×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

SATRA LISAN

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Jawa Timur

Asal Daerah

LAMONGAN

MITOS ORANG PACIRAN TIDAK BOLEH MAKAN IKAN CUCUT

Tanggal 29 Oct 2017 oleh Rasmian .

Suatu hari, Raden Syarifuddin  dipanggil ayahnya – Sunan  Ampel. Sunan Ampel bermaksud memerintah anaknya untuk berdakwa ke wilayah Pulau Jawa, dikarenakan Raden Syarifuddin dianggap sudah menguasai ilmu agama Islam.

“Anakku Raden Syarifuddin, Raden telah dewasa dan telah cukup ilmu keagamaanmu. Sudah saatnya,  Raden berjuang di jalan Allah. Sebarkan agama Islam di wilayah Pulau Jawa ini,” titah Sunan Ampel pada suatu pagi.  Mendengar hal tersebut,  Raden Syarifuddin diam saja sambil berfikir, “ Bukankah beberapa santri ayahanda yang dikirim ke wilayah sebelah barat kota Gresik, semuanya meninggal terbunuh musuh,” pikiran Raden Syarifuddin mengenang  10 santri yang meninggal karena berdakwa. Mereka  memang pandai mengaji dan ilmu agama, tetapi karena tidak memiliki ilmu kanoragan, kalah dengan para penduduk pemeluk agama Hindu dan Budha yang tidak senang akan datangnya agama Islam.

“Hal tersebut mungkin saja terjadi pada diriku,’’ pikirnya kemudian.

“Mengapa engkau berpikir demikian  anakku?” Bukankah pengetahuanmu, ilmumu lebih tinggi dari kesepuluh santri yang wafat karena berjuang di jalan Allah. Apalagi Allah telah menjanjikan surga bagi orang-orang yang berjuangan jalan agama. Mereka telah mati sahid, tempat yang terbaik bagi mereka adalah surga.”

Raden Syarifuddin kaget, ternyata ayahnya mampu membaca apa yang ia pikirkan. “Ya, Ayah, ke manakah sebaiknya saya harus berdakwa?” jawabnya sambil tersentak dari kursi kecil di ruang tamu di pagi yang cerah itu.

Bismilahirrahmaanirrahim,  kuatkan niatmu,” tambah Sunan Ampel.

Sendiko dawuh Ayanda.”

“Ayah akan salat Istikharah terlebih dahulu. Besok pagi kita ketemu lagi di sini.”

Pagi itu, embun tersenyum. Mentari pagi bersinar penuh kegirangan. Beberapa burung perkutut bersahutan. Sunan Ampel telah tiba  di ruang tamu sejak waktu telah menunjuk bahwa umat muslim yang ingin diberkahi rizeki dan umurnya disunahkan menjalankan salat dua rakaat. Seiring perjalanan matahari pagi itu, Sunan Ampel baru saja menyelesaikan sunahnya di pagi ini. Dua rakaat, dua rakaat salam. Kemudian berdoa untuk anak-anaknya Raden Syarifuddin, dan anak-anaknya yang lainnya.

Raden Syarifuddin atau juga disebut Raden Qosim, merupakan pemuda yang cerdas. Di kalangan sebayanya ia dikenal sebagai pemuda yang dermawan. Ia suka memberi makanan, dan pakaian fakir miskin di sekitar rumahnya bersama teman sebayanya. Pantas ia mendapat julukan Raden Qosim yang bermakna ganteng, pembagi.

“Ayah, saya siap jenengan  perintahkan ke mana saja, asalkan  untuk berjuang di jalan Allah,” tiba-tiba saja Raden  Syarifuddin memecahkan suasana hening di ruang tamu itu. “Sudah kukira kamu akan mengatakan hal itu,” sahut Sunan Ampel beberapa detik kemudian.

“Pergilah ke wilayah sebelah barat Gresik. Berangkatlah besok sebelum matahari tergelincir ke barat. Sebagai pelengkap ilmumu bergurulah ke Sunan Giri di Giri Kedaton. Pergilah menggunakan perahu yang telah disiapkan oleh beberapa santri kemarin.”

“Mengapa harus menggunakan perahu, ayah?”

“Dengan perahu, Raden lebih aman.”

Maka, sore itu, sebelum sinar matahari tenggelam di ufuk barat, Raden Syarifuddin telah siap mendayung perahu kecil yang terbuat dari kayu bersama beberapa santri yang lain. Perahu kecil itu meluncur perlahan di air Kalimas. Dari Kalimas, perahu menyusur dan berbelok ke kiri,  keluar menuju Giri Kedaton. Sambil terus mengayuh mereka berdoa kepada Allah SWT, minta keselamatan.

Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, wa laa haula wa laa quwwata illa billah.  Allahuuma inniy a’uudzu bika an adlilla au udlalla, au azilla au uzalla, au adzlima au udzlima, au ajhala au yujhala ‘alayya.”(Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, dan tidak ada daya maupun kekuatan kecuali dengan Allah.  Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menjadi sesat dan disesatkan, atau dari tergelincir dan digelincirkan, atau dari menganiaya dan dianiaya, atau dari menjadi bodoh dan diperbodoh).

Selain itu, Raden Syarifuddin juga berdoa “Allahumma antash shaahibu fis safar, wal khaliifatu fil ahli.  Allahumma inniy ‘audzu bika minadl dlabnah fis safar, wal kaabati fil munqalabi; Allahumma athwil lanaal ardla, wa hawwin ‘alainaas safar.” (Ya Allah, Engkaulah sebagai teman dalam perjalanan, sebagai pengganti bagi keluarga.  Ya Allah, aku berlindung dari berteman dengan orang yang tidak berguna dalam perjalanan, dan beroleh kekecewaan di waktu pulang nanti.”  Ya Allah, dekatkanlah bagi kami jarak Bumi, dan mudahkanlah perjalanan kami). 

Setelah doa itu, ia juga berkomat-kamit, “Alhamdulillah, subhaanal ladzii sakhkhara lanaa, haadza wa maa kunnaa lahu muqriniin, wa inna ila rabbinaa lamunqalibuun.”(Segala puji hanya miliki Allah, Maha Suci Allah yang telah menjinakkan bagi kami kendaraan ini, padahal sebelumnya kami takkan mampu menguasainya, dan sungguh kami nanti akan pulang kembali kepada Tuhan kami”).

Sambil terus mengayuh perahunya, Raden Syarifuddin bersolawat.  

Angin berhembus sepoi, sinar rembulan berkelap-kelip menatap air laut yang bening. Ia merupakan satu-satunya penerang dalam perjalanan malam itu. Sesekali rombangan berpapasan dengan penduduk pencari ikan. Mereka menyapa seperti layaknya teman pencari ikan.

Along,” katanya dalam bahasa Jawa.

Tanpa mengerti yang dimaksud, Raden Syarifuddin menjawab, “Ya.” Sambil  bosa-basi ia melanjutkan jawabannya, “Sampean dapat ikan apa saja.” Para nelayan pun menjawab seadanya, “Banyak.”

“Moga saja mereka tidak mengerti kita Raden,” sela salah satu santri yang duduk di ujung perahu.

“Amin”

Sebelum subuh tiba, perahu telah mendarat. Bulan sabit mengiringi langkah Raden Syarifuddin menuju rumah Sunan Giri. Setelah semua selesai jamaah salat Subuh, Sunan Giri menemui Raden Syarifuddin yang tidak lain adalah  saudaranya sendiri.

Maka Raden Syarifuddin menyampaikan maksud kedatangannya.  Banyak hal yang disampaikan Sunan Giri kepada adiknya sebelum berjuang menyampaikan agama Allah. Berbagai  pengalaman berdakwa di Giri Kedaton, sampai bagaimana menghadapi ilmu kanoragan.

“Sesampai di sana, kamu akan berhadapan dengan masyarakat pesisir, yang memiliki watak keras. Sebagian dari mereka merupakan pemeluk agama Hindu dan Budha yang setia. Karena itulah, berdakwalah dengan cara bijaksana. Seperti pepatah Jawa, “Kenek iwake, ojo butek banyune.”

Setelah dianggap cukup singgah di Giri Kedaton, Raden Syarifuddin melanjutkan perjalanan.

“Berangkatlah melalui jalur laut, gunakan perahu yang kuat dan kokoh. Semoga perjuangan kamu berhasil di sana,” pesan Sunan Giri kepada Raden Syarifuddin.

Perjalanan Raden Syarifuddin ke wilayah barat dilakukan pada malam hari dengan berjalan kaki. Namun ia tidak langsung menuju ke barat, melainkan berjalan ke utara menuju pantai di utara Wilayah Giri Kedaton.

Salah satu santri yang ikut rombongan bercerita tentang perjalanan beberapa santri angkatan sebelumnya yang  meninggal sebab dibunuh orang-orang yang tidak senang terhadap perkembangan Islam di wilayahnya.

Sesampainya di wilayah pantai, para santri dan Raden Syarifuddin mencari perahu. Beberapa kali Raden Syarifuddin berkomunikasi kepada nelayan agar ia mendapat pinjaman atau persewaan atau mungkin ada nelayan yang siap mengantar perjalanan mereka. Sejauh ini tidak ada nelayan yang bisa membantunya. Raden Syarifuddin pun berfikir, “Mengapa demikian adanya.” Terlintaslah ide, “ Ini tentu karena pakaian kita yang berbeda dari mereka.” Oleh sebab itu, Raden Syarifuddin dan santri-santrinya pun  berganti pakaian ala para nelayan.

Pada hari yang ke-3 perjalanan di daerah pesisir Pantai Gresik tersebut, Raden Syarifuddin bertemu seorang nelayan. Dalam pertemuan itu Raden Syarifuddin menyampaikan maksudnya. Ternyata nelayan tersebut bersedia menolong Raden Syarifuddin.

            “Baiklah Raden, Raden tidak perlu meminjam atau membeli perahu itu. Bawa saja, anggap perahu tersebut sebagai ikatan persaudaraan kita,” kata nelayan tersebut di suatu sore.

“Terima kasih, semoga kebaikanmu dibalas yang Mahakuasa.”

“Jika Raden punya waktu ke Surabaya, singgahlah ke gubuk kami.”

Di pagi harinya, tak disangka Raden Syarifuddin, ternyata nelayan tadi telah menyiapkan biduk yang cukup baik, nelayan baik hati sendirilah yang menjadi  nahkodanya.

“Biduk yang akan dipakai berlayar Raden, merupakan perahu kecil terbuat dari kayu. Ukuran parahu ini tidak terlalu besar, kira-kira  jika orang dewasa melangkah sekitar 5-10 langkah. Bentuknya tidak terlalu cekung, tetapi juga tidak terlalu datar. Di bagian belakang perahu, terdapat atap yang juga terbuat dari kayu. Atap ini berbentuk seperti atap rumah joglo. Sedang di bagian depan terdapat layar berbentuk seperti daun  pisang yang dipotong. Di bagian kiri kanan layar terpasang sebuah bilah kayu. Panjangnya kurang lebih sama dengan panjang perahu. Tiang layar  yang terbuat dari kayu berdiri tegak berjarak satu langkah menuju belakang perahu. Ia bertugas menahan layar tersebut tidak roboh ditiup angin. Di bagian belakang perahu  terdapat bilah kayu jati  benbentuk seperti tangan yang dipakai sebagai dayung. Dayung  yang gagangnya sangat halus menandakan perahu ini sudah lama dipakai, sebab setiap hari selalu diamplas tangan nahkoda perahu.”

