Wayang wong gaya Yogyakarata disebut dengan wayang mataraman, karena historis terciptanya wayang wong ini berada pada masa peralihan dari kerajaan Mataram sebelum pecah menjadi dua. Menurut perjanjian Giyanti 1755, di mana kesepakatan dicapai antara Pangeran Mangkubumi dengan Sinuwuh Paku Buwono III saat itu. Pangeran Mangkubumi dipersilakan melanjutkan tradisi budaya Mataram, maka kesenian yang berada di Keraton Kasultanan menggunakan istilah Mataraman. Wayang wong sendiri secara bertahap mengalami perkembangan luar biasa. Pada masa Sultan Hamengku Buwono I, lakon Gondowerdaya sangat populer dikenal masyarakat. Bentuk penyajian dan kostum serta properti yang digunakan masih sangat sederhana, yakni dengan iket tepen, sinjang, selana panji, dan sonder gendhalagiri. Di samping itu, Sultan selalu menyebut seni pertunjukan sebagai focus utama dalam memperbesar kewibawaan Keraton dan pemerintahannya melalui pergelaran wayang wong. Pada kenyataannya menunjukkan bahwa status seni p...
                    
            Beksan Jebeng diciptakan oleh Kanjeng Gusti Paku Alam II. Kemudian tari ini dilestarikan mulai dari Paku Alam III sampai Paku Alam VIII. Tari beksan Jebeng pada awalnya berkembang di Pura Pakualaman. Prinsip yang ada dari tarian ini joged ki bebas, merdika, ning ora sah nggaya; artinya, tarian ini harus dilakukan dengan jiwa yang merdeka. Gerak-gerik tarian dapat dikreasikan oleh penari, yang menghasilkan indah tidaknya suatu tarian atau pas (tepat) atau tidaknya tarian, akan dikembalikan kepada paugeran. Bersumber dari Sri Paku Alam III (1855-1864), beksan Jebeng menggambarkan peperangan antara Raden Arjuna melawan Adipati Karno dengan senjata keris dan jebeng (sejenis perisai). Beksan Jebeng adalah salah satu bentuk tarian puta alus – yang dibawakan dengan karakter gagah, tetapi ditampilkan dalam tarian yang halus. Beksan Jebeng menggunakan alat/properti jebeng seperti tameng, tetapi bukan tameng. Jebeng diartikan seperti perisai dari kulit berbentuk setengah lingkaran,...
                    
            Anglingkusumo, menunjuk seorang ahli yang bernama Mardjijo untuk melakukan penggalian terhadap kekayaan tari Pakualaman. Salah satu hasil dari penggalian tersebut, beksan Floret pernah dimainkan di Keraton Yogyakarta dan di Pura Pakualaman pada tahun 1994. Beksan Floret memfokuskan pada hubungan antara gerak dan gending iringan dalam tari klasik Jawa. Penari harus mampu memainkan ketrampilan teknis memainkan pedang floret, dan memiliki penghayatan gending yang tinggi, karena terikat dengan pencapaian rasa gerak. Gending Gangsaran yang cepat, seperti mengejar-ngejar, nyaris monoton-datar, bukan perkara mudah bagi penari untuk menerapkan rasa gerak yang tepat. Beksan Floret memendam makna adanya tuntutan penari agar mencapai rasa gerak, sampai tataran nggending, sebagaimana kualifikasi puncak yang harus dicapai oleh seorang penari klasik Jawa. Kesemua gerak itu teralir dalam urutan gending iringan:Lagon Wetah, Slendro (Ngayoja), Gangsaran, Ladrang Dirada Meta (Slendro 6), Gangsara...
                    
            Bedhaya Tejanata berawal dari sebuah cerita Kanjeng Gusti yang ke VII yang akan menikah dengan seorang putri dari Solo. Putri Solo yang merupakan Putri terkasih dari Pakubuwono XI (BRA. Retna Puwasa). Saat proses ini berlangsung, situasi di Pakualaman secara politik sedang tidak bagus dan sedang merosot. Jadi, proses pernikahan ini juga merupakan sebuah proses diserahkannya Tejanata ke Pakualaman, yang diartikan sebagai sebuah hadiah pernikahan. Teja memiliki makna sebagai sinar dan Nata adalah raja yang secara keseluruhan diartikan sebagai Sinar Raja Solo ( cahaya raja yang memancar), yang kemudian apabila dikaitkan dengan proses pernikahan tersebut, berarti pancaran sinar itu memancar sampai di Pakualaman, serta merupakan sebuah simbol kewibawaan seorang Raja. Bedhaya Tejanata sampai sekarang menjadi penanda penting keberadaa tari-tarian klasik di Pura Pakualaman. Di samping keindahan gerakan tarianyang memancarkan kesederhanaan bedhaya yang dipenuhi pancaran wibawa aura makna...
                    
