Beberapa literature tentang sejarah Madura baik yang dikupas sejarawan Madura, Zainal Fatah dan Drs.Abdurahman, secara lengkap memaparkan perjalanan lahirnya nama Madura ini. Kelahiran nama Madura berkaitan erat dengan dua tempat yang ada di pulau Garam tersebut. Yakni gunung Geger di Bangkalan dan hutan Nepa di Desa Batioh, kecamatan Banyuates, Sampang.
Dari dua tempat ini babak awal perjalanan sejarah Madura bermuara. Mengapa dimulai dari dua tempat ini? Sebab disanalah orang pertama Madura menginjakkan kaki, membentuk system pemerintahan social dan perjalan hidup yang mengandung epos.
Konon ceritanya, pada zaman purbakala di kaki gunung Semeru, berdiri kerajaan Medangkemulan yang dipimpin rajanya bernama Sang Hyang Tunggal. Di dalam keraton yang disebut Giling Wesi, Sang Hyang Tunggal hidup bersama permaisuri dan putrinya bernama Raden Ayu Ratna Doro Gung. Dibawah pemerintahan raja yang arif dan bijaksana itu, Medangkemulan merupakan kerajaan yang makmur dan sentosa.
Namun ketentraman sang raja bersama rakyatnya jadi guncang , ketika terjadi peristiwa yang menimbulkan aib besar bagi kerajaan. Peristiwa itu berawal ketika sang Putri Doro Gung dalam tidurnya bermimpi kemasukan “rembulan” dari mulutnya. Aneh, beberapa bulan kemudian sang putrid hamil secara gaib. Inilah sebabnya Sang Hyang Tunggal jadi murka.
Beberapa kali Sang Hyang Tunggal menanyakan, siapa lelaki yang membuat sang putrid hamil. Namun dengan terisak Doro Gung yang cantik jelita itu tak mampu menjelaskan, karena ia tak tahu awal mulanya mengapa bisa hamil.
Ketika Sang Putri menjelaskan bahwa dia hamil secara gaib, setelah bermimpi menelan rembulan Sang Raja bertambah marah. Sang Putri dianggap bukan saja mendustai raja, tetapi juga seluruh rakyat Medangkemulan.
Akhirnya raja bertindak tegas, dipanggilnya patih Panggulang dan dititahkan untuk menghilangkan nyawa Sang Putri di hutan. Dipesannya agar Panggulang tak menghadap raja, kecuali membawa kepala Sang Putri. Dengan berat hati, serta bercucuran air mata, Patih Pranggulang menjalankan perintah, membawa Sang Putri ke hutan belantara.
Alkisah, ketika sudah berjalan jauh di dalam hutan, Sang Putri duduk bersimpuh, merasa tiba waktunya menerima nasib yang paling buruk. “ Paman patih, silahkan laksanakan titah paduka ayahanda,” kata Doro Gung.
Mendengar ucapan Sang Putri dengan bibir yang bergetar, Patih Pranggulang berlinang air mata. Namun ia tak bisa berbuat apa-apa karena takut pada sang Raja. Ia pun menghunus pedang, dan tiga kali pedang itu ditebaskan ke leher sang Putri yang pasrah. Tetapi apa yang terjadi. Setiap pedang itu menyentuh leher sang Putri, selalu terpental ke tanah.
Menghadapi kejadian aneh tersebut Patih Pranggulang termenung. Dia mengambi kesimpulan bahwa hamilnya sang putri, memang bukan kesalahanya melainkan karena ada hal-hal yang luar biasa. Saat termenung itulah, Patih Pranggulang tiba-tiba mendengar suara bayi secara gaib dari rahim Sang Putri.
Hai Pranggulang tak usah kau ulangi perbuatanmu. Kamu telah melaksanakan titah rajamu dengan baik. Tetapi Tuhan belum mengizinkan aku dan ibuku mati sekarang. Kini tolonglah, buatkan rakit demikian seruan bayi yang didengar Patih Pranggulang.
Seketika itu Patih Prangguling menebangi pohon di hutan dan membuat rakit. Setelah rakitnya siap, datanglah Sang Putri ke tepi laut, sambil berpesan, jika butuh pertolongan menjejakkan kakinya ke tanah tiga kali, dan seketika itu Patih Pranggulang akan segera datang.
Setelah usai berpesan, Patih Pranggulang mengganti pakaian kebesaranya sebagai Patih dengan pakaian poleng (kain tenun kasar). Ini dilakukan Patih Pranggulang, karena ia sadar tak mungkin kembali menghadap raja. Dan sejak itu, Patih Pranggulang mengubah namanya menjadi Ki Poleng.
Setelah persiapan dan bekal seperlunya dianggap cukup, Sang Putri naik ke atas rakit. Sesaat kemudian Ki Poleng menendang rakit itu menuju "Madu-Oro" (Pojok di ara-ara yang artinya pojok menuju kearah laut luas). Konon dari kata Madu-Oro inilah timbul kata Madura yang kemudian dijadikan nama Madura.
Selanjutnya, setelah di ombang-ambingkan ombak besar, Doro Gung terdampar di sebuah daratan kecil yang tersembul di permukaan laut, tepat di bawah pohon "Ploso" (semacam pohon jati). Daratan kecil inilah sekarang dikenal sebagai Gunung Geger terletak sekitar 40 km arah timur laut kota Bangkalan.
Konon, ketika Sang Putri mendarat di daratan ini, jika air pasang daratan ini sempit sekali, tapi jika air surut areanya bertambah luas. Itulah sebabnya daratan itu diberi nama "
Lemah Doro" (tanah yang tak sesungguhnya) karena sering berubah luasnya. Kata
Lemah Doro ini dijadikan versi kedua
asal kata Madura.
Raden Segoro
Beberap bulan setelah Doro Gung yang hami itu terdampar di Gunung Geger, tibalah saatnya untuk melahirkan. Saat itulah, Doro Gung menjejakkan kaki tiga kali ke tanah. Kemudian Ki Poleng muncu secara gaib di hadapan Sang Putri. Atas bantuan Ki Poleng Sang Putri melahirkan seorang bayi laki-laki yang rupawan. Karena kelahiranya tepat di tepi pantai, Oleh Ki Poleng bayi lelaki itu diberi nama Raden Segoro (Laut). Jadilah Raden Segoro orang pertama yang lahir di
Pulau Madura.
Sejak kelahiran Raden Segoro, di sekitar Gunung Geger selalu ada cahaya semacam rembulan memancar ke angkasa. Cahaya ini, seringkali dilihat oleh pelaut yang berlayar di sekitar perairan Gunung Geger. Maka menurut kisah, akhirnya banyak pelaut yang singgah ke Gunung Geger, kemudian menghambakan diri pada Raden Segoro dan ibunya, Doro Gung. Mereka inilah akhirnya dianggap sebagai penduduk pertama di Madura.
Banyak Orang Nyepin Ingin Dapatkan Pusaka
Beberapa sumber material yang berkait dengan kisah kedatangan Putri Doro Gung dan lahirnya Raden Segoro ini, hingga kini masih ada bekasnya di Gunung Geger. Salah satu diantaranya, ada batu bongkahan yang berjejer rapi, tepat dibawah pohon ploso (semacam jati). Menurut anggapan penduduk Geger, jajaran batu itu adalah bekas rakit Doro Gung yang sudah membatu.
|
Goa Pelanangan |
Tempat ini merupakan tempat yang dikeramatkan orang dan sering dimanfaatkan untuk tempat tirakat, Keberadaan batu itu tak disertai prasasti. Ada pula sebuah tempat di puncak Gunung Geger berupa tumpukan batu karang setinggi 15 meter, mirip bangunan langgar yang disebut dengan "pelanggaran".
Menurut kepercayaan penduduk setempat di tempat inilah dahulu Doro Gung mendarat, kemudian melahirkan Raden Segoro dan bertempat tinggal. Tempat ini pun dikeramatkan orang. Tapi sayang tak dijumpai cerita tertulis, sehingga nilai sejarahnya mengambang.
Walau demikian, hingga kini sebagaimana diungkapkan juru kunci Zaini, tempat keramat di Gunung Geger itu masih sering dikunjungi orang. Mereka yang mempunyai maksud dan tujuan tertentu hingga tirakat berhari-hari, bukan saja masyarakat Madura, "Tapi juga Cirebon, Banten, Semarang, Bandung, Banyuwangi bahkan ada yang dari Malaysia," tutur Zaini.
Mereka memanfaatkan goa-goa keramat dan angker sebagai tempat nyepi. Ada 4 goa yang kerapkali dunabfaatkan nyepi oleh para ahli tirakat itu. Masing-masing goa Petapan, Potre, Pancong Pote, dan Pelanangan. Dari tempat inilah banyak para alih petapa memperoleh berkah berupa wangsit atau benda-benda pusaka.
Diceritakan, sekitar tahun 1976 ahli tirakat dari Banten yang nyepi selama 41 malam di goa Petapan, pada malam terakhir dia dijatuhi benda secara gai tepat di pangkuanya. Ternyata benda itu sebuah "Besi Kuning" sepanjang 15 cm dengan garis tengah 2 cm. Konon katanya, khasiat benda itu menjadikan pemiliknya kebal senjata tajam.
Keanehan lainya dialami Marjuki, asal kamal. Ketika dia nyepi di goa Pelanangan selama 101 hari, menjelang akhir lelakunya ia menerima wangsit, yang menganjurkan agar menggali tanah dibawah batu caping (miring topi).
Ketika tempat itu digali ternyata diperoleh sebuah kerangka lengkap dengan tengkoraknya. Konon disela-sela kerangka itu ditemukan sebuah limpa yang masih berbau amis. Di dalam tempurung tengkorak juga ditemukan benda putih mengkilat sebesar kelereng. " Namun apa khasiatnya oleh yang bersangkutan dirahasiakan," Ujar Zaini.
Disamping tempat keramat, goa di puncak Gunung Geger banyak pula memendam keajaiban alam. Di Goa Pelanangan misalnya ada sebua Stalakmit sepanjang 1,5 meter dengan garis tengah 15 cm bergantung di atap goa. bentuknya mirip organ pria, sehingga stalakmit unik ini diabadikan dengan nama Pelanangan.
Menurut juru kunci, stalakmit ini mempunyai khasiat nyata. Siapa saja lelaki yang mampu memanjat dinding goa, kemudian menyentuhnya, ia akan memiliki keperkasaan.
Menurut legenda versi Bangkalan, goa Petapan adalah bekas pertapaan Adipoday, sedang goa Potre pertapaan Putri Kuning. Keduanya pertapa saksi dari Madura dan dikenal sebagai ayah bunda tokoh legendaris Jokotole.
Konon ketika Jokotole akan bertarung melawan tojoh saksi dari daratan cian, yaitu Dempo Awang(Sampo Tualang), ia sempat pamit di Goa Petapan dan Potre. Disana Jokotole mendapat hadiah sebuah cemeti pusaka dari ayah bundanya yang sedang bertapa. Dengan cemeti ini, Jokotole dapat menghancurkan perahu Dampo Awang dalam pertempuran di udara. Saat itu Jokotole naik kuda terbang sedang Dampo Awang menaiki perahu terbang.
Keburuan kedua pertapa ini pun juga ada di puncak Gunung Geger. Makam Sang Putri tepat berada di depan goa Potre. Sementara Adipoday terletak 200 meter sebelah utara goa Petapan, dilindungi sebuah cungkup sederhana.
|
Makam R.A Tunjung Sekar atau Putri Kuning |
Sedang goa Pancong Pote dahulu dikenal sebagai tempat pertapan tokoh sakti Ratu Syarifah Ambani, permaisuri Pangeran Cangkraningrat I (1546-1569), Raja Plakaran Arosbaya. Konon berkat hasil tapa brata Sang ratu di goa Pancong Pote ini kerajaan Plakaran bisa diperintah keturunan Tjakraningrat I selama tujuh turunan. TAMAT