Dahulu kala orang tinggal dibentang. Di zaman itu boleh dikatakan tak ada rumah yang bentuknya seperti rumah sekarang. Betang itu rumah panjang dan besar. Beratus-ratus orang ditampung di dalamnya. Dalam sebuah kampung biasanya terdapat beberapa buah betang. Kalau banyak pemuda-pemudi kawin atau berkeluarga, dan betang yang sudah tidak mampu lagi menampung mereka, maka dibangunlah betang yang baru. Pada suatu tempat di Kapuas, dahulu kala ada sebuah kampung. Betang di kampung itu tidak cukup menampung pemuda-pemudi yang baru berumah tangga. Karena itu penduduk mufakat untuk bergotong royong membangun betang yang baru bagi mereka. Pada hari yang sudah ditentukan, orang banyak bergegas-gegas keluar dari betangnya membawa perkakas masing-masing, menolong menggali tanah tempat mendirikan tiang betang yang baru dibangun. Demikianlah mereka mulai menggali, menggunakan linggis memakai dayung dan ada yang menggunakan mandau, pendeknya mereka menggunakan bermacam-macam perkakas....
Pada suatu hari Pak Paloy, berangkat ke hutan hendak mencari kulat, rebung dan daun paku-pakuan untuk gulai mereka anak-beranak. Maka ia pun membawa bakul yang dipikulnya diatas bahunya lalu berangkat. Sampai di hutan Pak Paloy, menemukan sebuah kumpulan kulat, banyak sekali kulat (cendawan) itu sehingga memutih kelihatannya tanah itu. Maka Pak Paloy mulai memetik cendawan itu lalu dimasukkannya ke dalam bakulnya. Ketika ia memetik cendawan itu dengan tak terasa sampailah ia ke suatu tempat di mana banyak sekali bunga-bungaan. Ada yang putih, kuning, merah dan masih banyak lagi warna-warninya, cukup macam bunga-bungaan yang ada di situ. Pak Polay pun melepaskan bakulnya dari atas bahunya lalu menuju bunga-bungaan itu. Diciumnya bunga-bungaan itu disana-sini. "Bunga itu bagus, tetapi kurang harum " kata Pak Polay, baiklah aku pergi ke sana barangkali yang itu bagus dan harum baunya serta bagus rupanya, boleh aku memetiknya untuk Bu Paloy." "Bunga ini harum baunya tetapi tidak...
Dahulu kala di puncak gunung Pararawen ada sebuah kota yang indah sekali. Kota itu lengkap dengan gedung-gedung balai pertemuan, kolam permandian, dan banyak hal-hal lainnya. Pada zaman kekuasaan raja Tiong Gomba, negeri itu makmur sekali. Rakyatnya hidup senang, tak ada kesukaran, aman dan tenteram serta berbahagia. Raja itu mempunyai seorang putri, putri Ayang namanya. Putri itu makin lama makin besar dan pada waktu itu sudah meningkat dewasa. Karena raja hanya mempunyai seorang putri saja, maka putri itu sangat dimanjakan. Apa saja kemauannya semuanya diturutkan. Atas permintaannya, dibuatkanlah sebuah kolam khusus tempat sang putri mandi. Tiap hari ia mandi di kolam itu. Ia boleh mandi sepuas hatinya di kolam itu. Pada suatu hari raja Tiong Gomba bermaksud hendak mengadakan perjalanan ke hilir ke kota Kayu Tangi. Sebelum ia berangkat, diceritakannya kepada istrinya akan rencananya itu dan mengharapkan supaya mereka tinggal baik-baik, dalam suasana yang aman dan tente...
Pada Jaman dahulu di daerah Kalimantan Tengah tidak ada raja, pangeran atau pun raden bupati. Yang lazim dipakai hanyalah gelar saja (untuk kepala suku). Kepala Suku Tomun Sarang Maruya yang mula- mula ialah Santomang. Tetapi sesudah pemerintahan Santomang, terjadilah perpisahan tiap-tiap puak atau keluarga. Maka kami suku Tomun duduklah seorang kepala suku yang kenamaan dan rupawan, bergelar Todung Pandak. Rupanya Todung Pandak (Todung Pendek) ini bukanlah binatang atau ular, melainkan gelar seorang kepala suku yang kuat, yang disegani dan gagah berani. Di bagian Timur, yaitu di bagian Kapuas, Kahayan, Sampit, pendeknya di bagian imur, rupanya gelar kepala suku itu sama saja. Karena kita sama suku Dayak, kita memakai gelar yang sama yaitu Todung. Di daerah Kotawaringing ini disebut Todung Mandak dan di daerah Kapuas/Kahayan, namanya disebut Todung Panjang. Todung Mandak ini banyak kepandaiannya, keberaniannya, kepintarannya, bahkan terkenal kekejamannya. Juga istrinya palin...