            Dalam rangka memperingati peristiwa Isra’ Mi’raj yang jatuh pada tanggal 27 Rejeb tahun Jawa, Keraton Yogyakarta mengadakan Hajad Dalem Yasa Peksi Burak . Yasa berarti membuat atau mengadakan. Peksi adalah burung. Burak adalah Buraq, makhluk yang diyakini menjadi kendaraan nabi saat melakukan Isra' Mi'raj . Hajad Dalem ini diawali dengan membuat Peksi Burak , pohon buah dan empat pohon bunga. Peksi Burak dibuat menggunakan buah dan kulit jeruk bali. Kulit tersebut dibentuk dan diukir menyerupai badan, leher, kepala, dan sayap burung. Burung jantan diberi jengger (pial) untuk membedakannya dari burung betina. Masing-masing Peksi Burak akan diletakkan di atas sebuah susuh , atau sarang, yang dirangkai dari daun kemuning sebagai tempat bertengger. Peksi Burak dan susuh ini diletakkan di bagian paling atas dari pohon buah, dengan disangga oleh ruas-ruas bambu. Pohon buah dibuat dari tujuh macam buah lokal yang...
            Bedhaya Kuwung-kuwung adalah salah satu karya tari klasik gaya Yogyakarta dan menjadi salah satu karya pusaka di Keraton Yogyakarta. Dalam lirik Kandha, disebutkan bahwa bedhaya Kuwung-kuwung lahir pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII (lahir 4 Februari 1839, naik tahta 13 Agustus 1877). Selain itu disebutkan pula dalam lirik Sindenan di dalam awal tarian seirama gendhing Kuwung-kuwung, ”...murweng gita, Kaping sapta,Sayidina Nungsa Jawa Adiningrat...”, Artinya,....telah siap perhelatan, (Sultan) yang ke tujuh, pemimpin bangsa Jawa Adiningrat. Daftar gerakan tari berupa deskripsi, pola lantai, dan pencocokan dengan gending beserta siklus gongannya – menggunakan naskah yang ada di Keraton Yogyakarta, yaitu Naskah K.159d-B-S 42, berisi naskah-naskah Cathetan Beksa Ringgit Tiyang, Bedhayasarta Srimpi, pada naskah beksa Bedhaya Kuwung-kuwung (halaman 51–60). Bedhaya Kuwung-kuwung lahir dan dipergelarkan pada masa perubahan besar dunia pendidikan ba...
                    
            Gunungan Brama mirip Gunungan Estri . Bentuknya seperti silinder tegak dengan bagian tengah sedikit mengecil. Gunungan Brama juga terbuat dari ole-ole , rengginang , kucu , dan upil-upil . Rangkanya terbuat dari bambu dan badannya ditutup dengan pelepah pisang. Bagian atas gunungan dihias dengan bendera-bendera segitiga berwarna merah, sedang badan gunungan dihias dengan ole-ole yang dirangkai mirip jala. Bagian puncak Gunungan Brama memiliki lubang untuk menempatkan anglo , tungku kecil dari tanah liat. Anglo yang diisi arang membara digunakan untuk membakar kemenyan, sehingga terus-menerus mengepulkan asap tebal. Gunungan Brama merupakan gunungan yang hanya dikeluarkan saat Garebeg Maulud Tahun Dal , perayaan yang hanya diadakan setiap delapan tahun sekali. Berbeda dengan gunungan lain yang dibagikan ke masyarakat, Gunungan Brama hanya dibagikan kepada keluarga sultan saja. Gunungan dalam berbagai wujudnya merupakan wujud sedekah dari seorang...
            Pada tahun 1970-an, keberadaan tari kethek ogleng ada di setiap kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta, ditandai dengan adanya sanggarsanggar kesenian kethek ogleng. Menurut sejarah, pertunjukkan kethek ogling diperkirakan sudah ada di Gunung Kidul sebelum zaman kemerdekaan, kethek ogleng yang berkembang di daerah Semanu telah ada sejak tahun 1935. Kemudian dari Semanu, seni kethek ogleng berkembang di daerah Tepus, Semin, Wiladeg, dan beberapa wilayah di Gunung Kidul. Kethek ogleng mengalami masa surut pada masa orde baru, ketika berbagai alternatif pertunjukkan mulai beragam; dan makin mengalami masa surut pada sekitar tahun 2000-an. Upaya dibangunnya sanggar dan grup tari menjadi solusi untuk mengembangkan kembali seni kethek ogleng ini. Kethek ogleng berasal dari kata ”Kethek”, yang berarti tokoh yang sakti dan suka berlagak. Secara keseluruhan, dalam bahasa Jawa memiliki istilah yang tepat untuk menggambarkan ”Kethek ogleng”, yaitu gumleleng atau be...
                    
            Tiap bulan Pasa atau Ramadhan , Keraton Yogyakarta selalu mengadakan acara Malem Selikur . Malem Selikur diadakan untuk menyambut malam Lailatul Qadar . Acara ini merupakan bagian dari kegiatan Kesultanan Yogyakarta sebagai kerajaan Islam untuk senantiasa menyebarkan ajaran Islam di tengah masyarakat Jawa. Agama Islam mengajarkan bahwa akan tiba suatu malam yang istimewa pada sepertiga akhir bulan Ramadhan . Malam yang disebut malam Lailatul Qadar ini dipercayai lebih mulia dibanding malam-malam lainnya sehingga digambarkan memiliki nilai yang lebih baik dari seribu bulan. Pada malam ini pula, Nabi Muhammad dahulu menerima Al Quran yang diturunkan oleh Allah. Untuk menyambut malam ini, umat Islam memperbanyak amal dan ibadah karena diyakini pula pahala yang didapat seribu kali lebih banyak dari hari-hari biasa. Malem Selikur , atau kadang dikenal juga dengan Selikuran , diyakini telah ada sejak awal penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Tradisi ini diperkenalkan...