BATIK KHAS KUNINGAN Kabupaten Kuningan adalah satu kota kecil yang terletak di kaki Gunung Ciremai, gunung tertinggi di Jawa Barat. Kuningan terkenal dengan makanan khasnya yaitu peuyeum ketan yang bungkus daun jambu dan dikemas dalam ember plastik. Namun di akhir 2011, Kabupaten Kuningan mulai mengembangkan industri batik yang dipelopori oleh Dewan Kerajinan Seni Daerah (Dekranasda). Hal itu ditandai dengan beberapa motif batik Kuningan yang dilaunching dari sebuah lomba cipta desain batik Kuningan diselenggarakan oleh Dekranasda. Batik Kuningan dengan motif baru tersebut antara lain Batik Kuda Si Windu, Ikan Dewa, Bokor, dan Gedung Perundingan Linggarjati. Dari lomba tersebut yang menjadi juara adalah motif Kagungan, yang didalamnya terdapat gambar Kuda, ikan dewa, bokor dan Gedung Linggarjati. Pada perjalanannya batik motif Kagungan ditetapkan menjadi motif batik seragam resmi PNS di Kabupaten Kuningan. Setiap motif menga...
Makna motif batik singa barong berdasarkan nama dan sejarahnya dimana singa barong merupakan sejenis binatang mitologis atau ajaib karena dalam budaya jawa maupun bali kata “barong” memiliki arti ajaib. Keajaiban wujud singa tersebut dapat kita lihat dari berbagai unsur yang merupakan penggabungan antara singa atau macan (tubuh, kaki, mata), garuda (bersayap), gajah (berbelalai), dan naga (mulut menyeringai dengan lidah yang menjulur). Istilah dari kata barong banyak terdapat pada kesenian di Jawa dan kesenian Bali, mempunyai makna “ajaib”, dimana seekor binatang yang tidak nyata ditemukan dalam realitas kehidupan. Dalam hal ini Singa Barong terbentuk dari penggabungan keempat jenis binatang yang berdasar pada makna kekuatan atau keperkasaan. Hal ini dipertegas dengan belalai yang melingkarkan belalainya ke atas keningnya dengan “memegang” senjata trisula (3 mata-tombak, terdapat di kedua...
Pada tulisan sebelumnya penulis melakukan ekspedisi ke Desa Tumbang Mantuhe untuk menggali sejarah luluhur dan mengenal keluarga penulis yang ada di Tumbang Mantuhe. Dalam ekspedisi ini penulis berhasil mendapatkan informasi sedikit mengenai motive tatu Dayak di Sungai Rungan yang sebenarnya tatu milik Kakek & Nenek dari neneknya penulis yang bernama SINGA LUKAS TANGGALONG dan istrinya MARIA DINDING. TANGGALONG adalah nama aslinya sebelum masuk kristen, dahulu beliau adalah salah satu pengayau dan pembuat mandau dikampungya dan memiliki perawakan yang tinggi besar sebab memang beliau adalah keturunan Orang Ut yang konon memiliki kaki yang panjang. Tutang ini dahulu tidak hanya sebagai penghias tubuh tetapi memiliki artian dan juga bentuk rajah dan perlambangan sahabat-sahabat ghaibnya. Misalnya sebelum diangkat menjadi seorang SINGA, maka Tanggalong hanya memiliki tatu bulan sabit di betisnya, namun setelah diangkat menjadi seorang SINGA maka tatu bulan sabit dibagian beti...
Manusia disebut sehat, apabila semua sistem dan unsur pembentuk tubuh ( panca maha bhuta ) yang berhubungan dengan aksara panca brahma (Sang, Bang, Tang, Ang, Ing) serta cairan tubuhnya berada dalam keadaan seimbang dan dapat berfungsi dengan baik. Sistem tubuh dikendalikan oleh suatu cairan humoral. Cairan humoral ini terdiri dari tiga unsur yang disebut dengan tri dosha ( vatta =unsur udara, pitta =unsur api, dan kapha =unsur air). Tiga unsur cairan tri dosha (Unsur udara, unsur api, dan unsur air) dalam pratek pengobatan oleh balian dan menurut agama Hindu di Bali ( Siwasidhanta ), Ida Sang Hyang Widhi atau Bhatara Siwa (Tuhan) yang menciptakan semua yang ada di jagad raya ini. Beliau pula yang mengadakan penyakit dan obat . Dalam beberapa hasil wawancara dengan balian dan sesuai dengan yang tertera dalam lontar ( Usada Ola Sari, Usada Separa, Usada Sari, Usada Cemeng Sari ) disebutkan siapa yang membuat penyakit dan siapa yang dapat menyembuhka...
