timbul pertengkaran yang diakhiri dengan adu jotos dan tendangan.
Dalam perkelahian seru itu, masing-masing memanfaatkan kesempatan terbaik mereka. Hagapanoto memukul kakaknya dengan telak ke arah dagu. Namun, Torobuku berhasil menangkis pukulan keras ini sehingga terdorong ke belakang. Kakinya mendorong batu-batu tempat dia berpijak ke laut. Hingga kini batu terse but masih tetap timbul di atas laut dan tempat itu disebut Dovuloko, artinya kumpulan batu yang terdorong oleh Torobuku sewaktu menangkis pukulan Hagapanoto.
Karena pukulannya dapat ditangkis kakaknya, Hagapanoto pun kembali melancarkan pululan. Namun, Torobuku berhasil mengelak sehingga pukulan yang begitu keras menghantam pohon kelapa. Batang pohon kelapa yang terkena pukulan Hagapanoto terkupas kulitnya sekaligus layu dan mati.
Demikianlah, setelah peristiwa perkelahian itu timbulah sifat saling dengki dan terjadilah perpisahan seumur hid up. Torobuku berjalan menulusuri pantai selatan dan hingga kini kabar beritanya tidak diketahui lagi. Sementara itu, Hagapanoto menuju pesisir utara dan akhirnya bertemu dengan seorang wanita di Hibuahlamo, Tobelo. Dari perkawinan dengan perempuan itu, dia dikarunia keturunan seorang anak laki-laki dan perempuan.
Hagapanoto serta istri dan anak-anaknya akhirnya memutuskan mencari tempat hidup baru yang lebih aman dan lebih baik, yaitu kembali ke tempat mereka semula.
Tahun berganti tahun, keluarga mereka makin bertambah banyak sehingga perlu adanya pengaturan yang lebih baik. Di saat itu Hagapanoto serta istrinya telah dipanggil oleh Tuhan dan tempat pemakaman mereka hingga saat ini tidak diketahui.
Dari keluarga yang makin banyak ini, ada seorang pemuda yang bijaksana, peramah, dan sangat disenangi semua keluarga. Pemuda tersebut bemama Hirono. Pada suatu hari, Hirono mengundang semua keluarga serta tetangganya untuk membicarakan masa depan mereka yang lebih baik. Dalam pembicaraan itu, mereka memilih seorang pimpinan. Akhimya, Hirono dipilih sebagai pimpinan atau kepala kampung.
Setelah terpilih sebagai kepala kampung, Hirono langsung memimpin rapat lanjutan. Hirono ingin agar kampung yang mereka diami diberi nama. Untuk itu, semua harus berpikir tentang calon nama kampung mereka dikaitkan dengan lingkungan sekitar mereka. Pemberian nama kampung itu harus diserta dengan alasan yang tepat. Hingga lama tidak ada yang bisa memberikan usulan.
Akhimya, Hirono mengambil keputusan. Dengan suara berwiwaba ia berkata, "Pelabuhan kita sangat berbahaya karena berombak. Walaupun demikian, kita masih punya peluang untuk keluar ataupun masuk ketika mencari ikan di laut. Mengapa? Karena ada dua jalan untuk masuk ataupun keluar yang disebut Madoro".
Nah, dari kata madoro inilah semua sepakat bahwa desa yang mereka diami diberi nama Doro, yang artinya adalah jalan untuk masuk ataupun jalan untuk keluar.
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja
Jembatan Plunyon merupakan bagian dari wisata alam Plunyon-Kalikuning yang masuk kawasan TNGM (Taman Nasional Gunung Merapi) dan wisatanya dikelola Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) setempat, yaitu Kalikuning Park. Sargiman, salah seorang pengelola wisata alam Plunyon-Kalikuning, menjelaskan proses syuting KKN Desa Penari di Jembatan Plunyon berlangsung pada akhir 2019. Saat itu warga begitu penasaran meski syuting dilakukan secara tertutup. Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan zoom-in-whitePerbesar Jembatan Plunyon yang berada di Wisata Alam Plunyon-Kalikuning di Cangkringan, Kabupaten Sleman. Lokasi ini ramai setelah menjadi lokasi syuting film KKN Desa Penari. Foto: Arfiansyah Panji Purnandaru/kumparan "Syuting yang KKN itu kebetulan, kan, 3 hari, yang 1 hari karena gunungnya tidak tampak dibatalkan dan diu...