Cerita Rakyat
Cerita Rakyat
Cerita Rakyat Banten Panimbang, Pandeglang
Kisah di Balik Nama "Tanjung Lesung"
- 28 Oktober 2017

Alkisah hiduplah seorang pengembara bernama Raden Budog. Ia dipercaya berasal dari Laut Selatan. Suatu ketika Raden Budog bermimpi bertemu dengan seorang gadis. Sangat cantik wajah gadis itu. Raden Budog sangat terpesona dan langsung jatuh hati. Ia lalu memutuskan untuk kembali mengembara untuk mencari keberadaan si gadis berwajah sangat jelita itu.

Dengan menunggangi kuda kesayangannya, Raden Budog menuju arah utara. Anjing miliknya turut pula menemani kepergiannya. Mereka terus menuju arah utara hingga tiba di Gunung Walang. Di tempat itu pelana Raden Budog robek hingga ia tidak lagi menunggung kuda. Raden Budog menuntun kudanya dan anjingnya tetap setia menemani pengembaraan Raden Budog. Mereka akhirnya tiba di pantai Cawar. Setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, Raden Budog berniat mandi di pantai yang indah itu.

Setelah puas mandi dan membersihkan dirinya, Raden Budog berniat melanjutkan perjalanannya kembali. Diajaknya kuda dan anjingnya itu untuk kembali berjalan. Namun, dua hewan yang biasanya sangat setia kepadanya itu seperti enggan meninggalkan pantai Cawar. Keduanya hanya terdiam dan tidak menuruti perintah Raden Budog. Setelah berulang-ulang ajakannya tidak dipatuhi kuda dan anjingnya, Raden Budog pun menjadi marah. Dikutuknya dua hewan itu menjadi batu karang.

Kutukan Raden Budog mewujud dalam kenyataan. Kuda dan anjing itu menjadi batu karang yang diam membisu di pantai Cawar.

Raden Budog meneruskan perjalanannya dengan berjalan kaki. Dilewatinya berbagai hambatan dan rintangan yang ditemuinya di tengah perjalanan. Tibalah ia kemudian di sebuah desa setelah melewati sungai yang meluap airnya karena banjir.

Syahdan, di desa yang didatangi Raden Budog itu berdiam seorang janda bernama Nyi Siti. Ia mempunyai seorang anak perempuan yang sangat cantik jelita wajahnya. Sri Poh Haci namanya.

Sri Poh Haci setiap hari menumbuk padi dengan menggunakan antan dan lesung. Antan itu dipukulkannya ke lesung hingga menghasilkan irama tertentu yang terdengar merdu di telinga. Tindakan Sri Poh Haci itu mengundang anak-anak perempuan lain untuk meniru tindakannya. Mereka beramai-ramai menumbuk padi dengan cara seperti yang dilakukan Sri Poh Haci. Anak-anak perempuan itu biasanya meminta Sri Poh Haci memimpin hingga akhirnya tercipta sebuah permainan menyenangkan yang mereka beri nama ngagondang. Warga desa sangat menggemari permainan itu. Sebelum mereka menanam padi, mereka mendahuluinya dengan permainan ngagondang terlebih dahulu. Namun demikian mereka mempunyai pantangan, yaitu tidak bermain ngagondang pada hari Jum'at.

Ketika Raden Budog tiba di desa itu kebetulan permainan ngagondang tengah dilakukan. Raden Budog sangat tertarik ketika mendengarnya. Ia pun datang mendekat. Terbelalaklah ia ketika melihat salah seorang pemukul lesung itu. Wajahnya sangat mirip dengan wajah perempuan yang dilihatnya dalam impiannya. Perempuan itu tidak lain Sri Poh Haci adanya.

Raden Budog lantas mendatangi rumah Sri Poh Haci dan berkenalan dengan perempuan berwajah cantik jelita itu. Diungkapkannya cintanya pada Sri Poh Haci. Ketika Sri Poh Had juga menyatakan cinta pada Raden Budog, Raden Budog lalu mendatangi Nyi Siti untuk melamar Sri Poh Haci.

Raden Budog dan Sri Poh Haci menikah. Pernikahan mereka dilangsungkan secara sederhana. Segenap warga desa datang menghadiri dan turut bergembira atas berlangsungnya pernikahan itu. Raden Budog kemudian tinggal di desa itu.

Setelah menikah, Sri Poh Haci tetap memimpin ngagondang. Suaminya tidak hanya memperbolehkannya, melainkan turut pula dalam permainan memukul antan pada lesung secara berirama itu. Bahkan, Raden Budog sangat menggemari permainan tersebut hingga ia serasa tidak mengenal waktu untuk memainkannya. Serasa setiap saat ia asyik ngagondang. Ia tetap nekat bermain meski istri, mertua, maupun orang-orang lain telah mengingatkannya. Telinganya seperti telah tersumbat hingga tidak mendengarkan peringatan orang lain.

Raden Budog benar-benar keras kepala, sulit untuk dinasihati. Ketika hari Jum'at tiba, Sri Poh Haci mengingatkan suaminya, "Suamiku, hari Jum'at adalah hari yang dikeramatkan warga desa. Sebaiknya engkau tidak ngagondang dahulu."

Raden Budog hanya terdiam, meski demikian keinginannya untuk memainkan alu pada lesung untuk menimbulkan irama tidak bisa dicegahnya.

Kumpulan Legenda Rakyat Asal Mula Tanjung Lesung

Kumpulan Legenda Rakyat Asal Mula Tanjung Lesung

Nyi Siti khawatir juga pada menantunya itu. Nyi Siti juga mengingatkan Raden Budog untuk tidak ngagondang pada hari Jum'at itu. Bahkan, sesepuh desa turut pula mengingatkan Raden Budog. "Hendaklah engkau menghormati adat dan juga pantangan yang berlaku di desa kita ini. Engkau boleh ngagondang pada hari-hari lain, namun jangan engkau lakukan pada hari Jum'at. Hari Jum'at adalah hari pantangan bagi warga desa untuk ngagondang. Semoga menjadi pantangan pula bagimu untuk bermain ngagondang pada hari Jum'at ini:'

Meski telah banyak orang yang mengingatkannya, Raden Budog ternyata tetap bersikeras untuk ngagondang. Peringatan istri, mertua, dan bahkan sesepuh desa sama sekali tidak dianggapnya. Baginya, tidak ada pantangan baginya untuk memuaskan kesenangannya memainkan antan pada lesung. Hari apapun adalah hari bebas baginya untuk ngagondang.

Hari Jum'at itu Raden Budog tetap ngagondang. Ia tidak peduli meski hanya bermain sendirian. Ia bahkan kian bersemangat dengan melompat-lompat ketika memukulkan antan pada lesung. Ia berharap orang-orang akan datang dan turut bermain bersamanya. Orang-orang hanya memandangnya dengan keheranan dan Raden Budog terus bertambah semangatnya untuk bermain. Ia meloncat ke sana dan ke sini ketika bermain. Wajahnya begitu gembira seolah sangat puas dapat bermain ngagondang pada hari Jum'at yang dikeramatkan itu.

Keanehan pun terjadi ...

Anak-anak desa berdatangan ke tempat Raden Budog bermain ngagondang. Mereka sangat terheran-heran melihat pemandangan aneh yang terjadi di hadapan mereka. Dalam pandangan mereka, bukan Raden Budog yang tengah bermain ngagondang, melainkan seekor lutung!

"Ada lutung bermain lesung! Ada lutung bermain lesung!" teriak anak-anak itu seraya menunjuk-nunjuk.

Raden Budog yang tidak menyadari jika dirinya telah berubah menjadi lutung terus memainkan antan pada lesung. Kian bersemangat ia bermain karena menyangka anak-anak itu terpesona pada permainannya.

Kejadian mengherankan itu cepat menyebar. Warga desa berdatangan ke tempat Raden Budog tengah bermain ngagondang itu. Benar-benar mereka terheran-heran mendapati seekor lutung tengah bermain lesung seraya melompat-lompat penuh suka cita.

