|
|
|
|
Bedhaya Tejanata Pakualaman Tanggal 28 Dec 2018 oleh Sri sumarni. |
Bedhaya Tejanata berawal dari sebuah cerita Kanjeng Gusti yang ke VII yang akan menikah dengan seorang putri dari Solo. Putri Solo yang merupakan Putri terkasih dari Pakubuwono XI (BRA. Retna Puwasa). Saat proses ini berlangsung, situasi di Pakualaman secara politik sedang tidak bagus dan sedang merosot. Jadi, proses pernikahan ini juga merupakan sebuah proses diserahkannya Tejanata ke Pakualaman, yang diartikan sebagai sebuah hadiah pernikahan. Teja memiliki makna sebagai sinar dan Nata adalah raja yang secara keseluruhan diartikan sebagai Sinar Raja Solo ( cahaya raja yang memancar), yang kemudian apabila dikaitkan dengan proses pernikahan tersebut, berarti pancaran sinar itu memancar sampai di Pakualaman, serta merupakan sebuah simbol kewibawaan seorang Raja.
Bedhaya Tejanata sampai sekarang menjadi penanda penting keberadaa tari-tarian klasik di Pura Pakualaman. Di samping keindahan gerakan tarianyang memancarkan kesederhanaan bedhaya yang dipenuhi pancaran wibawa aura makna. Dalam pengertian ini, bedhaya Tejanata juga mengawal suatu momentum, di antaranya: (1) Penanda budaya terkait peristiwa monumental, perkawinan antara dua kerajaan penting di tanah Jawa; (2) Penanda persentuhan dua kekuatan besar gaya tari klasik Jawa, yakni, Yogyakarta dan Surakarta, yang mengaksentuasikan bahwa mereka berasal dan tetap berada dalam satu rangkum trah Mataram; (3) Penanda arti penting adanya keragaman dalam basis budaya internal (Jawa) yang disatukan dalam semangat untuk saling menguatkan
Bedhaya Tejanata telah mengalami beberapa perombakan. Di Solo, kesenian ini ditarikan oleh sembilan orang penari dan di Pakualaman ditarikan oleh tujuh orang penari. Rombakan lainnya ada pada aksesori dalam koreografi tari, yaitu memakai perisai dan keris yang sebelumnya (di Solo) memakain senjata pisau. Namun, seiring berjalannya waktu Kanjeng Gusti tidak menyukai jika dalam tarian itu memakai senjata, maka kemudian ada perubahan dalam estetika tarian. Sebagai contoh, saat adegan perang itu diubah menjadi komunikasi antara dua orang atau percintaan.
Konon, perhelatan upacara ”Jangan Menir” pada 19 januari 1909,diadakan secara besar-besaran di Pura Pakualaman dengan mengundang Sri Mangkunegara VII, dan Sri Sultan Hamengku Buwana VII, serta pembesarpembesar Belanda. Suatu momentum yang tepat buat mempertunjukan bedhaya Tejanata. Kedudukan bedhaya Tejanata bila dibandingkan dengan bedhaya lainnya memang lebih tinggi. Bedhaya Tejanata ini tidak sembarangan untuk dipertunjukan dan ditarikan di luar keraton; dan tidak mudah untuk ditarikan oleh sebagian orang, walaupun bedhaya ini masih sering disalahartikan sebagai bedhaya yang paling mudah. Bedhaya Tejanata memperlihatkan keagungan dan wibawa gerak – nyaris tidak mereportase peristiwa apapun – murni ekspresi rasa gerak untuk pancaran cahaya kewibawaan raja.
Perihal bedhaya Tejanata, tidak sebatas bagaimana bedhaya itu ditarikan, dimainkan, dan dipergelarkan; melainkan juga bedhaya yang memancarkan kewibawaan dalam memaknai, menghayati, dan mengelola keragaman, ”Sesuatu hal yang beda jangan disamakan, yang sama jangan dibedakan.” Meski bukan bedhaya pusaka, bedhaya Tejanata mampu berperan sebagai bedhaya yang berkarakter dan beridentitas khas Pakualaman. telah terengkuh dalam khazanah kekayaan budaya, pemilikannya memberi kontribusi kepada masyarakat pengguna dan pendukungnya.
Sumber : Buku Pentapan WBTB 2018
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |