|
|
|
|
Asal Mula Telaga Paca Tanggal 26 Nov 2018 oleh Riani Charlina. |
Di Kecamatan Tobelo Selatan, Halmahera utara, terdapat sebuah telaga yang disebut Telaga Paca. Menurut legenda setempat, telaga ini terjadi melalui suatu proses yang cukup menarik. Pada mulanya ada seorang gadis yang tinggal di sebuah gubuk di tengah hutan bersama beberapa keluarga. Jarak rumah mereka saling berjauhan satu dengan yang lain. Gubuk tersebut berada di sebelah barat Desa Paca.
Pada suatu hari, secara tiba-tiba terdengar suara seseorang yang memanggilnya, "Hai, teman, siapakah namamu ?"
"Nama saya Memeua ... ," jawab sang gadis sambil memerhatikan seseorang yang menyapanya tersebut.
Karena merasa belum mengenal seseorang yang menyapanya, Memeua bertanya dalam hatinya, "Siapakah gerangan orang ini? Suda sekian lama saya hidu p di sini, tidak seorang lelaki pun yang pemah mendatangi saya,"
Pria muda itu mendekati Memeua sambil menjulurkan tangannya dan berkata, "Maaf, izinkanlah saya memperkenalkan diri kepada Dinda. Nama saya Kububu, berasal dari suku Galela."
Setelah perkenalan itu, mereka menjadi sahabat yang akrab. Bahkan, selanjutnya mereka menjadi saling menyayangi. Walaupun demikian, hubungan mereka ini masih dilakukan secara diam-diam. Kebubu mendatangi gadis ini pada waktu-waktu tertentu. Lama-kelamaan, keduanya berkeinginan untuk menikah agar hubungan meraka tidak lagi dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi.
Mengingat hari pemikahan mereka sudah dekat, Kabubu meminta izin kepada Memeua untuk kembali sebentar ke kampung halamannya. Memeua melepaskan Kububu dengan senang hati, tetapi Memeua dan orang-orang yang tinggal di tempat itu menyampaikan suatu permintaan.
"Pada waktu Kakanda kembali ke sini, tolong bawa air telaga secukupnya yang ada di Galela untuk kita pakai karena di sini sangat susah untuk memperoleh air".
Sewaktu Kububu kembali dari Galela, dia tidak lupa membawa pesanan kekasihnya. Dia membawa air satu tipo (seruas bambu). Setiba di gubuk mereka, Kukubu menyerahkan air itu kepada Memeua. Air itu sebagian dituangkan di belanga (panci), sedangkan sebagian lagi dituangkannya ke dalam tanah yang sudah digali dan ditutupi dengan tempurung.
Keesokan harinya tempurung itu sudah terapung di atas permukaan air. Untuk menghindari kotoran yang masuk ke dalam air, Memeua menutupnya dengan daun goro-goro (daun talas). Namun, keesokan harinya lagi, daun itu pun sudah terapung di atas air. Kembali pada esok hari menjelang malam, Memeua menutup air dengan habongo (tapisan beras). Namun, terjadi juga hal yang sama, yaitu habonga pun terapung di atas air. Habonga ini terapung karena pelebaran air semakin membesar.
Selanjutnya, Memeua menutup air dengan tikara (tikar yang terbuat dari daun buho), lalu Memeua dan Ku bubu beristirahat. Menjelang pagi, tiba-tiba ayam peliharaan mereka berkokok yang menandakan bahwa akan terjadi bencana. Memeua dan Kububu beserta pencduduk di situ sangat terkejut dan ketakutan karena temyata air dari tem pat Memeua makin melebar dan siap menenggelamkan daerah tersebut.
Semua orang yang berada di desa itu berusaha untuk menyelamatkan diri dari malapetaka. Memeua dan Kububu juga berlari, tetapi ke arah yang berbeda. Memeua berlari ke arah tenggara, sedangkan Kebubu berlari ke arah barat laut. Air pun mengejar mereka masing-masing sehingga akhimya mereka kehabisan tenaga. Karena air itu meluas dengan cepat, akhimya Memeua memutuskan untuk mengorbankan diri dengan cara berpegang pada batang pohon torobuku dan melakukan proses booteke (proses gaib untuk menyatukan diri dengan pohon).
Lalu dia mengucapkan satu kalimat "batas air sampai di sini saja dan akan mengalir ke kali Mawea!" Temyata air patuh kepada perintah Memeua sehingga air itu pun berhenti di situ. Hingga saat ini, kita bisa melihat batang pohon yang menyatu dengan Memeua. Dahulu, jika dipotong, pohon ini mengeluarakan darah. Akan tetapi, sekarang tidak lagi.
Begitu juga degan Kububu, dia tidak berdaya mengatasi peluapan air yang begitu cepat. Oleh karena itu, dia pun memutuskan mengorbankan diri dengan cara menenggelamkan tubuhnya. Tubuh Kububu menjadi patok atau batas bagian barat dari Telaga Paca. Hingga pada saat ini, apabila dari dalam telaga ini timbul gelembung-gelembung, orang mengatakan bahwa Kububu sedang menguarkan nafas. Konon, kadang-kadang di tengah telaga terlihat mengeluarkan candi yang berbentuk seperti gereja dan masjid. Mungkin juga itu adalah kampung yang telah tenggelam ketika air meluas.
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |