Othek, Warisan Leluhur Budaya Suku Osing Kota dengan julukan “Sunrise of Java” kembali menampilkan salah satu kekayaan budayanya, yakni othek. Othek merupakan salah satu alat musik khas dari lesung padi dari Banyuwangi. Alat musik unik tersebut sebenarnya diciptakan dari kebiasaan sehari-hari oleh warga Desa Kemiren, Banyuwangi. Saat para kaum wanita menumbuk padi, maka dengan memainkan alunan musik yang merdu menjadi hiburan bagi mereka sehingga munculkan kesenian musik othek. Alat musik othek merupakan lesung padi berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kayu dengan lubang dibagian tengah untuk menumbuk padi. Tak hanya bagian tengah yang dipukul dengan alu, bagian samping dan depan juga menjadi bagian yang dipukul. Dahulu tradisi ini dimainkan oleh Suku Osing pada saat panen padi atau pada saat hajatan. Meskipun kesenian musik ini tergerus jaman, Desa Kemiren rupanya masih berusaha untuk melestarikan othek. Hal ini terbukti dengan penyajian musik oth...
Banyuwangi kembali menampilkan musik populernya yang dikenal sebagai musik kendang kempul. Kendang Kempul telah menjadi identitas paten untuk masyarakat Osing. Seni Musik Kendang Kempul merupakan seni musik yang tumbuh dan berkembang dari kesenian Gandrung. Musik ini memiliki perpaduan musik yang khas dari kendang kempul Banyuwangi dengan irama dangdut khas Musik Melayu. Adapun instrumennya merupakan gabungan dari instrumen tradisional Banyuwangi (kendang keplak, kluncing, kethuk, gong, dan kempul) dengan instrumen barat (keyboard, gitar melodi, dan bass). Namun, musik yang satu ini mengalami perkembangan akibat berkembangnya zaman. Kendang Kempul pun dikolaborasikan dengan style musik yang lain seperti kroncong, reggae, dan koplo. Lirik lagu dari Musik Kendang Kempul berupa Bahasa Osing, yakni bahasa identitas masyarakat Suku Osing Banyuwangi. Lagu-lagu dari Kendang Kempul menceritakan tentang kehidupan sehari-hari sehingga menjadi populer bagi masyarakat Osing bahkan mas...
Jangan dalam bahasa Indonesia berarti kuah, dan asem mempunyai arti asam. Jadi kalau digabung, jangan uyah asem artinya kuah yang asam namun pedas. Jangan uyah asem merupakan makanan kuno warga banyuwangi yang masih dilestarikan. Itu terbukti dari adanya makanan ini ketika upacara upacara adat suku osing. Bahan dasar dari jangan uyah asem adalah ayam kampung dan papaya muda. Ayam kampung dipilih karena teksturnya yang lembut dan rasanya lebih gurih dari ayam potong atau ayam horen. Untuk bumbunya cukup sederhana hanya cabai merah, cabai rawit, tomat, dan campuran gula dan garam yang telah dihaluskan. Untuk menambahkan rasa asam yang menjadi ciri khas dari makanan ini biasanya ditambah dengan irisan blimbing wuluh. Cara memasak Jangan Uyah Asem cukup mudah, ayam yang telah dipotong direbus hingga empuk, kemudian masukkan irisan papaya muda dan bumbu yang telah disiapkan. Aduk hingga merata dan tunggu sampai papayanya empuk. Makanan pun siap disajikan. Makanan ini paling e...
Banyuwangi kembali menunjukkan taringnya dalam kekayaan budaya. Budaya yang akan dibahas kali ini adalah Gedhogan atau Gendhongan . Dahulu wanita-wanita di Desa Glagah, Banyuwangi bekerja sebagai penumbuk padi. Banyaknya beras yang tersedia membuat pekerjaan cukup berat, membosankan, dan melelahkan tentunya. Sepanjang proses penumbuk padi tersebut untuk mengurangi kebosanan, mereka akhirnya menyanyikan lagu-lagu. Bukan hanya memainkan lagu, tanganpun memainkan pukulan-pukulan alu di permukaan gedhogan tersebut. Ritme yang dibuat secara spontan ini menciptakan permainan lagu yang nikmat didengar. Harmonisasi ditambah dengan pukulan sebatang logam terhadap logam lainnya serupa pisay kasar dan logam kecil penumbuk sirih sehingga menimbulkan dentingan lagu yang semakin asyik. Sungguh seni hiburan yang segar, bukan ?! permainan yang berupa seni hiburan ini saat ini sudah sering muncul sebagai sebuah seni perÃÂtunjukan. Latar Belakang Sosial Budaya. Semula wan...
Adalah seorang anak jejaka. Anak itu tidak dapat mengaji maupun sembahyang. Tapi ia ingin memperisterikan anak pak kyai. Pak kyai mempunyai dua orang anak. Ia pernah mendengar kata-kata pak kyai itu kepada anaknya : ”Nak, kalau engkau ingin bersuami, suamimu harus hafal isi Qur'an yang tiga puluh jus. Kalau tidak, aku tidak mau meneri manya.” Jejaka itu salah tafsir terhadap kata-kata pak kyai. Ia mengira bahwa yang harus menjadi suami anak pak kyai itu ialah laki-laki yang memiliki Qur'an banyak sekali. Maka ia mencuri Qur'an banyak sekali, dipikul lewat di depan rumah pak kyai. Pak kyai pun bertanya : ”Nak, apa itu?” Jejaka menjawab : ”Kitab.” Pak kyai : ”Singgahlah sebentar. Anak dari mana?” Jejaka : ”Saya dari Banyuwangi. Baru pulang belajar mengaji.” Pak kyai : ”Oooo ...! Sekarang begini. Anak dari Banyuwangi? Jangan pulang dulu.” Jejaka : ”Saya tergesa-gesa...