Pagi yang cerah itu, Raden Syarifuddin yang terkenel pula dengan sebutan Raden Qosim mulai meninggalkan pantai pesisir Giri Kedaton. Terik matahari memberi semangat Raden Syarifuddin dan santri-santrinya berjuang menegakkan kalimat Allah. Peluh keringat mengiringi satu per satu gayung yang setia menemani perjalan suci itu.

Pada dayungan pertama, Raden Syarifuddin berdoa “Allahumma antash shaahibu fis safar, wal khaliifatu fil ahli.  Allahumma inniy ‘audzu bika minadl dlabnah fis safar, wal kaabati fil munqalabi; Allahumma athwil lanaal ardla, wa hawwin ‘alainaas safar.” (Ya Allah, Engkaulah sebagai teman dalam perjalanan, sebagai pengganti bagi keluarga.  Ya Allah, aku berlindung dari berteman dengan orang yang tidak berguna dalam perjalanan, dan beroleh kekecewaan di waktu pulang nanti.”  Ya Allah, dekatkanlah bagi kami jarak bumi, dan mudahkanlah perjalanan kami). 

Pada dayungan berikutnya, ia memanjatkan doa lain, “Alhamdulillah, subhaanal ladzii sakhkhara lanaa, haadza wa maa kunnaa lahu muqriniin, wa inna ilaa rabbinaa lamunqalibuun.”(Segala puji hanya miliki Allah, Maha Suci Allah yang telah menjinakkan bagi kami kendaraan ini, padahal sebelumnya kami takkan mampu menguasainya, dan sungguh kami nanti akan pulang kembali kepada Tuhan kami”).

Sedangkan pada dayungan kesekian kalinya, Raden Qosim selalu mengingat nama Rasul. Sesekali ia beristighfar, kadang pula membaca tahlil tahmid. Di beberapa dayungan yang lain, ia berdiskusi dengan santrinya tentang strategi berdakwa jika kelak sudah sampai tujuan.

Layar terus berkembang. Angin yang menerpa layar membantu perahu tersebut terus melaju. Sesekali biduk naik turun ombak. Menyusuri Laut Jawa yang bersahabat. Sesekali angin bertiup kencang, sesekali bertiup sepoi.

“Bulan-bulan seperti sekarang ini, biasanya cuaca tidak menentu Raden,” tiba–tiba sang nahkoda menjelaskan. Ia melanjutkan, “Bisa saja secara mendadak  cuaca berubah memburuk. Hal itu sangat mengganggu perjalanan kita. Jika tidak ada aral melintang,  kita sampai di Tuban dua hari ke depan.”

“Bagaimana cuaca bisa berubah seperti itu?”

“Ya, sebab bulan-bulan seperti sekarang merupakan awal musim penghujan. Di awal musim penghujan, sering terjadi angin kencang atau yang sering disebut sebagai badai. Kecepatan angin bisa menghancurkan, menenggelamkan kapal-kapal besar. Oleh karena itulah, bulan-bulan seperti ini jarang ada nelayan yang terjun ke laut. Kalau pun ada,  mereka mengambil jalur yang aman, seperti jalur yang kita lalui ini. Jalur ini tidak terlalu ke tengah laut, tapi juga tidak terlalu ke tepi. Akan tetapi biasanya ikan yang mereka dapatkan juga tidak terlalu banyak. Ikan-ikan yang ada di sekitar perjalanan kita juga tidak besar. Ya, penghasilan mereka menjadi berkurang.”

“Oh, oh, begitu. Tidak salah ketika saya minta bantuan mengantarkan kami ke Tuban, tidak ada yang bersedia. Kami berpikir karena pakaian kami yang berbeda.”

“Tidak Raden. Sebagian besar penduduk yang tinggal di sekitar Giri Kedaton adalah muslim. Kami banyak mendapat pelajaran beragama dari Sunan Giri.”

Pada saat itulah, mendung tiba-tiba melintas. Angin berhembus dengan kecepatan tinggi. Matahari tidak lagi kelihatan, sebab awan tebal semakin banyak menutupi langit. Dalam hitungan jari hujan turun dengan deras.

Sebelum hujan turun angin kencang, dan petir menyambar-nyambar di atas kepala.  Semua penumpang biduk tersebut kelihatan tegang. Raden Qosim berbeda. Ia segera mengeluarkan tasbih, menengadahkan tangannya.

“Ayo ikuti aku.”

Semua berdoa mengikuti Raden Qosim.

”Allahumma innii as’aluka khairaha  wa khaira maa fiihaa wa khaira maa ursilat  bihi wa a’udzu bika min syarriha wa syarri maa fiihaa wa syarri maa ursilat bihi.”  “(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, dan kebaikan yang ada padanya, dan kebaikan apa yang dibawanya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya, dan kejelekan yang ada padanya, dan kejelekan apa yang dibawanya).”

“Allahumma Laqihan Laa ‘aqiima.” (Ya Allah, datangkanlah angin ini dengan membawa air bukan angin  tanpa membawa air)”

Subhanalladzi sabbahat lahu’’ (Maha suci Allah yang petir bertasbih kepada-Nya).

Subhaanalladzi yusabbihur ra’du bihamdihi wal malaaikatu min khiifatihi’. “(Maha Suci Allah yang halilintar bertasbih dengan memuji-Nya, begitu juga para malaikat, karena takut kepada-Nya).” 

Angin bertiup amat kencang. Arah angin berlawanan dengan arah biduk berjalan. Terpaannya mengenai muka, amat terasa seperti tertampar. Layar biduk meliuk-liuk. Sedangkan air laut menampar ke tubuh biduk. Airnya membelah, percikannya melompat ke dalam biduk dan sebagian ke muka penumpangnya. Pecahan air berwarna putih. Kadang sampai berbentuk kabut mengganggu jarak pandang nahkoda. Suaranya gemuruh menyayat hati, bahkan menakutkan.

Sesekali biduk seakan terbang. Timbul, tenggelam mengikuti arah gelombang.

“Inikah rasanya kiamat,” pikir para santri. Para santri mengucapkan takbir.

“Allahu akbar.”

“Allahu akbar.”

“Allahu akbar,” bersahut-sautan.

Muka para santri masam.

“Mencekam.”

“Menakutkan.”

Raden Qosim masih terus berdoa. Tangannya tengadah ke atas. Mulutnya terus komat-kamit. Jari-jemarinya memutar tasbih.

Sementara itu, biduk bergoyang  ke kanan ke kiri. Beberapa kali diterpa ombak. Biduk masih bisa bertahan. Pada terpaan yang ke sekian kalinya biduk menabrak karang. Suaranya mengagetkan. “Brak,” disertai suara gemuruh  ombak dan angin kencang.

“Allahu akbar.”

“Allahu akbar.”

“Allahu akbar,” bersahut-sautan histeris.

Raden Qosim dan santri-santrinya terpental, berhamburan ke laut. Raden Qosim terjun ke bagian kiri biduk. Santri yang lain ada yang terpelanting ke belakang, ada pula melompat ke kanan. Sang Nahkoda melompat ke kanan biduk.

Sementara itu, perlahan air masuk ke dalam biduk. Beberapa waktu kemudian, biduk  tenggelam. Beberapa langkah dari jarak santri dan Raden Qosim berenang, biduk mengapung.

Raden Qosim memerintahkan santri-santrinya  mendekati bangkai biduk.

“Pegangi bangkai parahu ini!”

Dengan mengerahkan segala tenaga, napas, dan kemampuan, para santri berenang. Mereka berenang dengan susah payah menuju bangkai biduk. Beruntunglah dayung dan pecahan biduk dapat diraih seluruh awak.

Untuk sementara mereka dapat bertahan.  

Angin badai terus melaju, tidak menghiraukan kondisi para awak biduk yang timbul tenggelam di tengah laut. Suaranya, “Hus, hus, hus.” Memekakkan telinga. Mendung hitam menyelimuti lautan. Ombak bergulung bergantian. Derunya sesekali pecah menghantam bibir pantai.

Arus air laut yang deras, terus mengantarkan awak biduk yang baru saja pecah. Entah ke mana arahnya. Sambil berpegangan, Maka berdoalah Raden Qosim kepada Allah Azawajalla.

“Dialah Tuhan yang maha Kuasa. Dilah zat yang patut disembah. Dialah zat yang maha Penolong. Dilah zat yang maha Pengasih lagi Penyayang. Dialah yang maha Pemberi.”

Raden Qosim kembali mengingat kisah Nabi Yunus.

“Pada saat itu, ombak bergemuruh menyapu samudra. Tak terkecuali perahu itu, sehinggga semua awak perahu mulai panik sebab mereka telah merasakan genangan air masuk di perahu mereka”

Sementara itu, di belakang perahu yang sedang terombang-ambing, seekor paus besar yang menganga mulutnya telah siap menerkam siapa saja yang dekat dengannya.

Entah siapa yang memerintah,  ikan paus itu bergerak menuju permukaan laut. Mungkin saja ikan paus itu menaati perintah dari Allah SWT. Ia segera menuju permukaan laut. Ia mulai membuntuti  perahu itu sebagaimana perintah yang diterimanya. Angin samudra yang keras teterus bertiup tak pernah henti. Suaranya menusuk-nusuk sembilu. Kemudian nahkoda mengisyaratkan dengan tangannya agar beban perahu dikurangi. Angin pun semakin bertiup kencang.

Sementara itu, Nabi Yunus menggigil ketakutan. Keringat dinginnya bercucuran. Dalam tidurnya beliau melihat segala sesuatu berguncang di kamarnya. Beliau berusaha berdiri tegak, tetapi tidak mampu.

Nahkoda berteriak,"Sungguh angin kencang bertiup tidak seperti biasanya. Dalam kapal ini seseorang lelaki yang salah sehingga angin ini bertiup dengan kencang. Kita akan melakukan undian pada semua awak. Barang siapa yang namanya ke luar kami akan membuangnya ke lautan."

Nabi Yunus selamat atas izin Allah.

Raden Qosim berdoa.

“ Wahai Pengusa alam semesta”

“Wahai Tuhan yang Bijaksana”

“Wahai zat Yang Memulai dan zat Yang Mengakhiri”

“Wahai Yang Maha Hidup”

“Wahai Pencipta jagat raya.”

“Hanya kepadamulah kami berserah diri. Kuserahkan nasib kami kepada-Mu. Jika memang perjalanan ini harus diakhiri di laut ini, matikanlah dengan keridhoaan-Mu. Jika Engkau meridhoi perjalanan ini selamatkanlah kami, seperti Engkau menyelamatkan Nabi  Yunus.”

Doa lain yang diingatnya segera  meluncur dimulut Raden Qosim.

“Laa ilaaha illa Anta, Subhanaka, inni kuntu minadzh dzhalimiin

“Laa ilaaha illa Anta, Subhanaka, inni kuntu minadzh dzhalimiin

Ribuan kali, mengalirlah air mata Raden Qosim ketika melihat dua santrinya mulai menggigil kedinginan. Bibirnya kebiruan. Sorot matanya kelelahan.

Allahu akbar”

“Allahu akbar”

 “ La khaula waquata illah billah.”

Di saat yang hampir bersamaan, ia teringat ayahnya tercinta. Maka berdoalah ia dengan bertawasyul melalui ayahnya.

Raden Qosim atau yang kemudian mendapat gelar Sunan Drajat tersentak melihat kedatangan seekor Cucut. Warnanya kelabu gelap di bagian punggung dan lebih terang di bagian perutnya. Ikan cucut ini mempunyai bentuk torpedo disertai ekor yang kuat. Tulang punggungnya melanjut hingga ke ekor bagian atas. Ia  merupakan perenang-perenang yang hebat, berkelebat mengitari bangkai biduk yang pecah. Martil di kepalanya demikian lebar sehingga menyerupai sayap, dari atas terlihat seperti bentuk sayap atau mata panah, dengan tonjolan kecil di depan hidungnya.

Tubuh yang tak seberapa besar; panjang tubuhnya tidak melebihi lima sampai enam langkah manusia.  Namun demikian ia mempunyai gigi banyak, tajam dan runcing serta berbaris condong ke dalam hingga mangsa yang di terkamnya sukar melepaskan diri.

Melihat matanya yang tajam, Raden Qosim dan santrinya sangat ketakutan.

“Jangan takut,” sang Cucut berbicara seakan tahu apa yang sedang dipikirkan Raden Qosim dan para santrinya.

“Naiklah ke punggungku. Aku diutus untuk menyelamatkan kalian.”

“Kami semua?”

“Ya.”

“Segeralah sebelum terlambat”

Mereka semua naik punggung Cucut. Meski ombak besar, badai terus menerjang, hujan terus mengguyur, Cucut melaju menuju bibir pantai. Ia berenang dengan kecepatan tinggi. Sampailah Raden Qosim di daerah yang kemudian diberi nama Ciciran atau yang kemudian disebut Paciran.

Setelah kejadian itulah, Raden Qosim bersumpah agar anak turunnya tidak makan ikan cucut.

Sejak itulah, orang Paciran tidak makan ikan cucut. Jika mereka makan ikan Cucut, maka ia akan terkena penyakit kulit: gatal-gatal sampai dengan lepra.

Di hari kemudian, Raden Qosim atau Raden Syarifuddin berdakwa di Wilayah  Desa Drajat, Kecamatan Paciran, Lamongan dan akhirnya mendapat sebutan Sunan Drajat. Gelar lain yang disandang Raden Qosim adalah Sunan Mayang Madu. Gelar ini diperoleh dari penguasa Demak

------------------------------------------------00000--------------------------------------------------------------

Dikisahkan oleh H Ahmad Khusari, Pertunjukan Kentrung Semalam Suntuk dalam Rangka Malam Tasyakuran Peringatan Tujuh Belas Agustus 2015 di Desa Sekaran RT 19/RW 03, Kec. Sekaran, Kab. Lamongan yang diselenggarakan pada tanggal 5 Agustus 2015

Ditranskripsi dan diterjemahkan oleh Rasmian, Desa Sekaran Kab. Lamongan

DISKUSI


TERBARU


Bakso Titoti Wo...

Oleh Deni Andrian | 10 Jan 2025.
Makanan

Bakso titoti wonogiri gitu gaes ya hahahahhahahahahah

Tempong khas Te...

Oleh Deni Andrian | 10 Jan 2025.
Makanan

Bahan-bahan 12 porsi 1 papan tempe besar 1 genggam daun kemangi Bumbu Halus: 3 siung bawang putih 5 buah bawang merah 5 buah cabai rawit merah (op...

Mpaa Sere (Tari...

Oleh Aji_permana | 07 Jan 2025.
Tradisi

Mpaa Sere adalah tarian tradisional yang bertujuan untuk menyambut tamu penting sebagai bentuk penghormatan, sambil sesekali memperlihat ketangkasan...

Mpa'a Oro Gata

Oleh Aji_permana | 29 Dec 2024.
Tradisi

Mpa'a Oro Gata adalah salah satu permainan tradisional dari Bima, Nusa Tenggara Barat, yang diwariskan dari generasi ke generasi. Secara harfiah, ist...

Mpaa Kabanca (T...

Oleh Aji_permana | 28 Dec 2024.
Tradisi

Mpaa Kabanca adalah tradisi unik di Bima yang melibatkan atraksi di atas kuda. Dalam tradisi ini, peserta saling mengejek dan memperlihatkan kemampua...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...