 
            Berbicara mengenai sejarah peradaban Papua maka tidak akan terlepas dari peran para misionaris di masa lalu yang datang ke Papua untuk mengabarkan kabar baik dalam Injil. Selain mengajarkan tentang ajaran-ajaran Kristiani yang terdapat dalam Injil, para misionaris ini juga mengajarkan budaya dan tata-cara hidup modern kepada penduduk lokal Papua yang masih tergolong primitif. Bahkan, mereka dengan penuh kasih ikut masuk ke dalam kehidupan sehari-hari para penduduk lokal dan membaur di pergaulan sembari mulai mengenalkan ajaran-ajaran Injil serta gaya hidup modern. Sejarah mencatat bahwa masuknya Injil pertama kali di Papua adalah tonggak penting yang menandai pula munculnya peradaban modern di tanah Papua. Inilah sebuah sejarah yang terjadi sekitar 160 tahun lalu di sebuah pulau bernama Mansinam. Mansinam berada di Teluk Doreh yang merupakan bagian wilayah ibukota Papua Barat, Manokwari. Bila diamati, tidak ada yang istimewa dengan pulau berpenduduk tidak lebih dari 800 jiwa ini...
 
                     
            “Cuit..cuit..cuit…”, suara burung terdengar indah di pagi hari yang cerah itu. Selintas siulan burung lainnya pun membalas dengan bersahut-sahutan. Udara yang begitu segar diselingi angin semilir mengawali hari itu dengan nyamannya. Matahari pun tak mau kalah memamerkan pesonanya, hangat dan berpadu mesra dengan sejuknya sebuah desa di Lembah Baliem. Pagi itu sangatlah berkesan, terutama bagi wisatawan yang terbiasa dengan keramaian kota dan bisingnya metropolitan. Desa ini sangat damai dan tentram. Desa cantik ini bernama Desa Kurulu. Sebuah desa yang menjadi tempat tinggal bagi salah satu keluarga dari Suku Dani, suku terbesar di Papua yang terdapat di Lembah Baliem. Semua warga desa ini sebenarnya masih mempunyai hubungan keluarga. Mereka telah hidup sejak jaman purbakala dan tetap bertahan dengan budaya aslinya di tempat ini hingga jaman modern. Desa ini pun menjadi salah satu desa yang memiliki jumlah keluarga cukup besar, bila dibandingkan dengan des...
 
                     
            Melukis diatas lembaran kulit kayu, merupakan bagian dari kehidupan masyarakat yang tinggal di sebuah pulau di tengah Danau Sentani, Papua. Di pulau kecil yang bernama Asei ini, sedikitnya 70 kepala keluarga menetap sejak ratusan bahkan ribuan tahun lalu . Traveling ke Danau Sentani belum lengkap kalau membawa buah tangan atau cenderamata khas pulau besar Asei yaitu Lukisan lembaran Kulit Kayu. Selain bentuknya unik juga mengandung makna filosofi yang mendalam. Bagi masyarakat Sentani, Papua, seni lukis tidak sekadar sarana mengekspresikan nilai estetika. Lebih dari itu, seni lukis dengan lembaran kulit kayu sebagai media sarat simbol budaya setempat. Puyakha puyakhapu adalah sebutan Danau Sentani. Puyakha berarti ciri nyata dan puyakhapu bermakna kawasan air. Itu sebabnya Danau Sentani dikenal sebagai Negeri Puyaka atau Negeri Nyata. Danau jernih berkedalaman 50 hingga 70 meter itu hanya berjarak 36 kilometer dari ibu kota Jayapura. Ada sekitar 21 pulau yang menj...
 
            Bila Anda berkunjung ke Papua, mungkin pernah melihat tarian yang satu ini. Tari yospan namanya. Tari yang merupakan kepanjangan dari yosim pancar ini adalah tarian pergaulan yang sering dibawakan muda-mudi sebagai bentuk persahabatan. Tarian ini adalah penggabungan dua tarian dari rakyat Papua, yakni tari yosim dan tari pancar. Yosim adalah tarian yang mirip poloneis dari dansa barat. Tari ini berasal dari Sarmi, kabupaten di pesisir utara Papua, dekat Sungai Mamberamo. Ada pula sumber yang mengatakan jika yosim berasal dari wilayah Teluk Saireri (Serui, Waropen). Sementara, pancar adalah tari yang berkembang di Biak Numfor dan Manokwari pada awal tahun 1960-an. Pada awal kelahirannya, gerakan-gerakan dalam tari pancar seperti “akrobatik” di udara, yakni gerakan jatuh jungkir-balik dari langit. Gerakannya mirip daun kering yang jatuh tertiup angin – dari pesawat tempur jet Neptune buatan Amerika Serikat yang dipakai Angkatan Udara Belanda di I...
 
                     
            Noken Papua adalah hasil daya cipta, rasa dan karsa yang dimiliki manusia berbudaya dan beradat. Walaupun Noken berbentuk seperti halnya tas yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan berbagai macam benda dan peralatan, namun masyarakat Papua sendiri tidak menyebut noken sebagai tas. Bagi masyarakat Papua, Noken memiliki perbedaan yang sangat signifikan dengan tas yang diproduksi pabrik, baik secara bahan, jenis, model maupun bentuk Noken. Pada tahun 2011 Noken Papua dinobatkan oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Takbenda dari Indonesia yang membutuhkan pelindungan mendesak.
 
                     
            Menangis, mungkin itu yang lakukan saat kita didera kesedihan. Namun, berbeda dengan masyarakat Papua pedalaman, mereka memotong jari mereka sendiri untuk menunjukkan rasa kesedihan mereka. Terdengar sadis memang, namun itulah salah satu bentuk kekayaan budaya kita. Bagi mereka, tradisi ini disimbolkan sebagai bentuk kesedihan yang mendalam akan kehilangan anggota keluarga yang meninggal. Semakin banyak kita melihat warga Papua pedalaman memotong jarinya maka dapat diartikan telah banyak pula anggota keluarga yang mereka cintai telah meninggal dunia. Bahkan, masyarakat terdahulu Lembah Baliem, sebuah lembah pegunungan yang cukup terkenal, pernah ada tersingkap kasus dimana seorang ibu yang memotong jari anaknya yang baru lahir dengan cara menggigitnya karena ingin menghilangkan “kesialan” yang selama ini menderanya. Ia percaya dengan ia memotong jari anaknya maka kesialan yang selama ini ia alami dapat hilang.
 
                     
            Ikipalin adalah ritual memotong jari yang lumrah dilakukan oleh suku Dani di Papua. Pemotongan jari dilakukan sebagai tanda berkabung ketika ada sanak saudara yang meninggal.Suku Dani percaya kalau kesialan dalam sebuah keluarga dikarenakan meninggalnya salah satu anggota keluarga dapat dihilangkan dengan cara memotong jari. Tradisi ini sekarang sudah jarang dipraktekan. Bagi mereka, tradisi ini disimbolkan sebagai bentuk kesedihan yang mendalam akan kehilangan anggota keluarga yang meninggal. Semakin banyak kita melihat warga Papua pedalaman memotong jarinya maka dapat diartikan telah banyak pula anggota keluarga yang mereka cintai telah meninggal dunia. Bahkan, masyarakat terdahulu Lembah Baliem, sebuah lembah pegunungan yang cukup terkenal, pernah ada tersingkap kasus dimana seorang ibu yang memotong jari anaknya yang baru lahir dengan cara menggigitnya karena ingin menghilangkan “kesialan” yang selama ini menderanya. Ia percaya dengan ia memotong jari anaknya...
 
                     
            Sebuah rumah yang cukup besar tampak berdiri kokoh diantara pepohonan di pinggir sungai. Bentuknya memanjang dan memiliki pintu masuk lebih dari satu. Tangga sederhana pun berjajar rapi sebagai jalur masuk di depan pintu rumah. Pondasi kayu-kayu besi tertancap kuat membuat rumah itu terlihat megah dari kejauhan. Rumah itu adalah Jew, atau biasa dikenal sebagai rumah bujang suku Asmat. Alasan disebut sebagai rumah bujang adalah karena yang tinggal di rumah itu adalah kaum laki-laki yang belum menikah. Namun demikian, rumah panjang tersebut dapat digunakan oleh seluruh penduduk di sekitarnya, terutama oleh kaum pria karena dianggap sebagai pemimpin dalam keluarga masing-masing. Biasanya, Jew atau rumah bujang ini menjadi tempat berkumpul bagi para pemuka adat dan pimpinan desa suku Asmat. Mereka mengadakan rapat desa, penentuan strategi perang, pesta adat, penyambutan tamu, dan segala kegiatan yang sifatnya tradisi di dalam rumah adat khas Asmat ini. Setiap desa di suku...
 
                     
            Untuk urusan cinta dan kesetiaan, mungkin teman-teman bisa belajar dari Suku Dani di Papua. Saking cintanya mereka dengan pasangan atau keluarga, mereka rela memotong jari sebagai bentuk kesetiaan dan duka yang mendalam. Tradisi adalah hal yang harus dipatuhi oleh semua orang, tidak terkecuali Suku Dani yang mendiami Lembah Baliem di Papua. Diturunkan dari generasi ke generasi, hukum adat ditaati dan menjadi pedoman setiap insan Suku Dani. Adapun mereka juga memiliki tradisi potong jari atau disebut Iki Palek yang bikin geleng-geleng kepala. Saat teman-teman dari detik travel bersama rombongan Cultural Trip Mahakarya Indonesia berkunjung ke salah satu kampung di Distrik Kurulu, Wamena, tampak mama-mama Suku Dani yang memiliki tangan tanpa beberapa ruas jari. Rasa penasaran pun dibuat muncul dengan kondisi tersebut. Pemandu kami yang bernama Herriman Sihotang mengatakan, hal tersebut merupakan bagian tradisi adat dari Suku Dani tentang cinta dan kesetiaan akib...