Pemakaian saput poleng pada pohon-pohon besar di Bali merupakan bentuk upaya pelestarian lingkungan hidup yang dilakukan masyarakat Bali. Demikian terungkap dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Ideologi Pelestarian Lingkungan Hidup Dibalik Pemakaian Saput Poleng Pada Pohon Besar di Bali” yang ditulis oleh I Ketut Suda dari Fakultas Ilmu Agama, Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar yang dipublikasikan dalam Jurnal Bumi Lestari, Volume 10, Nomor 2 Tahun 2010. Ketut Suda menuliskan upaya masyarakat Bali melilitkan saput poleng pada pohon besar bukan sekedar perbuatan iseng yang terjebak pada utopia, melainkan memiliki latar belakang ideologis. Artinya dibalik budaya melilitkan saput poleng pada pohon besar yang merupakan bagian dari sistem nilai masyarakat Bali mengandung pula nilai-nilai kearifan ekologis. Ideologi yang terkandung disini yaitu konsep Tri Hita Karana . Harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diaktualisasikan dala...
Kakawin Nitisastra dapat dipandang sebagai model pola asuh anak menurut perspektif budaya Bali. Dimana proses perlakuan anak dianggap sebagai kewajiban agama di samping kewajiban biologis. Demikian terungkap dalam artikel ilmiah berjudul “Citra dan Hak Anak Menurut Kakawin Nitisastra ” yang ditulis oleh I Nyoman Suarka, A.A. Gede Bawa dan Komang Paramartha. Artikel tersebut dipublikasikan dalam Jurnal Kajian Bali, Volume. 06, Nomor. 02, tahun 2016. Dalam artikel tersebut dituliskan bahwa Kakawin Nitisastra merupakan sebuah karya sastra Jawa Kuna yang diperkirakan dikarang pada abad ke-15 di Jawa. Teks Kakawin Nitisastra merupakan salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang menyimpan informasi dan pengetahuan tradisional tentang citra dan hak-hak anak. Hak anak yang dijelaskan dalam teks Kakawin Nitisastra meliputi hak anak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mendap...
Hari Saraswati atau disebut juga Piodalan Sang Hyang Aji Saraswati yang jatuh pada hari Saniscara (Sabtu) Umanis wuku Watugunung sering dikaitkan dengan adanya larangan untuk membaca dan menulis selama satu hari (24 jam). Larangan tersebut berkaitan dengan pelaksanaan Brata Saraswati .Demikian terungkap dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Motivasi Belajar dan “Beasiswa Dewi Saraswati di Tengah Perayaan Hari Saraswati” yang ditulis oleh Ketut Sumadi dari Fakultas Dharma Duta IHDN Denpasar dan dipublikasikan pada Jurnal Guna Widya, Volume 3, No.1, tahun 2011. Ketut Sumadi menuliskan sebelum pemujaan Saraswati dilaksanakan dan sebelum lewat tengah hari tidak boleh membaca atau menulis mantra dan kesusastraan. Bagi orang yang melaksanakan brata saraswati secara penuh dengan melakukan meditasi, yoga, samadhi , tidak diperkenankan membaca dan menulis selama 24 jam. Dalam mempelajari segala ilmu pengetahuan agar senantiasa dilandasai...
Ritual yang dilakukan masyarakat Hindu di Bali merupakan implementasi dari Tri Hita Karana yang terdiri atas tiga hubungan harmonis. Salah satunya yang dilakukan para petani di Bali yaitu ritual pantun mayusa . Sebuah ritual dimana petani memperlakukan tanaman padi ibarat memperlakukan manusia. Peneliti dari Universitas Airlangga Ni Wayan Sartini dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Makna simbolik bahasa ritual pertanian masyarakat Bali” yang dipublikasikan dalam Jurnal Kajian Bali Volume 07, Nomor 02, tahun 2017 menuliskan Pantun mayusa berasal dari kata pantun ‘tanaman padi’ mayusa artinya ‘berumur, berusia’. Rangkaian ritual pertanian yang dilakukan ini sesuai dengan umur tanaman padi yaitu 12 hari, 17 hari, 27 hari, 35 hari, 24 hari dan 70 hari. Setiap peringatan terhadap usia tanaman padi tersebut dilakukan ritual sesuai dengan usia tanaman padi. Hal ini menunjukkan sebuah tradisi budaya memperlakukan tanaman padi ibara...
Guna mulai melakukan kegiatan mencangkul di Sawah, petani di Bali mengawali dengan ritual ngendag memacul. Ngendag memacul atau juga ada yang menyebut dengan ngeluku atau ngendagin merupakan ritual memohon ijin kepada ibu pertiwi untuk mulai mencangkul. Peneliti dari Universitas Airlangga Ni Wayan Sartini dalam sebuah artikel ilmiah berjudul “Makna simbolik bahasa ritual pertanian masyarakat Bali” yang dipublikasikan dalam Jurnal Kajian Bali Volume 07, Nomor 02, tahun 2017 menuliskan bahwa Ngendagadalah kata kerja yang bermakna ‘memulai’. Memacul artinya ‘mencangkul’. Ritual ngendag memacul adalah upacara untuk memulai mencangkul sawah dengan mencangkul tiga kali pengalapan ‘hulu sawah’ secara simbolis diiringi dengan mantra (wacana ritual) yang diucapkan oleh petani dan ditujukan kepada Dewi Sri yaitu ” Om Bhatari Sri wastu ya nama swaha”. Wacana ritual ini bermakna permohonan dan pem...