|
|
|
|
Permainan Gedhogan atau Gendhongan #DaftarSB19 Tanggal 17 May 2018 oleh Lupi . |
Banyuwangi kembali menunjukkan taringnya dalam kekayaan budaya. Budaya yang akan dibahas kali ini adalah Gedhogan atau Gendhongan. Dahulu wanita-wanita di Desa Glagah, Banyuwangi bekerja sebagai penumbuk padi. Banyaknya beras yang tersedia membuat pekerjaan cukup berat, membosankan, dan melelahkan tentunya. Sepanjang proses penumbuk padi tersebut untuk mengurangi kebosanan, mereka akhirnya menyanyikan lagu-lagu. Bukan hanya memainkan lagu, tanganpun memainkan pukulan-pukulan alu di permukaan gedhogan tersebut. Ritme yang dibuat secara spontan ini menciptakan permainan lagu yang nikmat didengar. Harmonisasi ditambah dengan pukulan sebatang logam terhadap logam lainnya serupa pisay kasar dan logam kecil penumbuk sirih sehingga menimbulkan dentingan lagu yang semakin asyik. Sungguh seni hiburan yang segar, bukan ?! permainan yang berupa seni hiburan ini saat ini sudah sering muncul sebagai sebuah seni perÃÂtunjukan.
Latar Belakang Sosial Budaya.
Semula wanita-wanita itu mempunyai tugas sebagai pekerja- pekerja penumbuk padi ketika dipanggil keluarga untuk memperÃÂsiapkan persediaan beras menjelang suatu perhelatan. Pekerjaan itu cukup berat dan karena banyaknya beras yang harus disediakan maka pekerjaanpun dilakukan berhari-hari.
MembosanÃÂkan dan melelahkan. Untuk mengatasi kebosanan dan kelelahan ituÃÂlah diantara phase-phase proses pembuatan beras dari padi itu mereÃÂ ka menyanyikan lagu-lagu. Tak disadari ia memerlukan suatu kejelasÃÂan ritme lagu, maka tanganpun memainkan pukulan-pukulan alu dipermukaan-permukaan gedhogan itu. Ritme itupun disahut secara spontan oleh rekan-rekannya.
Nikmat juga rasanya, dan tanpa lagupun permainan ini cukup menyegarkan kelelahan pikir dan tenaga yang seharian diperas tak henti-hentinya itu. Jadilah kini orang berÃÂmain Gedhogan atau Gendhongan itu. Sebatang logam yang dipukul dengan logam pula, serupa benar dengan pisau yang kasar dan logam kecil penumbuk sirih, menghasilkan denting yang menambah harÃÂmonisasi dentam Gedhogan. Naluri Aestetika melembagakan perÃÂmainan ini kearah seni hiburan segar.
Dan kini ketika beras tidak lagi dihasilkan dari padi lewat proses traÃÂdisi Gedhogan, maka permainan Gedhogan atau Gendhonganpun surut dari kegiatan di desa. Akan tetapi tidak selalu demikian. SemuÃÂla bunyi Gedhogan lengkap dengan intermesso bermainnya, menanÃÂdai adanya suatu perhelatan di sebuah keluarga. Sanak saudara, teÃÂtangga yang mendengar hendaknya segera siap untuk membantu meÃÂnyiapkan segala kepentingan perhelatan, entah itu perkawinan entah pula khitanan.
Yang mau menyumbang materi, mendengar bunyi geÃÂdhogan ditabuh orang itupun berarti sudah ditunggu empunya kerja. Jadi cepat-cepatlah datang. Ini disebut "buwuh". Dan kini ketika beÃÂras sudah dihasilkan oleh teknologi modern mesin penumbuk padi, maka ciri ini agak sulit dihilangkan. Tak kurang akal, wanita-wanita yang biasa bekerja untuk itu, tetap dapat dipanggil dengan tugas poÃÂkok hanya bermain Gedhogan atau Gendhongan. Demikianlah rombongan yang dipimpin oleh Mak Tiah dari desa Derek-Sukosari itu kini sering ditanggap hanya untuk memainkan Gedhogan/Gendhongan itu sehari semalam. Dankini sebagai perminÃÂtaan yang sudah menjurus kearah bentuk seni hiburan itu perlu diÃÂtampilkan dengan kelengkapan seni hihuran yang dirasa akan lebih menarik. Penyanyi tunggal dikhususkan untuk itu dan kadang kala ditambah dengan seorang pelawak.
Peserta Permainan
Enam wanita dianggap cukup lengkap untuk penyajian perÃÂmainan itu. Empat orang sebagai pemukul Gedhogan/Gendhongan, satu diantaranya merangkap sebagai "Pengundang", yaitu pembangkit suasana kegembiraan lewat monolog-monolognya. Seorang lagi sebagai penyanyi, dan seorang lagi pemukul kluncing. Sekalipun paÃÂda umumnya permainan ini dilakukan oleh wanita-wanita tua, akan tetapi kekuatan fisiknya haruslah masih kuat juga mengingat berjam- jam mereka harus main, Agak sulit memang menggantikan peranan wanita-wanita tua itu, karena kemampuannya dalam menyanyi, membuat perlaguan yang tak pernah ada notasinya, serta bertindak sebagai "pengundang", merupakan keahlian yang diperolehnya daÃÂlam waktu yang cukup lama melewati banyak pengalaman. Dalam acara-acara yang lengkap sering ditambahkan seorang laki-laki yang bertindak sebagai pelawak, sehingga dengan demikian suasaÃÂna menjadi benar-benar menuju ke arah suatu seni pertunjukkan.
Peralatan permainan
Gedhogan ini terbuat dari batang kayu nangka. Ada yang berfungsi sebagai gong (yang berukuran terbesar dan terpanjang) dengan panjang hampir 2 meter dan garis tengah 30 cm. Empat yang lain lebih kecil dengan panjang hanya 1 meteratau setengahnya dengan garis tengah 25 - 30 cm. Empat gedhogan tersebut berfungsi sebagai kendhang, kempul, dan othek. Kelima bunyi tersebut akan menghasilkan bunyi yang berbeda satu-sama lainnya. Alat pemukulnya adalah alu yakni batang kayu sejenis dengan ukuran panjang 2 meter dan garis tengah 7 cm. Untuk menambah bunyi yang semakin asyik maka gedhogan ditambah dengan sebatang logan dengan ukuran 20 cm dan alat pemukul berupa batang logam kecil berukuran 10 cm yang disebut sebagai kluncing.
Jalannya Permainan.
Tiba di sebuah rumah yang sedang mempersiapkan perhelatan maka alat-alat itupun segera diatur tempatnya. Para pemain mengÃÂambil tempat dan alat pemukul. Biasanya pimpinan yang mengambil prakarsa untuk memainkan suatu lagu, tak perlu ia mengatakan lagu apa yang akan dimainkan itu. Cukuplah ia sebagai pantus memulai dengan suatu pola ritme pukulan tertentu. Segera yang lain-lain mengisi pola itu dan membuat suatu kerja sama permainan ritme terÃÂtentu. Penyanyipun segera menyuarakan lagu-lagunya. Banyak dian- taranya lagu-lagu tradisi yang sangat mereka gemari seperti : Erang- erang, Waru Doyong, Podo Nonton, Kosir-kosir, Sekarjenang, dan se- bagainya. Ternyata lagu-lagu ini juga dikenal lewat permainan atauÃÂpun seni pertunjukkan lain seperti di dalam Sebiang, Gandrung dan Angklung.
Apabila suatu lagu sudah cukup lama dimainkan, maka "pantus" akan memberikan tanda-tanda tertentu untuk menggantikannya. Beberapa saat kemudian,, "pantus" membuat suatu pola ritme puÃÂkulan yang lain lagi dan rekan-rekannyapun berbuat sama, mengiÃÂsinya dan meresponsnya sehingga terdengar suatu lagu yang lain lagi. Demikian terus menerus berjam-jam hal itu dilakukan. SemenÃÂtara itu "Pengundang" tidak henti-hentinya melakukan monolog, diantaranya memperbincangkan kemerduan suara sinden, mengarÃÂtikan syair-syair sang pesinden, atau juga kalimat-kalimat sindiran dan sanjungan bagi para pendengarnya.
Pengundang yang baik akan mampu membangkitkan simpati dan riuh tawa pendengarnya, kegembiraanpun dirasakan di sekitar. Sehingga dengan cara demikian akan banyaklah tamu-tamu yang datang di perhelatan baik mereka yang akan membantu persiapan perhelatan maupun yang datang untuk 'buwuh' (menyumbang materi). Orang menyebutnya peristiwa mengunjungi perhelatan itu dengan istilah "Kondhangan". Sehingga rombongan Gedhogan/ Gendhongan yang di panggil untuk peristiwa itu sering dikatakan "ditanggap kango Kondhangan", artinya diminta bermain untuk meÃÂmeriahkan perhelatan.
Peranannya Masa Kini
Rupanya dengan hadirnya tape rekorder di desa-desa yang mampu memberikan 'tanda' akan adanya suatu perhelatan, merupaÃÂ kan salah satu sebab mengapa permainan ini sudah agak jarang diÃÂlakukan orang. Lagi pula orang sudah tidak memerlukan lagi meÃÂnyiapkan beras dengan menumbuk padi dalam Gedhogan. Beras giling masih lebih mudah diperoleh dan lebih murah di ongÃÂkosnya dari pada harus mengupah wanita-wanita untuk menumbuk padi sehari-hari. Generasi kini juga kurang menghargai profesi peÃÂmain Gedhogan , karena menganggap bahwa pekerjaan itu berasal dari buruh wanita yang kasar.
Dengan demikian dapat dikhawatirÃÂkan bahwa permainan ini akan semakin langka didapatkan. Memang ada usaha-usaha masyarakat untuk meletakkan permainan itu sebagai suatu bentuk seni musik rakyat. Bersama pemerintah daerah setempat, sering juga diadakan semacam festival permainan Gedhogan/Gendhongan untuk memancing kegairahan masyarakat agar tetap dapat menghidupkan permainan itu sebagai suatu benÃÂtuk seni pertunjukan musik. Usaha itu tidaklah terlalu sia-sia kareÃÂna ternyata bahwa di desa-desa lain orang juga sudah mulai beruÃÂsaha untuk tetap memiliki kelompok-kelompok pemain Gedhogan atau Gendhongan. Dan dengan pemain-pemain di kalangan anak-anak muda, permainan itu sudah sering muncul sebagai sebuah seni perÃÂtunjukan.
Sumber: www.jawtimuran.net http://jawatimuran.net/2013/03/05/gedhogan-atau-gendhongan-kabupaten-banyuwangi/
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dala... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |