Kakawin Nitisastra dapat dipandang sebagai model pola asuh anak menurut perspektif budaya Bali. Dimana proses perlakuan anak dianggap sebagai kewajiban agama di samping kewajiban biologis. Demikian terungkap dalam artikel ilmiah berjudul “Citra dan Hak Anak Menurut Kakawin Nitisastra” yang ditulis oleh I Nyoman Suarka, A.A. Gede Bawa dan Komang Paramartha. Artikel tersebut dipublikasikan dalam Jurnal Kajian Bali, Volume. 06, Nomor. 02, tahun 2016.
Dalam artikel tersebut dituliskan bahwa Kakawin Nitisastra merupakan sebuah karya sastra Jawa Kuna yang diperkirakan dikarang pada abad ke-15 di Jawa. Teks Kakawin Nitisastra merupakan salah satu warisan budaya bangsa Indonesia yang menyimpan informasi dan pengetahuan tradisional tentang citra dan hak-hak anak.
Hak anak yang dijelaskan dalam teks Kakawin Nitisastra meliputi hak anak untuk tumbuh dan berkembang, hak untuk mendapatkan pendidikan, hak untuk mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan perlindungan dari berbagai tindakan kekerasan. Teks Kakawin Nitisastra seolah-olah mengajak para orang tua agar berbuat melebihi induk burung dalam hal memperhatikan, memelihara, dan memberi kasih sayang kepada anak-anak.
Perumpamaan antara hewan dan manusia dalam memperhatikan, memelihara, dan memberikan kasih sayang kepada anaknya bukan sekadar perumpamaan estetik. Perumpamaan tersebut dapat dipahami sebagai bentuk penyadaran bagi manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan yang lebih tinggi daripada hewan karena memiliki tiga pramana, yaitu bayu (daya gerak), sabda (daya suara), dan iděp (daya pikir).
Disebutkan dalam artikel tersebut bahwa pada usia lima tahun, orang tua patut memperlakukan anaknya sebagai pangeran yang disayang dan dimanjakan. Ada kemungkinan hal yang melatarbelakangi pola asuh anak semacam itu didasari pandangan bahwa anak yang berusia nol sampai lima tahun dipandang masih kurang akal. Pada usia sepuluh tahun, menurut teks Kakawin Nitisastra merupakan masa ideal bagi orang tua untuk memberikan pendidikan dan pelatihan kepada anak, terutama membaca, menulis, dan berhitung.
Lebih jauh, teks Kakawin Nitisastra menjelaskan bahwa pada usia enam belas tahun, orang tua patut memperlakukan anak sebagai sahabat karib. Pada usia enam balas tahun, anak sudah menuju kematangan fisik dan mental, tumbuh menjadi remaja dengan dimensi interpersonal yang muncul dalam tegangan antara ego identity dengan role confusion.
Setelah berusia dua puluh tahun, seorang anak sudah dianggap memiliki kematangan dalam asmara dan teks Kakawin Nitisastra memperbolehkan anak menikmati kenikmatan asmara. Teks Kakawin Nitisastra tampak tidak membatasi hak anak dalam memenuhi kebutuhan biologisnya. Teks Kakawin Nitisastra mengakui bahwa pada usia dua puluh tahun, anak-anak tumbuh menjadi remaja dewasa dengan perkembangan karakteristik seksual.
Pada fase tersebut, anak-anak pantas diberikan atau dijamin hak-haknya di bidang seksual. Namun demikian, teks Kakawin Nitisastra juga mengingatkan bahwa masa muda dan nafsu asmara dapat memengaruhi kesuksesan anak-anak dalam menempuh pengetahuan sehingga perlu dikendalikan.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja