Di suatu tempat yang sangat jauh dari keramaian di tepi hutan terpencil, hiduplah keluarga kecil yang terdiri atas mit 'ayah', bot 'ibu', dan anaknya yang bemama Finagonli. Mangole adalah nama kampung mereka. Mata pencaharian mereka adalah sebagai petani.
Di pagi hari yang cerah, bot dan mit pergi ke kebun untuk menanam kelapa dan cengkeh. Sementara itu, anaknya menyiapkan hidangan makan siang agar kedua orang tuanya ketika pulang dapat segera mengisi perut mereka. Setelah itu, di sore hari, Finagonli pergi ke hutan bersama temantemannya untuk mencari kayu bakar. Finagonli adalah anak yang rajin, pandai, jujur, dan patuh kepada kedua orang tuanya. Selain itu, Finagonli juga seorang anak yang cantik dengan suara lembut memikat. Suaranya lembut terdengar seperti gesekan biola.
Pada suatu hari, pelabuhan Mangole mulai ramai ketika seorang pemuda berpakaian sederhana turun dari kapal kecil (motor dalam) sambil membawa barang dagangannya. Tujuannya adalah berjualan di Desa Mangole. Pemuda itu berasal dari kampung Banggai. Labanggai, nama pemuda itu. Labanggai bukanlah tipe pemuda yang malas. Ia adalah pemuda yang sangat rajin bekerja. Ia juga pemuda yang bertanggung jawab, sabar dalam menghadapi tantangan hidup. Ia juga merupakan tulang punggung keluarganya. Ayah dan ibu Labanggai sudah tua, sedangkan adik-adiknya masih kecil. Untuk itu, dialah yang harus mengulurkan tangan, mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya.
Ketika musim hujan panjang, ladang miliknya ditanami padi dan jagung. Setiap hari Minggu, Labanggai pergi ke hutan untuk memburu binatang hutan. Namun, bukan hanya sebatas pekerjaan itu yang ia lakukan. Dari hari ke hari hingga berminggu-minggu, ia pergi ke desa-desa terpencil untuk berdagang. Jenis barang dagangannya terdiri atas pakaian anak-anak, remaja, dan orang tua, serta peralatan dapur. Setelah barang dagangannya dijual dan tidak mendapatkan untung besar, tetapi ia selalu bersyukur atas nikmat rezeki yang diberikan oleh Allah SWT.
"Syukur alhamdulillah, hari ini saya mendapatkan rezeki walaupun rezeki ini tidak secukup dengan target modal dagangan saya," gumam Labanggai.
Siang itu matahari memang tengah memancarkan sinamya yang teramat terik. Wamanya putih keperakan berpendar-pendar menyilaukan mata. Sementara itu, langit berwama biru cukup bersih. Penduduk yang menghuni Desa Mangole kini beralih pekerjaan dari pekebun menjadi pelaut.
Pada suatu ketika, Finagonli berjalan melintas di depan tenda yang dihias seperti rumah panggung. Rumah itu milik Labanggai. Mata Labanggai terlihat seperti cahaya rembulan malam, sedangkan mulutnya terbuka lebar. Dibiarkannya seekor nyamuk melintas dan mencium bau mulutnya yang seperti bak sampah. Hati kecil Labanggai bergetar syahdu dan berkata, "Hhuh, temyata di desa sepi ini, ada pula gadis cantik sejelita itu? Saya harus mendapatkan hatinya."
Sementara itu, di bawah terik matahari siang, Finagonli merasa nyaman di dalam tenda jualan Labanggai sambil mengotak-atik baju dan celana satu per satu di badannya. Padangan Labanggai tak henti-hentinya melihat pesona delima Finagonli. Ketika Finagonli tersenyum, tampak lesung pipit di kedua pipinya merona merah. Tubuhnya langsing, rambutnya panjang tergerai hingga ke pinggang. Sungguh kesempumaan kecantikan Finagonli sulit ditandingi oleh gadis mana pun.
"Hmmm, maaf Bang, baju wama merah ini harganya berapa?"
"Oh ... eh ... , jika baju itu nyaman bagi pandangan di mata kamu, ambil saja sebagai tanda awal perkenalan kita."
"Jangan, Bang. Ini kan jualan kamu. Nanti kamu jatuh rugi."
