Alkisah, pada zaman dahulu di daerah Silahan, Tapanuli Utara, hiduplah sepasang suami-istri yang memiliki dua orang anak laki-laki. Yang sulung bernama Datu Dalu, sedangkan yang bungsu bernama Sangmaima. Ayah mereka adalah seorang ahli pengobatan dan jago silat. Sang Ayah ingin kedua anaknya itu mewarisi keahlian yang dimilikinya. Oleh karena itu, ia sangat tekun mengajari mereka cara meramu obat dan bermain silat sejak masih kecil, hingga akhirnya mereka tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan pandai mengobati berbagai macam penyakit. Pada suatu hari, ayah dan ibu mereka pergi ke hutan untuk mencari tumbuhan obat-obatan. Akan tetapi saat hari sudah menjelang sore, sepasang suami-istri itu belum juga kembali. Akhirnya, Datu Dalu dan adiknya memutuskan untuk mencari kedua orang tua mereka. Sesampainya di hutan, mereka menemukan kedua orang tua mereka telah tewas diterkam harimau. Dengan sekuat tenaga, kedua abang-adik itu membopong orang tua mereka pulang ke rumah. Usai acara pe...
Pada zaman dahulu kala, di sebuah desa kecil di tepi Danau Toba hiduplah sepasang suami-istri dengan seorang anak perempuannya yang cantik jelita bernama Seruni. Selain cantik, Seruni juga tergolong sebagai anak yang rajin karena selalu membantu kedua orang tuanya ketika mereka sedang bekerja di ladang yang hasilnya digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Suatu hari, Seruni harus bekerja di ladang seorang diri karena kedua orang tuanya sedang ada keperluan di desa tetangga. Ia hanya ditemani oleh anjing peliharaannya yang diberi nama Si Toki. Sesampainya di ladang, Seruni hanya duduk termenung sambil memandangi indahnya alam Danau Toba. Sebenarnya, beberapa hari terakhir Seruni selalu tampak murung. Hal ini disebabkan karena Sang Ayah akan menjodohkannya dengan seorang pemuda yang masih tergolong sepupunya sendiri. Padahal, ia telah menjalin hubungan asmara dengan seorang pemuda di desanya dan telah berjanji pula akan membina rumah tangga. Keadaan ini membuatnya m...
Fahombo, Hombo Batu atau dalam bahasa Indonesia "Lompat Batu" adalah lahraga tradisional Suku Nias. Olahraga yang sebelumnya merupakan ritual pendewasaan Suku Nias ini banyak dilakukan di Pulau Nias dan menjadi objek wisat tradisional unik yang teraneh hingga ke seluruh dunia. Mereka harus melompati susunan bangunan batu setinggi 2 meter dengan ketebalan 40 cm. Batu yang harus dilompati adalah seperti sebuah monumen berbentuk piramida tapi dengan permukaan bagian atasnya lebih datar. Bebatuan tersebutpun berasal dari alam, yang kemudian dibentuk persegi dengan ukuran 60x90 cm. Beberapa langkah dari tumpukan batu, ada sebuah batu yang lebih besar yang berfungsi sebagai tumpuan lompatan. Biasanya ritual lompat batu ini juga diikuti dengan iringan tari 'faluya' yaitu sebuah tarian perang khas suku nias. Sejarah Lompot Batu (Fahombo) Pada zaman dulu, ada kebiasaan perang suku antar masyarakat Nias. Saat itu biasanya masing - masing kubu membuat benteng tinggi untuk melindungi wilay...
Alkisah disuatu ketika disebuah desa kecil di Kasawan Danau Toba terdapat satu keluarga kecil yang hidup sederhana memiliki anak perempuan dewasa, namanya Seruni. Pada saat itu ayah Seruni melihat anak perempuannya sudah tumbuh dewasa dan pantas untuk berumahtangga. Ayah Seruni sudah lama berniat untuk menjodohkannya dengan anak dari kakak perempuan ayah Seruni. Tepatnya Seruni di jodohkan pilihannya ayahnya, yakni paribannya sendiri. Mendengar hal tersebut Seruni merasa kecewa dan sedih, sebab sejak lama dia sudah menaruh hati kepada seorang pemuda pilihannya sendiri yang juga satu desa dengan keluarga Seruni. Karena begitu besar rasa cinta Seruni kepada pria idamananya pupus dikarenakan perjodohan yang sudah diaturkan oleh ayahnya, akhirnya Seruni mulai putus asa dan tidak tahu hendak berbuat apa. Serunipun yang sudah menangis terseduh sembari berlari menuju sebuah tebing di Danau Toba, dengan putus asa Serunipun berniat untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke D...
Raja Simangolong memimpin sebuah kerajaan di daerah Teluk Dalam, Sumatera Utara . Sang raja memiliki seorang anak perempuan berparas cantik jelita bernama Sri Pandan. Disamping cantik jelita, Sri Pandan juga terkenal sangat baik hatinya lagi terampil bekerja. Ia terampil menganyam tikar juga menumbuk padi. Kecantikan Sri Pandan telah dikenal di seantero negeri. Banyak para pemuda berkeinginan meminang Sri Pandan. Namun demikian, Raja Simangolong berharap Sri Pandan kelak menikah dengan pangeran negeri lain agar bisa menjalin hubungan baik dengan negeri tersebut. Kecantikan putri Sri Pandan terdengar hingga di kerajaan Aceh. Pangeran Aceh sangat berkeinginan untuk melamar putri Sri Pandan. Raja Aceh kemudian mengirim utusan ke kerajaan Teluk Dalam untuk memberitahu perihal lamaran Pangeran Aceh terhadap Putri Sri Pandan. Raja Simagolong merasa gembira dengan kedatangan utusan dari kerajaan Aceh. Ia sangat setuju jika putri Sri Pandan menikah dengan Pange...
