Naskah asli Babad Nitik tersimpan di Perpustakaan (Widyabudaya) keraton Yogyakarta. Babad ini ditulis di atas kertas berukuran folio, dengan tinda hitam, berhuruf Jawa dengan bahasa Jawa Bercampur Kawi, digubah dalam bentuk tembang macapat. Penulisnya tidak diketahui, tetapi diterangkan bahwa ditulis atas perintah Sultan Hamengku Buwono VII. Waktu penulisannya disebutkan dengan Sengkalan “Resi nembah ngesthi tunggal” (1867 Jw/1936 M). Babad Nitik (Sultan Agung) yang seluruhnya terdiri dari tiga puluh lima pupuh tembang itu berisikan pengalaman Sultan Agung sejak masih menjadi putera mahkota, pelantikannya sebagai Sultan dan masa pemerintahannya yang berpusat di keraton Kerto. Diceritakan bahwa sewaktu masih menjadi putera mahkota, beliau mengadakan perjalanan ke seluruh Jawa, Asia Tenggara, Timur Tengah, bahkan ke dasar laut dan alam kedewataan. Semua perjalanan itu dilaksanakan secara gaib. Seperti kita ketahui pada zaman dahulu...
Tradisi Baritan Agung dilakukan masyarakat sebelum masa tanam padi dilakukan. Tradisi ini sudah dilaksanakan secara turun temurun Proses diawali dengan ziarah kubur ke makam sesepuh yang diyakini menjadi cikal bakal desa. Warga melanjutkan dengan mengambil air dari Sendang Lanang dan Wadon,yang dilanjutkan dengan kirab gunungan menuju areal persawahan. Sesampai di persawahan dilakukan upacara dengan memanjatkan doa kepada sang Pencipta. Kemudian air dari dua sendang itu kemudian dikucurkan pada saluran irigasi.
“Mencintai kuliner Indonesia, menginspirasi dunia!” Oleh: Yolanda Victoria Rajagukguk, Marcellus Arnold, Tri Oktaviani, Emely, dan Rio Lawandra Program Studi Teknologi Pangan, Fakultas Ilmu Hayati, Universitas Surya, Tangerang 15810 Jika Anda berkunjung ke Yogyakarta, ada salah satu kuliner yang menarik yang harus Anda coba, yaitu Sangga Buwana. Sangga Buwana ini menjadi salah satu makanan favorit Sri Sultan Hamengkubuwono VIII (HB VIII). Makanan yang biasanya disantap sebagai makanan pembuka ini terdiri dari kue sus, rogut daging, telur ayam rebus, selada, mayones, dan acar. Sangga Buwana terdiri dari kata “Sangga” yang artinya menyangga, dan “Buwana” yang artinya bumi/alam semesta. Secara harafiah makanan ini dapat diartikan sebagai simbol penyangga dunia beserta segala isinya. Bahan makanan yang menyusun makanan ini memiliki arti tersendiri, misalnya kue sus sebagai simbol bumi, selada sebagai simbol tanaman yang menyangga bumi, dan r...
Nama "Brongkos" terdengar unik di telinga. Dan agaknya ia memang belum terdengar akrab bagi pecinta kuliner. Bahkan, sepertinya tidak ada yang tahu darimana nama tersebut berasal. Saat dikenalkan pada sekitar 1975 oleh Ibu Sardiyem, keberadaan nasi brongkos masih terjaga hingga sekarang. Ia tidak lenyap ditelan oleh kuliner-kuliner asing. Bahkan, sejak 1990-an, turis-turis asing mulai berdatangan untuk merasakan enaknya brongkos di warung beliau yang saat ini diteruskan oleh anaknya, Ibu Tri Suparmi. Untuk membuat brongkos ini, diperlukan sejumlah bumbu. Bumbu tersebut adalah bawang putih, bawang merah, kemiri, ketumbar, merica, cabai merah, cabai rawit, daun salam, daun jeruk, lengkuas, serai, jahe, garam, gula merah, santan kental, dan air daging (kaldu sisa rebusan daging kambing atau sapi). Semua bahan tadi ditumis menjadi satu di dalam kuali besar. Sebelumnya, bawang putih, bawang merah, ketumbar, kemiri, cabai merah digiling menjadi satu adonan. Tujuannya untuk menghilangk...
Kalau sedang berkeliling Jogja terkadang akan terlihat ibu-ibu paruh baya menggendong keranjang bundar berwarna krem yang terbuat dari bambu dengan tulisan Trubus, tersusun 3 silinder dengan diameter kira-kira 80 cm yang saling ditumpuk sehingga tertutup rapat. Keranjang tersebut disebut tenong, berisi aneka makanan dan kudapan lezat. Para ibu tersebut menggendong tenong dengan selendang seperti yang biasa digunakan untuk menggendong bayi atau anak balita. Tangannya menenteng keranjang yang berisi daun pisang, kantong plastik atau kertas untuk alas atau pembungkus makanan yang dibeli. Pakaian yang dikenakan masih tradisional, yaitu dengan kebaya hijau, kain jarik, dan mengenakan tutup kepala yang disebut caping. Mulai jam 11 siang adalah saat tenong-tenong tersebut disiapkan berisi penuh aneka kudapan dan menu nasi beraneka macam. Para ibu-ibu ini mengambil makanannya dari Toko Trubus lalu berpencar ke seluruh kota Jogja. Trubus dikelola oleh salah satu keluarg...