"Tidak apa-apa. Saya ikhlas ... asalkan baju itu kamu yang pakai, ya ?"
Finagonli tidak bisa menjawab ucapan Labanggai. Ia merasa kaget, kenapa pemuda ini harus memberi baju jualannya? Padahal, jualannya bel um ban yak dibeli oleh orangorang kampung? Aneh, demikian bisikan hati Finagonli.
"Hmm, terima kasih ya, Bang. Saya tidak bisa membalas budi kasihmu dengan apa-apa."
"Iya, tidak apa-apa. Oh ya, bolehkah sebentar malam saya pergi ke rumah kamu? Ada sesuatu yang ingin saya katakan."
"Boleh. Dengan senang hati jika kamu mau datang ke rumah saya. Kalau begitu saya permisi dulu."
Jantung Labanggai berdebar-debar seperti terkena aliran listrik. Sungguh seperti mimpi. Ia bersyukur berjualan di kampung kecil tersebut. Karena di tempat itu ia dapat berjumpa dengan gadis cantik seperti bidadari yang baru turun dari kahyangan. Apalagi, sapaan gadis cantik itu begitu anggun terhadapnya.
Hari sudah malam, Labanggai bergegas menyiapkan barang dagangannya. Karena pagi harinya ia harus meneruskan perjalanannya kembali ke kampung halamannya di Banggai.
Sementara itu, angin malam berhembus perlahan-lahan. Kesejukannya seperti hedak mendinginkan hati Labanggai yang selalu tergila-gila oleh kecantikan Finagonli. Tiba-tiba, dua bola mata Labanggai menuju ke arah timur. Tampak gadis impiannya duduk termenung di depan pintu rumahnya. Dengan tidak sa bar ia langsung pergi menuju ke rumah Finagonli.
"Assalamu'alaikum," sapa Labanggai sopan.
"Walaikum salam," jawab yang empunya rumah.
"Boleh tidak saya masuk ke dalam rumah kamu?"
"Boleh, silakan masuk."
"Rumah kamu sepi sekali, di mana orang tua kamu berada?"
"Ayah dan ibu sudah tidur. Mungkin badan mereka letih karena seharian tadi bekerja keras di kebun."
"Oh, hmm ... , boleh tahu nama kamu siapa?" tanya Labanggai yang siang tadi lupa menanyakan nama gadis pujaannya.
"Nama saya Finagonli. Kalau kamu?" tanya balik Finagonli.
"Nama saya Labanggai."
Keduanya pun berbincang akrab. Malam makin larut. Hanya terdengar suara nyanyian burung di malam hari. Hati Labanggai mendesak agar ia harus segera menyatakan isi hatinya kepada Finagonli. Karena tidak mampu menahan perasaannya yang terbakar asmara, langsung ia melontarkan kata hatinya, tanpa basa-basi.
"Fin, maukah kamu saya jadikan calon istri saya? Orang tua saya sudah ingin mendapatkan menantu."
Reaksi Finagoli seperti menghitung ilmu kalkulus. Tidak tahu apa yang harus dijawab atas pertanyaan Labanggai. Hatinya ragu, bingung, bercampur bahagia, setelah Labanggai mengungkapkan kata-kata yang bel um pemah ia dengar dari pemuda di kampungnya. Tanpa menunggu waktu yang lama, Finagonli pun menjawab.
"Iya, saya terima lamaran kamu."
"Alhamdulillah. Kalau begitu besok saya pulang ke kampung untuk memberi tahu kedua orang tuaku. Jika mereka setuju menerima kamu sebagai menantu, langsung saya balik ke kampung kamu agar saya dapat meminang kamu pada kedua orang tuamu."
Matahari pagi telah tiba dan memancarkan kesegaran embun di pagi hari. Memberikan kesegaran kampung Mangole lebih indah. Hari itu pula, Labanggai harus pulang ke kampung bersama dengan barang dagangannya. Setiba di kampung, Labanggai pun bertemu ayah dan ibu bersama adik-adiknya. Ia pun menceritakan apa yang dia rencanakan. Hati labanggai merasa lega ketika kedua orang tuanya merestuinya untuk meminang Finagonli.
Berapa bulan kemudian, Labanggai pergi ke kampung Mangole untuk menepati janji kepada Finagonli. Pagi harinya Labanggai dengan langkah tegap dan pasti pergi menuju ke rumah Finagonli untuk bertemu dengan ayah dan ibu Finagonli. Tujuannya adalah agar ia dapatmeminang anak semata wayang mereka. Setiba di rumah, temyata kedua orang tua Finagonli dengan santai duduk di kursi ruang tamu mereka.
"Assalamu 'alaikum," Labanggai memberi salam.
"Wa'alaikum salam," jawab ayah Finagonli.
Setelah berbasa-basi, Labanggai duduk tepekur menghadap kedua orang tua Fingonli. Sementara itu, Finagonli berdiam diri di dalam kamamya. Ia berdoa semoga ayah dan ibunya merestui hubungannya.
"Kamu siapa?" tanya ibu Finagonli membuka pembicaraan.
"Maksud dan tujuan apa kamu ketemu kami?" tanya ayah Finagonli menimpali pertanyaan istrinya.
"Maaf, Pak, Bu, nama saya Labanggai. Tempat asal saya di kampung Banggai. Maksud kedatangan saya ke sini untuk menyunting anak gadis Bapak dan lbu, Finagonli. Kami berdua sudah bersepakat untuk menikah. Jadi, saya memberanikan diri untuk bertemu dengan Bapak dan lbu."
Mendengar penuturan Labanggai, kedua orang tua Finagonli diam sejenak. Sejurus kemudian wajah mereka terlihat merah karena menahan emosi bercampur marah. Akan tetapi, Labanggai bersikap tenang menerima amarah kedua orang tua Finagonli.
"Labanggai, sebelumnya kami meminta maaf," ujar ibu Finagonli sedikit tenang.
"Kenapa Bapak dan lbu harus meminta maaf?" lbu Finagonli langsung berkata, "Kami tidak bisa menerima lamaran kamu. Kami sudah menemukan calon suami Finagonli. Pemuda itu berasal dari kampung halaman Finagonli sendiri. Ia anak orang terpandang dan mampu. J adi, kamu cari saja pilihan cal on istri yang lain selain Finagonli."
Kekecewaan pun menggelayuti hati Labanggai. lmpiannya menyunting Finagonli sia-sia seperti ditelan angin malam. Inilah jeritan hati Labanggai. Setelah mendengar jawaban dari ayah dan ibu Finagonli, Labanggai meminta pamit untuk kembali ke rumah yang jaraknya tidak jauh dari rumah Finagonli. Hatinya menangis. Namun, tidak ada siapa pun yang melihatnya. Hanya tembok rumah dan tikar pandan yang menjadi saksi. Esok harinya, Labanggai kembali ke kampung halamannya tanpa membawa cita-cita yang diimpikan.
Menit berganti jam. Hari berganti bulan. Waktu pun telah berlalu tanpa terasa. Finagonli hatinya tergoncang atas penolakan ibunya terhadap peminangan Labanggai. Finagonli tidak mampu menahan rasa kekecewaan atas tidak direstuinya hubungan cinta mereka. Tiba-tiba timbul insiatif Finagonli untuk pergi menjauh dari kampung halamannya agar ia tidak dapat mengenang masa indahnya dengan kekasihnya, Labanggai. Kemudian, ia pergi dengan membawa seeokor ayam jantan putih piaraannya. Beberapa kampung telah ia lewati. Namun, ia tidak tahu ke mana tempat yang harus ia tuju.
Ketika matahari terbenam di ufuk barat sebagai tanda hari mulai malam, Finagonli beristrahat sejenak di sebuah batu besar. Di samping kanan batu itu ada sebuah sungai yang mengeluarkan mata aimya ke laut. Sementara itu, di depannya berhadapan dengan laut. Finagonli pun mandi di sungai itu sebab sudah beberapa hari perjalanannya ia bel um mandi. Setelah mandi, ia beristrahat dan terlelap tidur di atas batu tersebut karena badannya terasa letih dan sakit.
Angin malam melambai membuat mata Finagonli makin tertutup rapat. Tiba-tiba, a yam putih yang dibawanya tadi berkokok. Ayam jantan itu memberi tanda bahwa sesaat lagi waktu subuh telah tiba.