Beberapa literature tentang sejarah Madura baik yang dikupas sejarawan Madura, Zainal Fatah dan Drs.Abdurahman, secara lengkap memaparkan perjalanan lahirnya nama Madura ini. Kelahiran nama Madura berkaitan erat dengan dua tempat yang ada di pulau Garam tersebut. Yakni gunung Geger di Bangkalan dan hutan Nepa di Desa Batioh, kecamatan Banyuates, Sampang. Dari dua tempat ini babak awal perjalanan sejarah Madura bermuara. Mengapa dimulai dari dua tempat ini? Sebab disanalah orang pertama Madura menginjakkan kaki, membentuk system pemerintahan social dan perjalan hidup yang mengandung epos. Konon ceritanya, pada zaman purbakala di kaki gunung Semeru, berdiri kerajaan Medangkemulan yang dipimpin rajanya bernama Sang Hyang Tunggal. Di dalam keraton yang disebut Giling Wesi, Sang Hyang Tunggal hidup bersama permaisuri dan putrinya bernama Raden Ayu Ratna Doro Gung. Dibawah pemerintahan raja yang arif dan bijaksana itu, Medangk...
Residen Schophoff berencana untuk membuat sebuah jalur dari Banyuwangi menuju Panarukan. Namun dalam menjalankan rencananya, Residen Schophoff mengalami kendala, yaitu tepat di jalur yang ingin ia bangun terdapat sebuah bukit. Dengan adanya bukit tersebut, tentu sangat tidak mungkin rencana pembuatan jalan yang ia rencanakan akan berhasil. Rencana Residen Schophoff ini pun mendapat perhatian dari Tumenggung Wiroguno I, yang pada kali itu menjabat sebagai pemimpin di Banyuwangi. Lalu ia mengadakan sebuah sayembara, barang siapa bisa memindahkan bukit tersebut, ia akan menghadiahkan nya tanah yang luas. Tanah yang dijanjikannya meliputi bukit batu tersebut hingga daerah Sukowidi. Sayembara sudah berjalan selama berbulan bulan, namun tak ada seorang pun yang dapat memenuhi permintaan dari Tumenggung Wiroguno I. Tumenggung pun hampir putus asa, sepanjang hari ia memikirkan bagaimana caranya supaya bukit tersebut dapat di pindahkan. Sampai suatu ketika ia ingat jika ia memiliki s...
Sampai saat ini di daerah Banyuwangi masih banyak dongeng rakyat yang hidup dan berkembang ditengah-tengah kehidupan masyarakat. Pada umumnya dongeng rakyat atau cerita rakyat itu hanya berfungsi sebagai pelipur lara. Hal ini disebabkan ceritera atau dongeng rakyat bukan peristiwa sejarah murni, tegasnya ceritera rakyat tidak dapat dijadikan pedoman atau penetapan sesuatu hal yang penting, seperti: Penetapan Hari Jadi suatu kota atau daerah. Dalam kenyataan masyarakat di tanah air masih banyak yang awam dan berpola pikir tradisional yang lebih cenderung menonjolkan nilai-nilai mithologi dari pada nilai yang historisnya, sehingga sering mengkaburkan pemahaman mereka terhadap peristiwa sejarah yang sebenarnya, bahkan dapat mempengaruhi pandangan hidup sehingga dapat merugikan kepentingan masyarakat itu sendiri. Meskipun demikian, ceritera rakyat atau dongeng rakyat perlu dilestarikan dan dipertahankan guna menambah khasanah kebudayaan nasional kita, khususnya yang berlatar belakang pe...
Dicintai Rakyat, Ikut Bendung Ekspansi Kerajaan Mataram Bagi masyarakat Lumajang dan sekitarnya, nama Minak Koncar bukanlah nama yang asing. Nama diyakini berperan penting dalam sejarah berdirinya kabupaten Lumajang. ABDULLAH ZAWAWI, Lumajang Minak Koncar diriwayatkan memerintah Lumajang pada 1312 M dan meninggal pada tahun 1323 M. Dia adalah anak kandung Arya Wiraraja dan saudara kandung Patih Nambi. Arya Wiraraja merupakan bangsawan Majapahit dari Sumenep Madura yang diberi tanah di Lumajang sebagai hadiah atas jasanya pada Raden Wijaya. Sedangkan Nambi, memerintah di Benteng Pejarakan atau di daerah yang kini termasuk Desa Pejarakan, Kecamatan Randuagung. Minak Koncar yang juga dikenal dengan nama Nararyya Sminingrat atau juga Wisnuwardhana ini sendiri memerintah dengan pusatnya di Benteng Kutorenong (kini menjadi nama Desa Kutorenon) yang kini namanya terpeleset menjadi Biting di Desa Kutorenon, Kecamatan Sukodono. Menurut Sahal, juru kunci kompleks pemakaman...