Tarian Faluaya merupakan sebuah tarian kolosal yang melibatkan penari dengan jumlah yang tidak terbatas (dalam realitanya berjumlah ganjil). Gerakan dalam tarian ini memperagakan gerakan-gerakan layaknya pada prajurit perang yang sedang berada di medan perang. Tarian ini menurut sejarahnya merupakan ungkapan sukacita dari para prajurit setelah meraih kemenangan di medan perang. Kata Faluaya bila diartikan adalah bersama-sama atau kebersamaan lebih dalam lagi maknanya adalah kerja sama. Jadi dari arti katanya kita bisa menyimpulkan bahwa tari Faluaya ini dilakukan dengan bersama dalam kelompok. Tarian Faluaya ini tidak diiringi oleh satu alat musik, baik alat musik barat maupun alat musik tradisional Nias sendiri. Tarian ini hanya di iringi oleh serangkaian syair-syair yang dinyayikan dengan lantang dan penuh semangat. Syair-syair tersebut disebut Hoho oleh masyarakat nias. Susunan syair-syair Hoho ini dinyanyikan secara sahut-sahutan oleh para peserta yang mempertunjukan Tari Falua...
Jika kita pergi ke pulau Samosir di tengah Danau Toba, Sumatera Utara, maka kita akan mendapati Si Gale-Gale sebuah patung yang bisa bergerak. Si Gale-Gale adalah sebuah patung kematian yang dibuat apabila ada seseorang yang meninggal tanpa memiliki keturunan. Dimaksudkan agar orang yang meninggal tidak berduka di alam baka. Menurut kepercayaan orang Batak zaman dahulu, orang yang meninggal tanpa memiliki keturunan, roh-nya akan memasuki patung Si Gale-Gale. Patung tersebut kemudian akan dituntun oleh seorang dalang bersorban sementara para penonton akan menari mengelilingi patung sambil bersedekah pelipur lara kepada patung. Adapun bentuk Si Gale-Gale biasanya dibuat tanpa kepala. Kemudian di bagian kepala patung akan diletakkan tengkorak orang yang meninggal. Muka patung diwarnai dengan kuning telur, matanya dibuat dari oleh buah-buahan, rambutnya dari rambut kuda, dan tubuh patung diberi pakaian lengkap yang indah. Patung yang bisa bergerak Si Gale-Gale konon...
Di tepi sebuah sungai di Labuhan Batu, Sumatra Utara , hiduplah seorang janda yang sangat miskin bersama seorang anaknya. Anaknya bernama Si Kantan. Si Kantan dan Ibunya tinggal di sebuah gubuk yang reot dan kumuh. Mereka hidup sengsara. Ayah Si Kantan telah lama meninggal dunia. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ibu Si Kantan mencari kayu bakar di hutan untuk dijual ke pasar. Si Kantan sering membantu ibunya untuk membawa kayu bakar dari hutan ke pasar. Si Kantan terkenal sebagai anak yang rajin dan patuh kepada ibunya. Bermimpi Bertemu Kakek Tua Ketika malam tiba, ibu Kantan bermimpi. Dia bertemu dengan seorang kakek tua yang menyuruh mereka untuk menggali tanah pada sebuah tempat di dalam hutan. Ketika pagi tiba, sang ibu menceritakan perihal mimpinya kepada Si kantan. Si Kantan menyarankan kepada ibunya untuk mematuhi apa yang disuruh oleh kakek tua itu. “Ibu, cobalah kita laksanakan perintah sang kakek tersebut, mana tau akan memba...
Martumba merupakan bagian dari tarian tradisional Batak Toba. Menurut orang tua dulu, kata “tumba” berawal dari bunyi alu ( andalu ) yang menumbuk padi di lesung . Biasanya yang menumbuk padi adalah anak gadis terdiri dari dua orang. Kadang jika ada pemuda yang datang untuk mencari jodoh ( martandang ) maka pemuda tersebut ikut menumbuk padi. Suara alu yang menumbuk padi tersebut terdengar bersahut-sahutan: tum…ba….tum…ba….tum…ba, jadilah kata “tumba”. Anak gadis dan pemuda tersebut bernyanyi dengan syair yang indah (berbalas pantun) mengikuti irama yang menumbuk padi. Perkembangan selanjutnya, martumba ditata oleh seorang perempuan dengan mengatur irama tumba disesuaikan dengan lagu dan syair yang indah. Pada awalnya, martumba dilakukan pada malam hari di halaman rumah saat bulan purnama. Seiring perkembangan zaman, karena dipengaruhi kebiasaan dan kondisi kehidupan yang semakin maju, maka martumba ini tidak lagi dilakukan hanya pada malam hari, tetapi sesuai konteks kegiatan s...