Serimpi (srimpi) merupakan salah satu tari putri yang berasal dari istana. Biasanya serimpi dibawakan 4 penari putri, dengan rias dan kostum yang sama. Nama / judul tari serimpi, seperti halnya tari putri yang lain, sama dengan salah satu gending (lagu) pengiringnya (selalu ada pengecualian, artinya tidak semua). Seperti Srimpi Irim-Irim, diiring gending Irim-Irim, Srimpi Pandelori, diiringi gending Pandelori.
Namun, ada salah satu serimpi yang dibawakan 5 penari putri, dan namanya tidak identik dengan gending pengringnya, melainkan nama seorang putri, yakni Serimpi Renggawati . Penari ke 5 adalah gadis yang masih suci (belum mendapat haid). Untuk hal satu ini, ada yang unik di balik serimpi yang satu ini. Mencari penari belia (belum mendapat haid) yang sudah ‘jadi’ tentu bukan hal yang mudah. Jadi penari ke 5 yang nampak di gambar tersebut termasuk istimewa, masih belia tapi sudah ‘matang’ gerak tarinya.
Serimpi Renggawati termasuk tarian sakral, dan jarang dipentaskan, Di dalam tarian ini, penari yang masih suci menari sambil membawa tiruan merpati putih. Tentu butuh waktu yang lumayan panjang untuk sampai ke tataran penari keraton. Tarian ini dapat dipentaskan karena ada penari cilik yang mumpuni, setelah melaui proses latihan yang lumayan berat. Penari juga harus menjalani ‘laku tirakat’ dan puasa. Juga, harus berhati bersih. Sayang, ketika serimpi Renggowati akan dipentaskan lagi, ternyata si gadis sudah mendapat haid, alhasil batal dipentaskan. Butuh waktu yang lama untuk mencari penari ke 5, terlebih di masa kini, saat orang tak mau lagi menengok seni tradisi, tak terkecuali tari klasik.
Serimpi Renggawati menceritakan pertemuan Prabu Anglingdarma, dengan Dewi Renggawati, yang merupakan titisan Dewi Setyowati. Dia, istri Prabu Anglingdarma yang melakukan pati obong/ membakar diri, karena salah paham saat Sang Prabu tertawa mendengar dialog 2 ekor cicak. Prabu Anglingdarma memang bisa bahasa binatang. Sang Dewi mengira suaminya menertawakan dirinya, setelah tahu bahwa itu karena menertawakan cicak, sang dewi minta diajari ilmu untuk bisa tahu bahasa binatang. Tapi, Prabu Anglingdarma sudah terikat janji dengan pemberi ilmu tersebut, Nagaraja, bahwa Sang Prabu tidak boleh mengajarkan ilmu tersebut kepada siapa pun juga. Dewi Setyowati ngambeg, lalu membakar diri. Sang Prabu kemudian menjelma menjadi mliwis putih/burung belibis warna putih. Mliwis putih pun berkelana mencari titisan Dewi Setyowati.
Menari srimpi, butuh stamina yang kuat, karena menari setidaknya 30 menit, dengan kostum dan aksesori yang ’menyiksa’, seperti sumping, yang dikenakan di telinga, dengan cara memasangnya di sekeliling telinga. Jamang, yang dikenakan di kepala semacam mahkota, juga membuat kepala pening. Plus harnal dan jepit di sanggul. Itu hanya dapat dilakukan oleh orang pilihan, yang mendedikasikan k.emampuannya untuk melestarikan seni tradisi, khususnya tari.
Selama menari, penari ‘dilayani’ oleh abdi dalem keparak, yang bertugas membenahi kostum yang mungkin perlu dibenahi, seperti kain yang terlipat, atau ada yang lepas. Juga melap keringat jika keringatnya terlalu banyak. Jangan salah, abdi dalem keparak ini bukan orang sembarangan, kebanyakan dosen tari dan guru tari , juga PNS lain.
Sumber: Probo Harjanti, http://baltyra.com/2010/10/06/srimpi-renggowati/#ixzz3E6x8KkG4
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.