Alkisah hiduplah seorang pengembara bernama Raden Budog. Ia dipercaya berasal dari Laut Selatan. Suatu ketika Raden Budog bermimpi bertemu dengan seorang gadis. Sangat cantik wajah gadis itu. Raden Budog sangat terpesona dan langsung jatuh hati. Ia lalu memutuskan untuk kembali mengembara untuk mencari keberadaan si gadis berwajah sangat jelita itu. Dengan menunggangi kuda kesayangannya, Raden Budog menuju arah utara. Anjing miliknya turut pula menemani kepergiannya. Mereka terus menuju arah utara hingga tiba di Gunung Walang. Di tempat itu pelana Raden Budog robek hingga ia tidak lagi menunggung kuda. Raden Budog menuntun kudanya dan anjingnya tetap setia menemani pengembaraan Raden Budog. Mereka akhirnya tiba di pantai Cawar. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Raden Budog berniat mandi di pantai yang indah itu. Setelah puas mandi dan membersihkan dirinya, Raden Budog berniat melanjutkan perjalanannya kembali. Diajaknya kuda dan anjingnya itu untuk ke...
Sultan Hasanudin Banten atau yang bernama lengkap Sultan Maulana Hasanuddin memiliki peran penting menyebarkan agama Islam di Banten. Ia pendiri kesultanan Banten, sekaligus menjadi penguasa pertama kerajaan islam di Banten . Sultan Hasanudin adalah putra kedua dari Nyi Kawunganten, putri dari Prabu Surasowan yang saat itu menjabat sebagai bupati Banten dan Syaikh Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan sebutan sunan gunung jati, salah satu dari walisongo. Sejak kecil Sultan Hasanudin telah diberi gelar Pangeran Sabakingking atau Seda Kikin oleh kakeknya, Prabu Surasowan. Begitu sang prabu wafat, kedudukannya diwariskan pada putranya yang bernama Arya Surajaya atau Prabu Pucuk Umun yang kemudian memerintah di wilayah Banten Girang, di bawah kekuasaan kerajaan Pajajaran. Pada masa itu agama yang diakui secara resmi masihlah hindu. Sementara itu, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon untuk menduduki posisi bupati Cirebon menggantikan pangeran Cakra...
Menilik sejarah Suku Baduy tentunya tidak terlepas dari asal-usul masyarakat etnis itu sendiri. Suku Baduy atau Badui, dan biasa juga menyebut masyarakatnya sebagai “urang Kanekes” disinyalir merupakan sebutan yang mengacu pada nama wilayah atau tempat asal mereka, yaitu Kanekes. Menurut pendapat lain, sebutan “Baduy” merupakan sebutan masyarakat luar untuk menyebut etnis tersebut yang diawali dari sebutan para peneliti Belanda untuk menamakan masyarakat nomaden (masyarakat yang hidup berpindah-pindah) di sekitaran gunung dan sungai Baduy yang terletak di bagian utara wilayah Kanekes. Suku Baduy termasuk ke dalam etnis Sunda yang tinggal di Kabupaten Lebak Banten . Hingga saat ini sebagian besar masyarakatnya, terutama yang terdapat di pedalaman Baduy, masih sangat menutup diri dari dunia luar serta memegang kuat nilai adat-istiadat secara turun-temurun. Asal-usul Suku Baduy Secara garis besar, ada tiga pendapat berbeda...
Sultan Ageng Tirtayasa yang ketika kecil ber-nama Abdul Fatah lahir pada tahun 1631. Ketika beliau baru lahir, kerajaan Banten diperintah oleh Pangeran MANGKUBUMI. Dalam memerintah kerajaan Banten, Pangeran Mangkubumi banyak melakukan kerjasama dengan VOC yang dikendalikan oleh penjajah Belanda. Tetapi setelah Abdul Fatah naik tahta pada tahun 1661 dan bergelar Sultan Ageng Tirtayasa, suasana kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat. Jika raja sebelumnya melakukan kerjasama dalam banyak hal dengan VOC, Sultan Ageng Tirtayasa adalah sebaliknya. Sultan Ageng Tirtayasa tidak suka sama sekali dengan sikap bangsa Belanda yang bersikap sebagai bangsa penjajah bagi kerajaan Banten. Sebagai bukti nyata bahwa Sultan Ageng Tirtayasa tidak suka de-ngan tingkah laku bangsa Belanda sebagai bangsa penjajah, dengan cara bergerilya Sultan Ageng Tirtayasa melakukan penyerangan-penyerangan terhadap VOC dan benteng-benteng Belanda di mana berada. Penyerang-an-penyerangan bergerilya...
Pangeran Tubagus Angke yang kelak bergelar Pengeran Jayakarta II Putra Pangeran Panjunan cucu syekh Datuk Kahfi menikah dengan Ratu Ayu Pembayun Fatimah putri Fatahillah atau Pangeran Jayakarta dan Ratu Winahon putri Sunan Gunung Djati, Tubagus Angke yang menggantikan Fatahillah sebagai Adipati Jayakarta/Jakarta dengan gelar Pengeran Jayakarta II. Pangeran Tubagus Angke putra Pangeran Panjunan memiliki Istri putri dari banten dikaruniai putra Pangeran Sungerasa / Pangeran Jayakarta III dan Ratu Mertakusuma menikah dengan Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad (1647 - 1651) Kesultanan Banten yang berputra Sultan Ageng Tirtayasa / Abdul Fattah (1651-1682). Pangeran Tubagus Angke bersaudara beda ibu dengan Pangeran Pamelekaran ayah dari Pangeran Santri Raja Kerajaan Sumedang Larang Pangeran Tubagus Angke panglima perang Kerajaan Banten (Tubagus atau Ratu Bagus adalah gelar kebangsawanan kerajaan Banten). Sekitar awal abad ke-16, Kerajaan Bantenmengirim pa...
Menceritakan tentang Ki Agung Ireng yang memimpin warga untuk pindah ke pinggir danau karena terjadi letusan gunung. Tetapi lama-kelamaan danau tersebut meluap dan menengelamkan desa, dan tumbuhlah bunga teratai putih yang harum di atasnya
Pernikahan memang satu upacara sakral yang diharapkan sekali seumur hidup. Bentuk pernikahan banyak sekali bentuknya dari yang paling simple, dan yang ribet karena menggunakan upacara adat. Seperti pernikahan adat Sunda ini, kekayaan budaya tatar Sunda bisa dilihat juga lewat upacara pernikahan adatnya yang diwarnai dengan humor tapi tidak menghilangkan nuansa sakral dan khidmat. Ada beberapa acara yang harus dilakukan untuk melangsungkan pernikahan, mulai dari lamaran dan lainnya. Ada Neundeun Omong (Menyimpan Ucapan): Yaitu, Pembicaraan orang tua atau pihak Pria yang berminat mempersunting seorang gadis. Dalam pelaksanaannya neundeun omong biasanya, seperti berikut ini : Pihak orang tua calon pengantin bertamu kepada calon besan (calon pengantin perempuan). Berbincang dalam suasana santai penuh canda tawa, sambil sesekali diselingi pertanyaan yang bersifat menyelidiki status anak perempuannya apakah sudah ada yang melamar atau atau masih (belum punya pacar) Pihak orang tua...
Asal Usul Desa Pringgoboyo Setelah mangkir dari jabatan Sultan Pajang, Joko Tingkir melarikan diri, menyamar menjadi tukang sapu di Masjid Baiturrahman Solo. Dulu sebelum Joko Tinggkir menjadi Sultan Pajang, Joko Tingkir pernah menjadi abdi Kiyai Abdurrahman pendiri Masjid Baiturrahman. Pada saat itu Joko Tingkir sudah tua, tidak ada orang yang dapat mengenalinya. Di suatu hari dalam suatu malam, Joko Tingkir bertapa di makam kakaknya. Dia bertapa di pinggir Bengawan Solo. Di sana Joko Tingkir berpikir, “Di mana tempat, agar hidup dapat tenang”. Hanya cita-citanya. Tiba-tiba di petapaan itu mucul buaya di hadapannya. Joko Tingkir berbicara dalam hati, “ Ya buaya, jika memang Gusti Allah menakdirkan sebab kematianku adalah kamu, maka makanlah aku, tetapi jika Gusti Allah membri hidayah melalui kamu, entah kemana hidup bisa tenang, mohon antarkan aku ke mana kau mau”. Tidak lama Joko Tingkir berfikir demikian, buaya itu menghilang. Agak lama...
Suatu hari, Raden Syarifuddin dipanggil ayahnya – Sunan Ampel. Sunan Ampel bermaksud memerintah anaknya untuk berdakwa ke wilayah Pulau Jawa, dikarenakan Raden Syarifuddin dianggap sudah menguasai ilmu agama Islam. “Anakku Raden Syarifuddin, Raden telah dewasa dan telah cukup ilmu keagamaanmu. Sudah saatnya, Raden berjuang di jalan Allah. Sebarkan agama Islam di wilayah Pulau Jawa ini,” titah Sunan Ampel pada suatu pagi. Mendengar hal tersebut, Raden Syarifuddin diam saja sambil berfikir, “ Bukankah beberapa santri ayahanda yang dikirim ke wilayah sebelah barat kota Gresik, semuanya meninggal terbunuh musuh,” pikiran Raden Syarifuddin mengenang 10 santri yang meninggal karena berdakwa. Mereka memang pandai mengaji dan ilmu agama, tetapi karena tidak memiliki ilmu kanoragan, kalah dengan para penduduk pemeluk agama Hindu dan Budha yang tidak senang akan datangnya agama Islam. “Hal tersebut mungkin s...