Bedhaya Tejanata berawal dari sebuah cerita Kanjeng Gusti yang ke VII yang akan menikah dengan seorang putri dari Solo. Putri Solo yang merupakan Putri terkasih dari Pakubuwono XI (BRA. Retna Puwasa). Saat proses ini berlangsung, situasi di Pakualaman secara politik sedang tidak bagus dan sedang merosot. Jadi, proses pernikahan ini juga merupakan sebuah proses diserahkannya Tejanata ke Pakualaman, yang diartikan sebagai sebuah hadiah pernikahan. Teja memiliki makna sebagai sinar dan Nata adalah raja yang secara keseluruhan diartikan sebagai Sinar Raja Solo ( cahaya raja yang memancar), yang kemudian apabila dikaitkan dengan proses pernikahan tersebut, berarti pancaran sinar itu memancar sampai di Pakualaman, serta merupakan sebuah simbol kewibawaan seorang Raja.
Bedhaya Tejanata sampai sekarang menjadi penanda penting keberadaa tari-tarian klasik di Pura Pakualaman. Di samping keindahan gerakan tarianyang memancarkan kesederhanaan bedhaya yang dipenuhi pancaran wibawa aura makna. Dalam pengertian ini, bedhaya Tejanata juga mengawal suatu momentum, di antaranya: (1) Penanda budaya terkait peristiwa monumental, perkawinan antara dua kerajaan penting di tanah Jawa; (2) Penanda persentuhan dua kekuatan besar gaya tari klasik Jawa, yakni, Yogyakarta dan Surakarta, yang mengaksentuasikan bahwa mereka berasal dan tetap berada dalam satu rangkum trah Mataram; (3) Penanda arti penting adanya keragaman dalam basis budaya internal (Jawa) yang disatukan dalam semangat untuk saling menguatkan
Bedhaya Tejanata telah mengalami beberapa perombakan. Di Solo, kesenian ini ditarikan oleh sembilan orang penari dan di Pakualaman ditarikan oleh tujuh orang penari. Rombakan lainnya ada pada aksesori dalam koreografi tari, yaitu memakai perisai dan keris yang sebelumnya (di Solo) memakain senjata pisau. Namun, seiring berjalannya waktu Kanjeng Gusti tidak menyukai jika dalam tarian itu memakai senjata, maka kemudian ada perubahan dalam estetika tarian. Sebagai contoh, saat adegan perang itu diubah menjadi komunikasi antara dua orang atau percintaan.
Konon, perhelatan upacara ”Jangan Menir” pada 19 januari 1909,diadakan secara besar-besaran di Pura Pakualaman dengan mengundang Sri Mangkunegara VII, dan Sri Sultan Hamengku Buwana VII, serta pembesarpembesar Belanda. Suatu momentum yang tepat buat mempertunjukan bedhaya Tejanata. Kedudukan bedhaya Tejanata bila dibandingkan dengan bedhaya lainnya memang lebih tinggi. Bedhaya Tejanata ini tidak sembarangan untuk dipertunjukan dan ditarikan di luar keraton; dan tidak mudah untuk ditarikan oleh sebagian orang, walaupun bedhaya ini masih sering disalahartikan sebagai bedhaya yang paling mudah. Bedhaya Tejanata memperlihatkan keagungan dan wibawa gerak – nyaris tidak mereportase peristiwa apapun – murni ekspresi rasa gerak untuk pancaran cahaya kewibawaan raja.
Perihal bedhaya Tejanata, tidak sebatas bagaimana bedhaya itu ditarikan, dimainkan, dan dipergelarkan; melainkan juga bedhaya yang memancarkan kewibawaan dalam memaknai, menghayati, dan mengelola keragaman, ”Sesuatu hal yang beda jangan disamakan, yang sama jangan dibedakan.” Meski bukan bedhaya pusaka, bedhaya Tejanata mampu berperan sebagai bedhaya yang berkarakter dan beridentitas khas Pakualaman. telah terengkuh dalam khazanah kekayaan budaya, pemilikannya memberi kontribusi kepada masyarakat pengguna dan pendukungnya.
Sumber : Buku Pentapan WBTB 2018
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja