Tak seperti namanya yang aneh, tampilan roti bentuk segi empat ini cukup sederhana. Tapi jangan salah, rasanya manis, legit, dan terasa empuk saat digigit. Roti yang menjadi favorit sejak tahun 1950 hingga 90-an ini masih tetap eksis lhoo. Dibeberapa daerah di Jawa tengah, Jogja dan sekitarnya kue ini masih menjadi idola. Resep roti kolombeng ini sangat sederhana. Bahan-bahannya hanya telur, tepung terigu, gula, dan ovalet. Roti ini tidak menggunakan margarin, cokelat, ataupun topping di dalam adonannya. Proses awalnya menyiapkan telur, satu resep ini bisa menghabiskan sebanyak 15-30 telur. Aduk telur hingga mengembang. Selanjutnya dicampur dengan bahan lain seperti gula dan tepung terigu, diaduk selama 15 menit agar rata. Jangan lupa tambahkan ovalet supaya adonan menjadi lebih lembut. Roti kolombeng ini biasanya dicetak dalam 2 bentuk saja, kotak dan bulat. Namun yang paling terkenal adalah bentuk kotak, karena sudah ada sejak jaman dulu. Selanjutnya adonan dituang...
Tentang Kraton Yogyakarta Bangunan Kraton dengan arsitektur Jawa yang agung dan elegan ini terletak di pusat Kota Yogyakarta . Bangunan ini didirikan oleh Pangeran Mangkubumi, yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwono I, pada tahun 1775. Beliau yang memilih tempat tersebut sebagai tempat untuk membangun bangunan tersebut, tepat di antara sungai Winongo dan sungai Code, sebuah daerah berawa yang dikeringkan. Bangunan Kraton membentang dari utara ke selatan. Halaman depan dari Kraton disebut alun-alun utara dan halaman belakang disebut alun-alun selatan. Desain bangunan ini menunjukkan bahwa Kraton, Tugu dan Gunung Merapi berada dalam satu garis/poros yang dipercaya sebagai hal yang keramat. Pada waktu lampau Sri Sultan biasa bermeditasi di suatu tempat pada poros tersebut sebelum memimpin suatu pertemuan atau memberi perintah pada bawahannya. Yang disebut Kraton adalah tempat bersemayam ratu-ratu, berasal dari kat...
Jemparingan, lomba panahan gaya Mataram yang diselenggarakan oleh Keraton Yogyakarta diselenggarakan di belakang Gedung Sasono Hinggil Dwi Abad di Alun-Alun Selatan, Yogyakarta, Selasa 24 Februari 2015. Jemparingan diselenggarakan setiap hari pasaran Selasa Wage untuk memperingati hari kelahiran Raja Keraton Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X. Setiap kali ada anak panah yang mengenai target, petugas akan membunyikan alat musik tradisional bonang sebagai penanda. Para peserta lomba wajib mengenakan busana adat jawa. Lomba ini menjadi ajang regenerasi pemanah tradisional. Regenerasi ini menjadi sangat penting karena kesempatan bagi pemanah tradisional untuk berkembang semakin sulit karena dihapuskannya panahan tradisional dari Pekan Olahraga Nasional (PON) pada tahun 2012. Sumber Berita
Para petani dari Desa Timbulharjo, Bantul menyelenggarakan Kirab Budaya Mapak Toyo. Kirab Mapak Toyo, yang berarti menjemput air, ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Hari Air Sedunia. Kirab budaya diramaikan dengan pawai budaya. Para petani mengenakan busana tradisional Jawa. Iring-iringan juga membawa 17 gunungan. Gunungan merupakan simbol dari persembahan tiap dusun atas berkat dan hasil panen raya yang didapat. Kirab budaya ini juga bertujuan untuk mengkampanyekan irigasi bersih. Para petani dan komunitas irigasi bersih ingin menyadarkan masyarakat bahwa air kali yang bersih adalah sebuah kebutuhan dan harus dijaga bersama-sama. Air kali penting untuk pengairan sawah, dan diharapkan dengan air kali yang bersih dapat meningkatkan produksi sawah.
Museum Ullen Sentalu adalah museum budaya Jawa yang berlokasi di kawasan Taman Kaswargan, Kaliurang, Sleman. Di dalam museum ini terdapat banyak karya masyarakat Jawa peninggalan masa silam. Karya-karya ini kental dengan tradisi budaya Jawa, terutama budaya keraton Mataram. Museum Ullen Sentalu memiliki tujuh ruangan, yakni ruang pintu masuk, ruang guwo selo giri dan 5 ruangan lain di Kampung Kambang. Museum Ullen Sentalu adalah kependekan dari istilah “Ulating Blencong Sejatine Tataraning Lumaku” . Kaliamat tersebut memiliki arti “Nyala lampu blencong merupakan petunjuk manusia dalam melangkah dan meniti kehidupan”.
Ny. Maria Magdalena Rubinem Yogyakarta, 11 Maret 1925 Ny. Maria Magdalena Rubinem adalah seorang pesinden yang sudah cukup senior. Beliau mempelajari sinden dari kecil di rumah Pangeran, antara lain Pangeran Suryaputra dan Pangerah Hadinegara selama tiga bulan. Sejak saat itu, beliau langsung terjun sebagai pesinden sejak tahun 1942. Sebagai pesinden, beliau sudah mengabdi selama lebih dari 70 tahun dan sejak tahun 1951 pernah berkali-kali tampil di hadapan Presiden Soekarno di Istana Negara. Di samping sebagai swarawati (seniman karawitan), beliau juga bisa menari. Semenjak zaman Jepang, tepatnya sekitar tahun 1943, beliau sudah mengabdi sebagai Pegawai Tidak Tetap di RRI (Radio Republik Indonesia) Stasiun Yogyakarta semasa Bapak Ali Murtopo menjabat sebagai menteri Penerangan, namun karena tidak segera diangkat dan kesibukan pentas di luar semakin padat akhirnya Ny. Rubinem mengundurkan diri sebelum diangkat sebagai PNS. Baginya, tahun 1960-an adalah masa keemasa...
Asal mula Gunung Kidul terjadi pada masa berdirinya Kesultanan Yogyakarta. Kala itu yang menjadi raja adalah Sultan Hamengku Buwono I. Pada waktu pemerintahannya, daerah sepanjang pesisir Laut Selatan masuk ke dalam wilayah Kesultanan Yogyakarta. Namun, pada waktu itu namanya bukan Gunung Kidul, tetapi Sumengkar. Karena wilayahnya sangat luas, daerah Sumengkar dipimpin oleh seorang adipati. Oleh karena itu, disebut daerah Sumengkar. Lalu mengapa Kadipaten Sumengkar kemudian berganti nama menjadi Kadipaten Gunung Kidul? Ceritanya sebagai berikut: Pada suatu hari, di Kadipaten Sumengkar sedang diadakan sebuah pertemuan yang sangat penting. Pertemuan itu dipimpin oleh Adipati Sumengkar sendiri, yaitu Adipati Wironegoro. Saat itu, Sang Adipati dihadapkan oleh orang-orang kepercayaannya, seperti Patih Panitipraja, Rangga Puspowilogo, Panji Semanu Harjodipuro, dan para punggawa Kadipaten Sumengkar lainnya. Namun, sampai sekian lama para punggawa itu menunggu, Adipati Wironegoro belum juga m...
Secara lengkap aksara jawa bisa dilafalkan menjadi sebuah kalimat “Hanacaraka, data-sawala, pada jayanya, magha-batanga” . Secara terpisah aksara tadi bisa dijelaskan mulai dari “Ha-Na-Ca-Ra-Ka” yang mengisahkan tentang dua orang sakti, “Da-Ta-Sa-Wa-La” menceritakan kalau keduanya terlibat perselisihan hingga mereka berkelahi. “Pa-Da-Ja-Ya-Nya” menyebutkan kalau keduanya sama – sama sakti, pada kumpulan aksara yang tersisa “Ma-Ga-Ba-Tha-Nga” menceritakan kalau akhirnya dua orang sakti tadi tewas bersama. Sumber: http://catperku.com/mesin-waktu-itu-bernama-ullen-sentalu/
Buku Gusti Ora Sare adalah buku berisi 90 Mutiara Nilai Kearifan Budaya Jawa.