Pak Awi dan mak Awi ini hanya beranak seorang saja, perempuan. Entah bagaimana pada suatu hari emak Awi berkata kepada pak Awi. "Bagaimanakah kita ini pak Awi? Garam kita ini habis . Setiap hari aku memasak Gulai kita terus tawar." "Eh, Eh" kata pak Awi. "Jangan sakit hau kata pak Awi. Begitu subuh nanti cepat-cepatlah memasak supaya aku pergi ke hulu sana. Mandatangi di hulu sana!" "Baiklah" kata mak Awi. Begitu hari terang pak Awi lalu berangkat membawa bakul satu, lalu ia melepaskan tali perahu terus mendayung/berkayuh. Begitu kira-kira di pertengahan tanjung orang menanyai dia. "Kemana engkau pak Awi?" "Sengajaku berdayung ke hulu disitu." Begitulah berulang-ulang terus menerus orang menanyai dia. Tidak begitu lama, dua tiga tanjung berkayulah, sampailah ia di dermaga lalu ia mengikat perahunya. Sesudah itu dia naik. Tidak begitu lama sampailah ia dimuka rumah lalu disambut oranglah pak Awi. "Hau, silahkan masuk, pak Awi. Lama engkau tak berte...
Ada sebuah cerita yaitu akar tungal garing. Jadi Sangumang berdua dengan ibunya tidak punya lauk. "Sudahlah", katanya kepada ibunya, "tangkaplah babi beserta kailku." "Hau" kata ibunya, "untuk apa?" "Tidak. Saya mau mengail ditepi laut sana." Jadi menurut cerita tadi, ditangkapnyalah babi dari dalam kandangnya, dikaitkannya babi dengan kailnya, dibawanya ke tepi laut, dan mengail-ngail disana. "Mengapa", dilemparkannya ke tengah laut di dekat muara. Sesudah itu tidurlah dia. Mula-mula pondok dibuatnya. Tidak seberapa lamanya bergoyanglah pondok itu. Kailnya tadi dipatuk ikan dan tidak berapa lamanya ia mengendalikannya. Sedang ia mengendalikannya muncullah akar kayu. Aneh, kiranya hanya akar kayu. Huh, amboi kailku lalu dengan tiba-tiba dapat memperolah akar kayu." Pulanglah dia. "Apa?" kata ibunya, "Ada dapat ikan?" "Tidak ada", jawabnya. "Apa katanya" dipatuk oleh kayu batang garing." Katanya, "Sudah ku simpan di tepi laut" Jadi menurut ce...
Pulau Kalimantan atau lebih sering disebut Borneo memiliki berjuta kekayaan budaya unik dan menarik. Salah satunya adalahtradisi menyambut tamu kehormatan tetek (potong) pantan yang terdapat dipedalaman suku asli Kalimantan yakni Suku Dayak. Dayak merupakan nama penduduk asli pulau Kalimantan yang sampai saat ini masih banyak yang tinggal di pedalaman Kalimantan. Suku asli Dayak mempunyai budaya mariitim atau bahari karena nama mereka banyak mempunyai arti dan berhubungan dengan sungai (karena banyaknya sungai yang terdapat dipedalaman Kalimantan). Walaupun demikian dibalik itu semua, suku Dayak ternyata memiliki berbagai macam tradisi yang menarik, seperti halnya tradisi penyambutan tamu ala suku Dayak yakni Tetek (Potong) Pantan. Sekilas memang traddisi ini hanya sebuah proses penyambutan tau biasa, akan tetapi kalau anda telusuri lebih mendalam ternyata acara tetek (potong) pantan tersebut sebagai syarat dengan makna kekeluargaan yang sangat kental. Tradisi tete...
Setelah seseorang dari suku Dayak Maanyan dinyatakan meninggal maka dibunyikanlah gong beberapa kali sebagai pertanda ada salah satu anggota masyarakat yang meninggal. Segera setelah itu penduduk setempat berdatangan ke rumah keluarga yang meninggal sambil membawa sumbangan berupa keperluan untuk penyelenggaraan upacara seperti babi, ayam, beras, uang, kelapa, dan lain-lain yang dalam bahasa Dayak Maanyan disebut nindrai . Beberapa orang laki-laki pergi ke dalam hutan untuk mencari kayu bakar dan menebang pohon hiyuput (pohon khusus yang lembut) untuk dibuat peti mati. Kayu yang utuh itu dilubangi dengan beliung atau kapak yang dirancang menyerupai perahu tetapi memakai memakai tutup. Di peti inilah mayat nantinya akan dibaringkan telentang, peti mati ini dinamakan rarung . Seseorang yang dinyatakan meninggal dunia mayatnya dimandikan sampai bersih, kemudian diberi pakaian serapi mungkin. Mayat tersebut dibaringkan lurus di atas tikar bamban yang diat...
Sarun adalah salah satu alat musik tradisional suku Dayak Kalimantan Tengah yang dibuat dari bahan logam / besi. Sarun ini sama dengan alat musik sar di Pulau Jawa, namun tentu saja memiliki suatu hal yang khas yang menjadikan sarun berbeda dari saron. Sebut saja dari jumlah lempengan logam sarun yang hanya memiliki 5 buah lempeng sehingga memiliki nada Do, Re, Mi, Sol dan La berbeda dengan peralatan musik lainnya yang memiliki nada lengkap Do, Re, Mi, Fa, Sol, La dan Si. Cara memainkan Sarun cukup dengan cara menabuhnya bergantian sesuai dengan nada yang ingin dihasilkan dari setiap lempengan-lempengan besi atau logam pada Sarun yang disusun secara berjajar pada bagian dasar. sumber :http://www.tradisikita.my.id/2016/07/alat-musik-tradisional-kalteng.html