Kata upih berasal dari tempat untuk mengukusnya yaitu pelepah pohon aren yang berbentuk bulat menyesuaikan kukusan & dandang tempat menanaknya. Jenang upih adalah bubur yang terbuat dari tepung beras, dibumbui hanya dengan sedikit garam kemudian dicetak dan dikukus dalam bakul yang dialasi seludang bunga kelapa. Pada waktu dingin, aroma seludang akan memberi cita rasa pada jenang upih yang dibuat. Setelah dingin dan dapat diiris dengan pisau, jenang upih ini serasi dinikmati bersama baceman aneka tempe atau tahu. Jenang upih terbuat dari beras yang dicuci bersih lalu ditiriskan, setelah benar-benar kering digiling hingga menjadi tepung. Cara pembuatan tepung dari beras tadi yang sudah lembut dicampurkan dengan santan kelapa kental sedikit garam beserta daun pandan untuk membuat gurih serta wangi. Setelah adonan dituangkan pada upih yang terbuat dari pelepah aren lalu dikukus hingga masak dan mengental. Cara penyajian jenang upih dipotong-potong ditambahkan tempe bacem...
Entah bagaimana riwayatnya mengapa makanan yang terbuat dari ketan yang ditanak kemudian dicetak di atas nampan dan diatur agar padat dan datar lalu di atasnya dituangi campuran tepung maizena berwarna cokelat gula karamel hingga terasa manis disebut joko brengos. Makanan ini merupakan akulturasi kuliner Jawa dan Belanda. Ketannya adalah Jawa, sedangkan lapisan di atas ketan yang berwarna cokelat bercita rasa karamel manis adalah bagian dari kuliner Belanda. Perpaduan antara ketan yang gurih dan jendalan maizena yang manis berwarna cokelat dengan cita rasa karamel adalah perpaduan yang harmonis. Makanan ini adalah kesukaan KGPAA Mangkubumi seorang pangeran yang terkenal kaya, sukses berwirausaha dan piawai mengelola berbagai usaha di Yogyakarta pada jamannya yaitu pada jaman awal abad ke-19. Joko Brengos yang disingkat kongos ini tidak terlalu populer di kalangan masyarakat di luar Keraton. Di kalangan para bangsawan makanan ini sering sekali menjadi suguhan dalam berbagai e...
Kopi Joss merupakan kopi khas Jogja. Kopi joss sebenarnya hanya kopi hitam biasa yang berasal dari kopi curah yang masih kasar, hanya saja yang istimewa adalah penyajian dari kopi ini. Penyajiannya sangat unik yakni ditambahkan arang di dalam seduhan kopinya. Ketika kopi tubruk panas ini diberi atau dimasukkan arang yang panas, maka kopi tersebut akan mengeluarkan suara joss yang kencang sehingga terciptalah nama kopi itu. Mungkin awalnya aneh ketika arang yang biasa digunakan untuk menghasilkan bara api berpadu dengan kopi hitam. Tapi jangan salah, konon arang yang dimasukkan ke dalam kopi tersebut memiliki khasiat untuk mengikat kafein yang terdapat pada kopi sehingga adanya arang akan mengurangi kafein yang ada pada kopi. Selain itu arang juga akan mengikat polutan dan racun serta memperbaiki aroma kopi itu sendiri. Kopi Jos dipercaya sudah ada sejak tahun 60-70an. Minuman khas angkringan Lik Man yang awal mula berdirinya dikelola oleh putra Mbah Pairo,...
Sate karang hanya ada di Yogyakarta dan sudah menjadi ikon kuliner khususnya di daerah Kotagede. Disebut sate karang karena letaknya di Lapangan Karang Kotagede. Meski hanya warung sederhana, warung sate ini selalu ramai dikunjungi pembeli. Aroma daging sapi yang dibakar mampu mengajak orang-orang yang lewat untuk singgah dan menyantapnya. Meski menyandang nama karang, sate khas satu ini menggunakan daging sapi sebagai bahan baku utama. Konon Sate Karang ini sudah ada sejak tahun 1947 oleh Karyo Semito. Awalnya sate dijajakan secara keliling dengan menggunakan pikulan, tapi setelah pertengahan tahun 1950-an Pak Karyo mulai menetap di Lapangan Karang Kotagede. Usahanya lantas diteruskan kedua anaknya, yakni Prapto Hartono yang berjualan di Lapangan Karang dan Cipto yang membuka cabang di Jalan Kemasan, Kotagede. Warung yang di Lapangan Karang sekarang dikelola oleh Tri Wahyono yang merupakan putra dari Pak Prapto. Sate ini hadir dengan bumbu khas yang rasanya...