|
|
|
|
Sultan Ageng Tirtayasa Tanggal 28 Oct 2017 oleh Deni Andrian. |
Sultan Ageng Tirtayasa yang ketika kecil ber-nama Abdul Fatah lahir pada tahun 1631. Ketika beliau baru lahir, kerajaan Banten diperintah oleh Pangeran MANGKUBUMI. Dalam memerintah kerajaan Banten, Pangeran Mangkubumi banyak melakukan kerjasama dengan VOC yang dikendalikan oleh penjajah Belanda. Tetapi setelah Abdul Fatah naik tahta pada tahun 1661 dan bergelar Sultan Ageng Tirtayasa, suasana kerajaan berubah seratus delapan puluh derajat. Jika raja sebelumnya melakukan kerjasama dalam banyak hal dengan VOC, Sultan Ageng Tirtayasa adalah sebaliknya. Sultan Ageng Tirtayasa tidak suka sama sekali dengan sikap bangsa Belanda yang bersikap sebagai bangsa penjajah bagi kerajaan Banten.
Sebagai bukti nyata bahwa Sultan Ageng Tirtayasa tidak suka de-ngan tingkah laku bangsa Belanda sebagai bangsa penjajah, dengan cara bergerilya Sultan Ageng Tirtayasa melakukan penyerangan-penyerangan terhadap VOC dan benteng-benteng Belanda di mana berada. Penyerang-an-penyerangan bergerilya, dilakukan kepada penjajah Belanda melalui darat dan laut.
Selain melakukan penyerangan, untuk melindungi rakyatnya Sultan Ageng Tirtayasa juga membangun kekuatan-kekuatan perdagang-an dalam kerajaan. Sebaliknya kekuatan perdagangan yang dimiliki oleh para penjajah, baik secara langsung maupun secara tidak langsung senga-ja dirusak. Dan sebagai puncaknya, pada tahun 1666 kapal dagang VOC sengaja dirampasnya. Perkebunan tebu milik kongsi dagang VOC juga dirusak. Lebih daripada itu, raja Banten pun tidak mau menerima utusan VOC yang mau melaksanakan misinya ke Banten. Akibatnya, orang-orang Belanda yang berada di wilayah Banten merasa tidak aman atau terancam. Akhirnya menghadapi kenyataan seperti itu secara diam-diam orang-orang Belanda yang berada di wilayah Banten beramai-ramai meninggalkan tempat.
Ketika orang-orang Belanda sudah tidak ada yang tinggal di wilayah Banten, kolonial Belanda mulai menggunakan akal liciknya. Oleh kolonial Belanda, pelabuhan Banten diblokirnya. Hal ini tentu saja berakibat pada merosotnya dunia perdagangan di wilayah kerajaan Banten.
Memperoleh perlakuan seperti ini Sultan Ageng Tirtayasa ter-paksa dengan cepat mengambil langkah. Pertama-tama yang dilakukan adalah melakukan negosiasi dengan pihak kolonial. Kedua belah pihak segera melakukan perundingan. Dua kepentingan yang berbeda antara kolonial Belanda dan Sultan Ageng Tirtayasa mewakili masyarakat Banten diupayakan untuk dicarikan jalan keluarnya.
Semula jalannya perundingan berlangsung sulit. Masing-masing pihak mempertahankan kehendaknya. Kolonial Belanda berkehendak per-dagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku dan Malaka yang ber-pusat di pelabuhan Banten menjadi monopoli VOC. Sementara itu Sultan Ageng Tirtayasa berkehendak lain. Tetapi dalam perundingan itu akhir-nya disepakati dengan keputusan: kolonial Belanda tetap melakukan per-dagangan rempah-rempah di kepulauan Maluku dan Malaka dengan pusat pelabuhannya di Banten. Tetapi pihak Belanda harus mau membayar ganti rugi kepada kerajaan Banten. Dan selanjutnya masing-masing pihak secara konsekuen mematuhi ketentuan yang disepakati.
Sejak diberlakukannya kesepakatan itu, di bawah kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa perdagangan di Banten berkembang pesat. Perkembangan perdagangan Banten terkenal sampai ke Persia, Mekah, Siam dan Cina. Rakyat Banten di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa pun hidup dalam keadaan aman tenteram dan sejahtera.
Tetapi ketentraman dan kesejahteraan rakyat Banten di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa itu tidak berlangsung lama. Pada tahun 1676, terjadilah ketegangan dan beda pendapat antara Sultan Ageng Tirtayasa dengan putra sulungnya bernama Sultan Haji. Sultan Ageng Tirtayasa terkenal anti penjajah Belanda, sebaliknya Sultan Haji memilih pro dengan penjajah Belanda. Akibat perbedaan pendapat antara sang orang tua dan sang putra ini oleh Belanda dapat dimanfaatkan. Keduanya berhasil diadu domba. Dan terjadilah ketegangan antara ke-lompok Sultan Ageng Tirtayasa dengan kelompok Sultan Haji. Sehingga pada puncaknya tepat tanggal 27 Februari 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa menyerang pasukan Sultan Haji yang ada di Sarasowan. Karena memang Sultan Haji bersatu dengan kolonial Belanda, maka dalam penyerangan ini Sultan Haji dibantu Belanda untuk mem-pertahankan diri. Bahkan pada akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa berhasil ditangkap kemudian dimasukkan dalam penjara. Sementara setelah Sul-tan Ageng Tirtayasa berada dalam penjara, Belanda dan Sultan Haji sege-ra melakukan perjanjian yang isinya Sultan Haji mengakui kekuasaan kolonial Belanda di wilayah Banten. Perjanjian ini berlangsung pada bulan Agustus 1682. Selanjutnya pada tahun 1683 Sultan Ageng Tir-tayasa wafat di penjara. Jenazahnya oleh segenap rakyatnya diakui seba-gai mati sahid dan dimakamkan di komplek pemakaman para raja, yaitu di sebelah utara MASJID AGUNG kota Banten.
http://indodongeng.blogspot.co.id/2013/11/sultan-ageng-tirtayasa.html
Gambus
Oleh
agus deden
| 21 Jun 2012.
Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual... |
Hukum Adat Suku...
Oleh
Riduwan Philly
| 23 Jan 2015.
Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal... |
Fuu
Oleh
Sobat Budaya
| 25 Jun 2014.
Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend... |
Ukiran Gorga Si...
Oleh
hokky saavedra
| 09 Apr 2012.
Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai... |