Finagonli terbangun dari tidumya. Ia sedih memikirkan nasibnya. Ia pun selalu terkenang masa indahnya dengan Labanggai. Namun, ia selalu berpikir positif bahwa sebagai anak harus tunduk atas keputusan dan kehendak orang tua yang melahirkan dan membesarkannya.
Pikiran Finagonli makin kacau. Rasa kecewa dan sakit hati selalu melanda dirinya. Karena tidak sanggup menahan jeri tan hid up ini, Finagonli pun berserah diri kepada Tuhan.
"Tuhan, daripada hati saya sakit karena dijodohkan, lebih baik Engkau mengubah wujud saya menjadi batu."
Atas kehedak-Nya, wujud Finagonli dan ayam putih di samping tangan kanannya pun berubah mulai dari ujung jari hingga ke pinggang. Pada saat itu wajah Finagonli belum sempat berubah wujud. Tiba-tiba kedua orang tua dan masyarakat sekitamya datang menolong dengan cara menarik tubuh Finagonli yang sesaat lagi akan berubah. Namun, sia-sialah pertolongan itu. Nasi sudah menjadi bubur. Finagonli menolak pertolongan orang-orang dan kedua orang tuanya. Ia menangis.
"Ikhlaskan saya. Biarkan saja saya berubah wujud menjadi batu karena ini adalah kehendak saya."
Tak terasa wujud Finagonli pun berubah menjadi batu besar fat finakoa. Masyarakat yang datang menolongnya tadi kini pulang ke rumah mereka masing-masing. Sementara itu, ayah dan ibu Finagonli menyesal atas keputusan mereka yang telah berlalu.
Peristiwa baru pun terjadi di antara kedua orang tua ini. Ayah Finagonli menyalahkan ibu Finagonli. Pertengkaran pun berlanjut. Tidak mampu menahan rasa emosi dan amarahnya, ayah Finagonli membunuh istrinya dengan pedang. Tubuh ibu Finagonli juga berubah menjadi batu fat bot. Karena merasa hidupnya tidak berarti setelah kehilangan anak dan istrinya, ayah Finagonli pun bunuh diri. Pada hari yang bersamaan, tubuh ayah Finagonli pun berubah menjadi batu fat mit.
Demikianlah cerita tentang fat finakoa. Ada pun kata fat finakoa berasal dari bahasa Sula. Fat artinya batu, sedangkan fina artinya gadis. Fat finakoa berarti batu yang berbentuk seorang gadis. Letak fat finakoa berada di perbatasan Desa Waisakai. Ketika speed boat lewat di depan fat finakoa, penumpang kapal tidak boleh menunjuk dan menertawai batu itu. Karena jika hal itu dilakukan, mereka akan mendapatkan kecelakaan, misalnya terjadi ombak, atau arus deras, hingga menimbulkan kecelakaan laut
1. Rendang (Minangkabau) Rendang adalah hidangan daging (umumnya sapi) yang dimasak perlahan dalam santan dan bumbu rempah-rempah yang kaya selama berjam-jam (4–8 jam). Proses memasak yang sangat lama ini membuat santan mengering dan bumbu terserap sempurna ke dalam daging. Hasilnya adalah daging yang sangat empuk, padat, dan dilapisi bumbu hitam kecokelatan yang berminyak. Cita rasanya sangat kompleks: gurih, pedas, dan beraroma kuat. Rendang kering memiliki daya simpan yang panjang. Rendang adalah salah satu hidangan khas Indonesia yang paling terkenal dan diakui dunia. Berasal dari Minangkabau, Sumatera Barat, masakan ini memiliki nilai budaya yang tinggi dan proses memasak yang unik. 1. Asal dan Filosofi Asal: Rendang berasal dari tradisi memasak suku Minangkabau. Secara historis, masakan ini berfungsi sebagai bekal perjalanan jauh karena kemampuannya yang tahan lama berkat proses memasak yang menghilangkan air. Filosofi: Proses memasak rendang yang memakan waktu lama mela...
Ayam goreng adalah salah satu menu favorit keluarga yang tidak pernah membosankan. Namun, jika kamu ingin mencoba variasi yang lebih gurih dan harum, ayam goreng bawang putih renyah adalah pilihan yang tepat. Ciri khasnya terletak pada aroma bawang putih yang kuat serta kriukannya yang renyah saat digigit. Resep ini juga sangat mudah dibuat, cocok untuk menu harian maupun ide jualan. Bahan-Bahan Bahan Ayam Ungkep ½ kg ayam (boleh potong kecil agar lebih cepat matang) 5 siung bawang putih 4 siung bawang merah 1 sdt ketumbar bubuk 1 ruas kunyit (opsional untuk warna) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400 ml Bahan Kriuk Bawang 5–6 siung bawang putih, cincang halus 3 sdm tepung maizena ¼ sdt garam ¼ sdt lada Minyak banyak untuk menggoreng Cara Membuat Ungkep ayam terlebih dahulu Haluskan bawang putih, bawang merah, kunyit, dan ketumbar. Tumis sebentar hingga harum. Masukkan ayam, aduk rata, lalu tuang air. Tambahkan garam dan kaldu...
Ayam ungkep bumbu kuning adalah salah satu menu rumahan yang paling praktis dibuat. Rasanya gurih, aromanya harum, dan bisa diolah lagi menjadi berbagai hidangan seperti ayam goreng, ayam bakar, hingga pelengkap nasi kuning. Keunggulan lainnya, resep ini termasuk cepat dan cocok untuk kamu yang ingin memasak tanpa ribet namun tetap enak. Berikut resep ayam ungkep bumbu kuning cepat yang bisa kamu coba di rumah. Bahan-Bahan ½ kg ayam, potong sesuai selera 4 siung bawang putih 5 siung bawang merah 1 ruas kunyit 1 ruas jahe 1 ruas lengkuas (geprek) 2 lembar daun salam 2 lembar daun jeruk 1 batang serai (geprek) 1 sdt ketumbar bubuk (opsional) Garam secukupnya Kaldu bubuk secukupnya Air ± 400–500 ml Minyak sedikit untuk menumis Cara Membuat Haluskan bumbu Blender atau ulek bawang merah, bawang putih, kunyit, jahe, dan ketumbar bubuk (jika dipakai). Semakin halus bumbunya, semakin meresap ke ayam. Tumis bumbu hingga harum Panaskan sedikit m...
Sumber daya air merupakan sebuah unsur esensial dalam mendukung keberlangsungan kehidupan di bumi. Ketersediaan air dengan kualitas baik dan jumlah yang cukup menjadi faktor utama keseimbangan ekosistem serta kesejahteraan manusia. Namun, pada era modern saat ini, dunia menghadapi krisis air yang semakin mengkhawatirkan (Sari et al., 2024). Berkurangnya ketersediaan air disebabkan oleh berbagai faktor global seperti pemanasan, degradasi lingkungan, dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Kondisi tersebut menuntut adanya langkah-langkah strategis dalam pengelolaan air dengan memperhatikan berbagai faktor yang tidak hanya teknis, tetapi juga memperhatikan sosial dan budaya masyarakat. Salah satu langkah yang relevan adalah konservasi air berbasis kearifan lokal. Langkah strategis ini memprioritaskan nilai-nilai budaya masyarakat sebagai dasar dalam menjaga sumber daya air. Salah satu wilayah yang mengimplementasikan konservasi berbasis kearifan lokal yaitu Goa Ngerong di kecamatan Rengel,...
Kelahiran seorang anak yang dinantikan tentu membuat seorang ibu serta keluarga menjadi bahagia karena dapat bertemu dengan buah hatinya, terutama bagi ibu (melahirkan anak pertama). Tetapi tidak sedikit pula ibu yang mengalami stress yang bersamaan dengan rasa bahagia itu. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan tentang makna dari pra-kelahiran seseorang dalam adat Nias khusunya di Nias Barat, Kecamatan Lahomi Desa Tigaserangkai, dan menjelaskan tentang proses kelahiran anak mulai dari memberikan nama famanoro ono khora sibaya. Metode pelaksanaan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode observasi dan metode wawancara dengan pendekatan deskriptif. pendekatan deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan fakta sosial dan memberikan keterangan yang jelas mengenai Pra-Kelahiran dalam adat Nias. Adapun hasil dalam pembahasan ini adalah pra-kelahiran, pada waktu melahirkan anak,Pemberian Nama (Famatorõ Tõi), acara famangõrõ ono khõ zibaya (Mengantar anak ke rumah paman),...