Sebagai sistem aristokrasi tradisional nusantara yang telah bertahan selama hampir delapan abad, Kesultanan Kutai memiliki warisan seni budaya yang amat kaya, misalnya dalam bidang seni tari. Di dalam lingkungan Keraton Kutai, terdapat sejumlah tari klasik yang masih tetap lestari melintas zaman. Salah satu di antaranya adalah tari topeng kemindu. Tari ini sering disebut juga tari topeng Kutai untuk membedakannya dengan berbagai jenis tari tradisional yang ada di berbagai daerah lain di Indonesia. Dahulu, tari topeng kemindu hanya berkembang di kalangan terbatas. Tari ini hanya dapat dibawakan oleh orang-orang dari strata sosial tertentu, yaitu para remaja putri dari kalangan bangsawan di Kesultanan Kutai. Seiring waktu, tari ini mulai diperbolehkan untuk dibawakan oleh masyarakat di luar lingkungan Keraton. Perubahan ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Haji Aji Muhammad Salehuddin II dengan tujuan mempopulerkan dan menjaga kelestarian seni tradisi Kerat...
Tari Nyelama Sakei/Persahabatan adalah tarian perkenalan dan persahabatan menyambut tamu yang datang berkunjung ke Desa Ritan Baru dan Desa Tukung Ritan. Tarian ini bertujuan agar terjadi keakraban dan perkenalan dengan tamu, sehingga rasa malu, sungkan, serta segan untuk berkenalan dengan mudah akan hilang.
Tari ngeleway dikenal sebagai tarian pelengkap pada upacara perkawinan Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung. Tarian ini diadakan ketika acara naik kepala yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan dari semua golongan umur. Untuk wanita menggunakan kain ta’ah, kebaya lengan panjang dengan leher bundar dan selendang sedangkan penari laki-laki menggunakan cawat, baju dari kulit jomo dan kesapu dank ain yang bercorak kotak-kotak serta Mandau yang diikatkan dipinggang. Pelaksanaannya selalu pada siang hari saat kedua mempelai dipersandingkan (Ibid, 79).
Tari ngerangkau adalah tarian khusus yang diadakan untuk upacara Kwangkai, bermaksud untuk mengundang roh si mati untuk bersama-sama dengan keluarga bersuka ria. Dayak Benuaq dan Dayak Tunjung percaya bahwa tarian ini dapat mendatangkan roh yang meninggal. Tarian ini dibawakan oleh laki-laki maupun perempuan, tidak ada batasan jumlah penari dalam tarian ini. Dilaksanakan di tumah duka yang mengadakan upacara Kwangkai, dilakukan malam hari sampai dinihari. Tarian ini baru dilaksanakan jika penari sudah mendapat isyarat dari sang pawang. Saat tarian dilaksanakan sang pawang akan terus menerus membaca/bernyanyi yakni menceritakan riwayat hidup si mati. Kostum yang digunakan untuk laki-laki pakaian sehari-hari dengan memakai kain cawat, rompi dan ikat kepala dari kain berwarna merah yang disebut kesapu. Pakaian wanita terdiri dari kain taah atau tapeh silak, kebaya lengan panjang dengan leher bundar dan ikat kepala berwarna merah pula (Zailani, 1999:75-76).
Tari kanjet’ung merupakan tarian anak muda yang dikenal juga dengan tari seraung yaitu tari yang menggambarkan kekayaan suku Dayak Kenyah dibidang kerajinan tangan. Dibawakan oleh perempuan muda dengan menggunakan baju (aban), topi (tapung aban) dan rok (ta’aban) yang dibuat dari manik-manik dengan hiasan kecil-kecil melingkar saling berkaitan yang juga melambangkan persatuan atau tidak terpisahkan. Secara tidak langsung tarian ini juga merupakan promosi bagi hasil kerajinan mereka.
Tari ini menggambarkan Suku Dayak Kenyah saat melakukan perjalanan ke Ritan Baru. Fase pertama yaitu Uma Iwan. Pada fase awal ini mereka belum mengenal pakaian dari bahan kain, tetapi hanya mengenakan kulit kayu. Peralatan rumah tangga yang digunakan pun berasal dari tumbuh-tumbuhan yang tedapat di sekitar mereka. Misalnya buah labu tua yang sudah dikeluarkan isinya dijadikan wadah makanan, dan bamboo sebagai wadah air. ”Bahkan di Uma Iwan ini suku kami belum mengenal garam, jadi sebagai penyedap adalah daun-daunan kayu yang dicampurkan kepada daging hewan buruan saat dimasak,” jelasnya. Uma adalah rumah panjang yang bisa dihuni 40 hingga seratus org atau sekitar 25 Kepala Keluarga. Selanjutnya yaitu Uma Metun; Dalam fase ini mereka sudah mengenal kain dengan bahan sederhana namun sangat terbatas. Pakaian masih kombinasi antara kulit kayu dan kain. Kain tersebut didapa...
Tari ini asal mulanya memiliki hubungan dengan seni tari dalam Kerajaan Singosari dan Kediri, namun gerak tari dan irama gamelan yang mengiringinya sedikit berbeda dengan yang terdapat di Kerajaan Singosari dan Kediri. Sedangkan cerita yang dibawakan dalam tarian ini tidak begitu banyak perbedaannya, demikian pula dengan kostum penarinya. Tari Topeng Kutai terbagi dalam beberapa jenis sebagai berikut: 01. Penembe 02. Kemindhu 03. Patih 04. Temenggung 05. Kelana 06. Wirun 07. Gunung Sari 08. Panji 09. Rangga 10. Togoq 11. Bota 12. Tembam Tari Topeng Kutai hanya disajikan untuk kalangan kraton saja, sebagai hiburan keluarga dengan penari-penari tertentu. Tarian ini juga biasanya dipersembahkan pada acara penobatan raja, perkawinan, kelahiran dan penyambutan tamu kraton.
Tari Sang Hyang Jaran ialah tarian asal provinsi Bali yang ditampilkan oleh seorang lelaki atau pemangku (orang suci) yang mengendarai kuda-kudaan yang terbuat dari pelepah daun kelapa. Dengan diiringi gending sang Hyang Jaran yang dilantunkan oleh paduan suara, sang pemangku menari dengan mata terpejam, berjalan dan berlari-lari kecil dengan kaki telanjang sambil menginjakkan kakinya pada bara api batok kelapa yang berada di tengah arena. Disebutkan bahwa sang penari tidak merasakan sakit saat menginjak bara api karena saat ia menari, sang pemangku telah dirasuki oleh roh tunggangan dewa setelah dilakukan upacara. Tarian ini dapat ditemukan di kawasan Bali, di kabupaten Badung, Gianyar, Denpasar dan Bangli. Masyarakat desa mengadakan penampilan tari Sang Hyang Jaran saat kondisi alam memprihatinkan. Tarian ini bertujuan untuk menolak bala, dengan memohon perlindungan agar terhindar dari bencana dan wabah penyakit.
Tarian, yang menurut sumber, sudah hampir dilupakan ini merupakan tarian yang dilakukan sebagai perayaan musim panen. Dalam tarian ini, para wanita menumbuk padi dengan lesung dan alu secara berirama sehingga menimbulkan nada. Para penari perempuan ini terdiri dari 6 orang yang bertugas menumbuk dan enam lainnya menunggu giliran. Pada awalnya, ritme yang dihasilkan masih dalam tempo teratur. Lama kelamaan, ritme menjadi lebih dinamis dan para penari lain masuk dan bernyanyi. Pertunjukan tersebut semakin semarak saat penari mengajak penonton untuk ikut menyanyi dan menari.