"Ada lutung bermain lesung! Ada lutung bermain lesung!"

Teriakan beramai-ramai itu tak urung membuat Raden Budog terkejut. Sejenak dihentikannya permainannya dan ditatapnya orang-orang. Masih didengarnya ada warga desa yang menyatakan ada lutung bermain lesung. Diperhatikannya tempat di sekitarnya. Tidak ada yang bermain ngagondang di tempat itu selain hanya dirinya sendiri. Lantas, mengapa orang-orang itu menyebutkan adanya lutung yang bermain lesung?

Terperanjatlah Raden Budog ketika mengamati dirinya. Kedua tangannya berbulu amat lebat berwarna hitam laksana bulu lutung! Begitu pula dengan bulu-bulu lebat berwarna hitam di kedua kakinya. Dirabanya wajahnya, penuh dengan bulu lebat berwarna hitam pula. Begitu pula dengan tubuhnya. Kian lengkaplah keterkejutannya ketika mendapati sebuah ekor panjang berbulu hitam keluar dari bagian belakang tubuhnya.

Raden Budog telah utuh berubah menjadi lutung!

Setelah mendapati dirinya berubah menjadi lutung, Raden Budog segera berlari dari tempat itu. Ia sangat malu. Dengan gerakan gesit, lutung jelmaan Raden Budog lantas memanjat pohon. Gerakan memanjatnya sangat cepat. Tangkas pula ia bergelantungan dari dahan ke dahan serta berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.

"Lutung Kasarung! Lutung Kasarung!" teriak warga ketika melihat lutung jelmaan Raden Budog itu berlompatan dari satu pohon ke pohon lainnya.

Teriakan-teriakan itu kian membuat malu Raden Budog hingga ia terus berusaha menjauh dari desa itu sejauh jauhnya.Ia memasuki hutan dan terus bergerak menuju tengah hutan. Ia pun memutuskan untuk tinggal di tengah hutan itu untuk seterusnya.

Sri Poh Haci sangat sedih mendapati kenyataan itu. Suaminya telah berubah menjadi seekor lutung. Ia serasa tidak mempunyai keberanian lagi untuk tinggal di desanya. Secara diam-diam ia pun meninggalkan desa kediamannya itu. Entah kemana istri Raden Budog itu pergi, tidak ada yang mengetahuinya. Bahkan, Nyi Siti sendiri pun tidak mengetahuinya. Konon, Sri Poh Haci kemudian juga menjelma menjadi Dewi Padi.

Desa di mana terjadinya peristiwa yang sangat mengherankan lagi mengejutkan itu kemudian disebut Desa Lesung. Mengingat letaknya berada di sebuah tanjung, desa itu pun akhirnya disebut Tanjung Lesung.

Pesan moral dari kumpulan legenda rakyat : asal mula tanjung lesung adalah kita hendaknya mematuhi dan menghormati adat istiadat yang berlaku di suatu daerah. Seperti makna peribahasa di mana tanah dipijak, di situ langit dijunjung, yang berarti di mana pun juga kita berada atau bertempat tinggal, hendaklah kita menuruti adat istiadat dan kebiasaan yang berlaku di daerah itu.

http://dongengceritarakyat.com/kumpulan-legenda-rakyat-asal-mula-tanjung-lesung/

Diskusi

Silahkan masuk untuk berdiskusi.

Daftar Diskusi

Rekomendasi Entri

Gambar Entri
Tradisi MAKA
Seni Pertunjukan Seni Pertunjukan
Nusa Tenggara Barat

MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...

avatar
Aji_permana
Gambar Entri
Wisma Muhammadiyah Ngloji
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
SMP Negeri 1 Berbah
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Pabrik Gula Randugunting
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...

avatar
Bernadetta Alice Caroline
Gambar Entri
Kompleks Panti Asih Pakem
Produk Arsitektur Produk Arsitektur
Daerah Istimewa Yogyakarta

Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja

avatar
Bernadetta Alice Caroline