|
|
|
|
Asal Mula Desa Doro Tanggal 26 Nov 2018 oleh Riani Charlina. |
Dahulu sekitar tahun 1650 di belahan timur Pulau Halmahera, tepatnya di daerah pesisir pantai utara Teluk Kao, hiduplah dua orang pemuda bersaudara. Kedua pemuda itu sangat akrab dan saling menyayangi. Si sulung bemama Torobuku, sedangkan si bungsu bemama Hagapanoto.
Tubuh mereka kekar, sehat, dan sangat dikagumi karena kekuatan mereka. Dari tahun ke tahun mereka hidup dengan bercocok tanam. Makanan kesukaan mereka adalah sagu yang tepungnya diambil dari pohon umbira, pohon enau, dan juga keladi. Ada yang kecil, sedang, besar, dan yang paling besar mereka sebut dara. Keladi dibudidayakan hingga saat ini. Garis tengahnya bisa mencapai 35m dan tingginya bisa mencapai lebih dari 2 meter. Jenis keladi ini sangat enak dimakan dengan memakai kuah santan kelapa yang dalam bahasa Tobelo disebut ogana. Makanan yang bernama mahigouku adalah makanan kesukaan mereka.
Suatu ketika kedua pemuda terse but bersepakat memasak keladi (widara) dengan membuat kuah dari santan kelapa atau ogana. Sambil duduk makan, kemudian kelarlah satu kata teguran dari adiknya, Hagapanoto, yang mengatakan bahwa ogana mereka kurang garam. Torobuku selaku kakaknya merasa dihina sehingga ia langsung mengangkat ogana lalu menyiramkannya di kepala Hagapanoto. Pada saat itu juga timbul pertengkaran yang diakhiri dengan adu jotos dan tendangan.
Dalam perkelahian seru itu, masing-masing memanfaatkan kesempatan terbaik mereka. Hagapanoto memukul kakaknya dengan telak ke arah dagu. Namun, Torobuku berhasil menangkis pukulan keras ini sehingga terdorong ke belakang. Kakinya mendorong batu-batu tempat dia berpijak ke laut. Hingga kini batu terse but masih tetap timbul di atas laut dan tempat itu disebut Dovuloko, artinya kumpulan batu yang terdorong oleh Torobuku sewaktu menangkis pukulan Hagapanoto.
Karena pukulannya dapat ditangkis kakaknya, Hagapanoto pun kembali melancarkan pululan. Namun, Torobuku berhasil mengelak sehingga pukulan yang begitu keras menghantam pohon kelapa. Batang pohon kelapa yang terkena pukulan Hagapanoto terkupas kulitnya sekaligus layu dan mati.
Demikianlah, setelah peristiwa perkelahian itu timbulah sifat saling dengki dan terjadilah perpisahan seumur hid up. Torobuku berjalan menulusuri pantai selatan dan hingga kini kabar beritanya tidak diketahui lagi. Sementara itu, Hagapanoto menuju pesisir utara dan akhirnya bertemu dengan seorang wanita di Hibuahlamo, Tobelo. Dari perkawinan dengan perempuan itu, dia dikarunia keturunan seorang anak laki-laki dan perempuan.
Hagapanoto serta istri dan anak-anaknya akhirnya memutuskan mencari tempat hidup baru yang lebih aman dan lebih baik, yaitu kembali ke tempat mereka semula.
Tahun berganti tahun, keluarga mereka makin bertambah banyak sehingga perlu adanya pengaturan yang lebih baik. Di saat itu Hagapanoto serta istrinya telah dipanggil oleh Tuhan dan tempat pemakaman mereka hingga saat ini tidak diketahui.
Dari keluarga yang makin banyak ini, ada seorang pemuda yang bijaksana, peramah, dan sangat disenangi semua keluarga. Pemuda tersebut bemama Hirono. Pada suatu hari, Hirono mengundang semua keluarga serta tetangganya untuk membicarakan masa depan mereka yang lebih baik. Dalam pembicaraan itu, mereka memilih seorang pimpinan. Akhimya, Hirono dipilih sebagai pimpinan atau kepala kampung.
Setelah terpilih sebagai kepala kampung, Hirono langsung memimpin rapat lanjutan. Hirono ingin agar kampung yang mereka diami diberi nama. Untuk itu, semua harus berpikir tentang calon nama kampung mereka dikaitkan dengan lingkungan sekitar mereka. Pemberian nama kampung itu harus diserta dengan alasan yang tepat. Hingga lama tidak ada yang bisa memberikan usulan.
Akhimya, Hirono mengambil keputusan. Dengan suara berwiwaba ia berkata, "Pelabuhan kita sangat berbahaya karena berombak. Walaupun demikian, kita masih punya peluang untuk keluar ataupun masuk ketika mencari ikan di laut. Mengapa? Karena ada dua jalan untuk masuk ataupun keluar yang disebut Madoro".
Nah, dari kata madoro inilah semua sepakat bahwa desa yang mereka diami diberi nama Doro, yang artinya adalah jalan untuk masuk ataupun jalan untuk keluar.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |