Menilik sejarah Suku Baduy tentunya tidak terlepas dari asal-usul masyarakat etnis itu sendiri. Suku Baduy atau Badui, dan biasa juga menyebut masyarakatnya sebagai “urang Kanekes” disinyalir merupakan sebutan yang mengacu pada nama wilayah atau tempat asal mereka, yaitu Kanekes. Menurut pendapat lain, sebutan “Baduy” merupakan sebutan masyarakat luar untuk menyebut etnis tersebut yang diawali dari sebutan para peneliti Belanda untuk menamakan masyarakat nomaden (masyarakat yang hidup berpindah-pindah) di sekitaran gunung dan sungai Baduy yang terletak di bagian utara wilayah Kanekes.
Suku Baduy termasuk ke dalam etnis Sunda yang tinggal di Kabupaten Lebak Banten. Hingga saat ini sebagian besar masyarakatnya, terutama yang terdapat di pedalaman Baduy, masih sangat menutup diri dari dunia luar serta memegang kuat nilai adat-istiadat secara turun-temurun.
Asal-usul Suku Baduy
Secara garis besar, ada tiga pendapat berbeda mengenai asal mula sejarah Suku Baduy. Yaitu pendapat para ahli sejarah, kepercayaan turun-temurun penduduk setempat, dan analisis kesehatan yang dilakukan dokter Van Tricht pada tahun 20-an.
Menurut pendapat para ahli dengan mengaitkan beberapa bukti sejarah seperti penemuan prasasti, penelusuran catatan para pelaut Tiongkok dan Portugis, serta folklore berupa cerita rakyat tentang tatar Sunda, disimpulkan bahwa masyarakat Baduy memiliki hubungan erat dengan kerajaan Pajajaran di masa lampau.
Versi pertama berdasar bukti sejarah menyebutkan bahwa Suku Baduy merupakan komunitas orang-orang pelarian dari kerajaan Pajajaran yang dulunya berpusat di wilayah Pakuan (sekarang menjadi daerah Bogor) dan mengalami kehacuran sekitar abad ke 16. Versi berikutnya menyebutkan bahwa Suku Baduy merupakan turunan para prajurit khusus yang diutus oleh Pangeran Pucuk dari Pajajaran untuk menjaga kelestarian Gunung Kendeng tanpa boleh membuka identitasnya agar tidak dikenali musuh.
Pendapat para ahli tersebut ditolak mentah-mentah oleh masyarakat Baduy. Berdasar kepercayaan etnis tersebut, mereka adalah turunan murni Batara Cikal yang diutus ke bumi. Mereka juga menganggap bahwa Nabi Adam merupakan cikal bakal orang Kanekes yang memiliki tugas penting untuk bertapa demi menjaga keseimbangan dunia.
Menguatkan kepercayaan masyarakat Baduy tersebut, dr Van Tricht yang mengadakan riset kesehatan pada tahun 20-an juga menyebutkan bahwa masyarakat etnis Baduy memanglah penduduk asli wilayah tersebut dan sudah ada jauh sebelum hancurnya kerajaan Pajajaran. Menurut Van Tricht, raja bernama Rakeyan Darmasiksa yang dahulu berkuasa di wilayah tersebut memerintahkan masyarakat Baduy untuk menempati daerah Baduy dengan kewajiban memelihara kabuyutan (ajaran leluhur) sehingga ditetapkan sebagai daerah suci (mandala). Ajaran leluhur di daerah ini dikenal dengan nama Jati Sunda atau Sunda Wiwitan (Sunda asli), yang kemudian juga menjadi agama asli masyarakat Baduy.
Terlepas dari keragaman pendapat mengenai asal-usul sejarah Suku Baduy, etnis tersebut hingga saat ini terbukti masih memegang kuat ajaran nenek moyangnya, yaitu mengenai adat “Pikukuh” yang wajib dianut dalam keseharian. Konsep terpenting di dalamnya adalah aturan mengenai kehidupan sederhana yang apa adanya tanpa perlu diubah-ubah. Mulai dari pertanian, pembangunan, hingga pakaian, konsep tersebut terus diterapkan sehingga masyarakat Baduy jarang berhadapan dengan kesulitan hidup.
Oleh karena itu, belajar dari sejarah Suku Baduy dan awal mula kemunculannya, baik yang didasarkan pendapat para ahli atau kepercayaan masyarat Baduy sendiri, perkembangan etnis tersebut hingga saat ini pada dasarnya berlandas dari ketetapan masyarakatnya untuk mempertahankan nilai kebenaran dalam suatu budaya yang telah ada dan melestarikannyan secara turun-temurun. Hasilnya, dengan terus menyelaraskan diri dengan alam tanpa bersinkronisasi dengan peradaban terkini pun, masyarakat etnis asli Sunda satu ini terbukti mampu menciptakan sejarah Suku Baduy yang tetap hidup dan bahkan semakin berkembang.
https://wisatabanten.com/sejarah-suku-baduy/
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja