Martumba merupakan bagian dari tarian tradisional Batak Toba. Menurut orang tua dulu, kata “tumba” berawal dari bunyi alu (andalu) yang menumbuk padi di lesung. Biasanya yang menumbuk padi adalah anak gadis terdiri dari dua orang. Kadang jika ada pemuda yang datang untuk mencari jodoh (martandang) maka pemuda tersebut ikut menumbuk padi. Suara alu yang menumbuk padi tersebut terdengar bersahut-sahutan: tum…ba….tum…ba….tum…ba, jadilah kata “tumba”. Anak gadis dan pemuda tersebut bernyanyi dengan syair yang indah (berbalas pantun) mengikuti irama yang menumbuk padi.
Perkembangan selanjutnya, martumba ditata oleh seorang perempuan dengan mengatur irama tumba disesuaikan dengan lagu dan syair yang indah. Pada awalnya, martumba dilakukan pada malam hari di halaman rumah saat bulan purnama. Seiring perkembangan zaman, karena dipengaruhi kebiasaan dan kondisi kehidupan yang semakin maju, maka martumba ini tidak lagi dilakukan hanya pada malam hari, tetapi sesuai konteks kegiatan saat itu seperti pada pagi hari atau siang hari, para pelakunya juga bukan lagi orang dewasa, melainkan anak-anak dan remaja. Tumba memiliki keunikan dibandingkan dengan tortor Batak, karena peserta membentuk lingkaran, kemudian menari sambil bernyanyi secara bersama-sama. Gerakannya: bertepuk tangan, melompat, mengangkat kaki. Nyanyian yang dilantunkan berisi pantun berkesan kata-kata bijak. Hentakan dalam setiap gerak dalam tari martumba ini memperlihatkan keharmonisan yang memiliki nilai seni sangat indah dalam tatanan estetika yang tinggi jika dibandingkan dengan sejumlah tarian modern lainnya.
Saat ini, tarian Martumba memiliki fungsi sebagai hiburan bagi masyarakat, juga memiliki fungsi sosial, yakni menjadi pola pembentukan kehidupan dalam masyarakat untuk menjalin kebersamaan, kekompakan dan membangun relasi yang baik, membangun komunikasi, belajar mencari jodoh, serta melatih kerjasama.
Sumber: Pdt Daniel Napitupulu. Martumba, Masihkah Anda Mengenalinya? Diakses pada tanggal 14 April 2023 pukul 22.58 WIB melalui https://www.newkairos.co/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja