Mulanya, kesenian ini berasal dari pondok pesantren, yaitu sejenis kesenian tradisional yang bernapaskan keagamaan (Islam). Dihubungkan dengan religi, benjang dapat dipakai sebagai media atau alat untuk mendekatkan diri dengan Kholiqnya sebab sebelum pertunjukan, pemain benjang selalu melaksanakan tata cara dengan membaca doa agar dalam pertunjukan benjang tersebut selamat tidak ada gangguan. Di dalam pertunjukan terdapat unsur-unsur penunjang, seperti pemain yang tak terbatas dan musik pengiring (terompet, kendang, dan kecrek). Adapun alat yang digunakan dalam benjang terdiri dari Terbang, Gendang (kendang), Pingprung, Kempring, Kempul, Kecrek, Terompet (Tarompet), dan dilengkapi pula dengan bedug dan lagu sunda. Pertunjukan kesenian tersebut biasanya diadakan pada hari besar seperti 17 Agustus, khitanan, perkawinan dan lain-lain. Kostum yang dipakai dalam pertunjukan benjang biasanya baju bebas dan ikat kepala. Sementara, pemain musiknya memakai cel...
Brai adalah suatu jenis nyanyian di daerah Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat. Brai adalah sejenis slawatan atau terbangan yang terdapat pada masyarakat Muslim di banyak daerah di Nusantara. Bentuknya berupa nyanyian, solo dan koor, berganti-ganti atau berbarengan, dengan syair-syair keagamaan, dalam bahasa Arab (seperti Al Barzanji) ataupun dalam bahasa setempat--dalam kasus brai adalah bahasa Jawa Cirebon. Frasa-frasa syairnya yang paling dominan adalah dari ayat suci Quran,tauhid, yang berkenaan dengan keimanan atau keilahian, seperti "La illaha ilallah" dan "Astagfilullah aladzim." Brai diiringi oleh rebana besar, yang juga disebut brai. Atas dasar itu, ada yangmengatakan bahwa nama "brai" diambil dari nama suara (anomatopoik) rebana besar tersebut, yang berbunyi "ber..." atau "bray..." Selain rebana, dalam brai juga terdapat sebuah gendang besar (kendang gede) yang sama bentuk dan ukurannya dengan gendang besar yang biasa dipakai dal...
Di provinsi Bengkulu ada sebuah teater tradisional yang disebut Nandai Batebah. Selain sebutan itu, teater ini juga sering disebut sebagai “Andai-andai” atau “Geguritan”. Nandai Batebah merupakan istilah yang terdiri atas dua kata, yaitu “Nandai” dan “Batebah”. Nandai yang berasal dari kata “andai” berarti “misalkan”, “jika” atau “umpama”. Sementara, batebah berarti “ditembangkan” atau “dilagukan”. Sedangkan, andai-andai berarti “perumpamaan”. Dan, geguritan yang berasal dari kata dasar “gurit” berarti “bersenandung”. Berdasarkan arti dari berbagai kata tersebut, maka nandai batebah dapat diartikan sebagai suatu ceritera “berandai-andai” yang disampaikan oleh juru nandai dengan cara dilagukan atau ditembangkan . Ceritera-ceritera yang disenandungkan adalah ceritera-ceritera rakyat Bengkulu yang sa...
Konon, kesenian yang bernama Bangsawan ini pada masa lalu bernama Wayang Parsi. Menurut Ediruslan dan Hasan Junus (t.t), kedatangan rombongan seniman wayang parsi ke Pulau Penang (1870) bukanlah dari Persia (Iran), melainkan dari orang-orang Majusi yang melarikan diri ke India karena tidak mau di-Islam-kan. Keturunan orang-orang Majusi yang banyak bermukim di Mumbay inilah yang akhirnya membawa wayang parsi ke Pulau Penang. Dari Penang, wayang parsi kemudian menyebar ke seluruh semenanjung Malaysia, dan juga ke kesultanan-kesultanan Melayu di Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Barat. Wayang parsi yang telah berubah menjadi Bangsawan diperkirakan masuk Penyengat tahun 1906. Dari Pulau Penyengat[1], akhirnya menyebar pula ke berbagai daerah di wilayah Kepulauan Riau. Walaupun demikian, kesenian ini tidak tumbuh subur di Penyengat, tetapi justeru di tempat lain, seperti Daik-Lingga dan Dabo-Singkep. Malahan, sekarang seolah-olah yang “memilikinya” a...
Nong nong kling adalah seni pertunjukan yang menggunakan media ungkap tari, musik dan drama. Nama nong nong kling diambil dari suara iringannya yang apabila digerakkan akan menimbulkan efek bunyi “nong, nong, kling”. Kesenian nong nong kling yang banyak terdapat di Kabupaten Klungkung biasa juga disebut dengan nama barong nongkling. Meskipun di dalam pertunjukan itu tidak terdapat “barong”, namun pertunjukan nong nong kling dikelompokkan dalam kesenian barong, seperti halnya barong ket, barong bangkal, barong landung dan banyak barong lainnya. Dengan demikian kesenian nong nong kling termasuk kelompok kesenian barong. Drama tari nong nong kling hampir mirip dengan wayang wong Bali. Hal ini terlihat dari perlengkapan nong nong kling yang menggunakan tapel (topeng) Sita dan tapel Subali, seperti pada pertunjukan wayang wong Bali. Perbedaan antara nong nong kling dan wayang wong Bali, terletak terutama pada cerita...
Pada ujung utara rangkaian Bukit Barisan di Pulau Sumatera, terletak dataran tinggi Gayo yang merupakan tempat orang Gayo bermukim. Selain sebagai nama sebuah etnis, Gayo juga merupakan nama ibukota Kabupetan Aceh Tengah. Di tempat ini orang Gayo terbagi dalam beberapa kelompok yaitu: Gayo Lut, Gayo Deret, dan Gayo Lues. Di kalangan mereka ada sebuah kesenian rakyat yang dikenal dengan nama Didong, yaitu suatu kesenian yang memadukan unsur tari, vokal, dan sastra. Kapan kesenian ini bermula, hingga kini belum diketahui secara pasti. Demikian pula arti kata didong yang sesungguhnya 1 . Pada awalnya didong digunakan sebagai sarana bagi penyebaran agama Islam melalui media syair. Para ceh didong (seniman didong) tidak semata-mata menyampaikan tutur kepada penonton yang dibalut dengan nilai-nilai estetika, melainkan di dalamnya bertujuan agar masyarakat pendengarnya dapat memaknai hidup sesuai dengan realitas akan kehidupan para Nabi dan tokoh yang sesuai dengan Islam. Dalam...
Krumpyung adalah salah satu bentuk teater rakyat yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kesenian yang berupa drama tari topeng ini bersifat humor yang menceritakan tentang kehidupan masyarakat sekitar. Nama Krumpyung diambil dari suara iringannya yang terdiri dari angklung, terbang, keprak, kentongan dan kendang yang apabila digerakkan secara bersamaan akan menimbulkan efek bunyi “kemrumpyung”. Kesenian krumpyung lahir pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwana VII. Konon, di masa itu antarseniman saling bersaing untuk menciptakan sebuah kesenian baru agar lebih digemari penonton. Dari persaingan itu lahirlah suatu kesenian yang disebut sebagai “krumpyung”. Waktu itu adalah salah seorang seniman (seorang dalang wayang kulit) berasal dari Desa Keyongan, Bantul yang bernama Ki Residana atau terkenal dengan nama Mbah Sompil. Beliau termasuk orang yang kreatif. Dengan kekreatifannya itulah kemudian menciptakan suatu pertunjukan topeng yang b...
Ada dua versi yang berkenaan dengan seni pertunjukan Mendu. Henri Chambert-Loir yang dikutip oleh Raja Hamzah Yunus (1997) mengatakan bahwa, Mendu kemungkinan besar berasal dari Asia Tenggara, karena kesamaannya dengan seni pertunjukan yang disebut sebagai Mendura yang berkembang di Siam, Yunan, Vietnam, dan Kamboja. Kesamaan ini terutama terletak pada pementasannya yang dilakukan di areal tanah terbuka (tanah lapang). Sedangkan versi lainnya (B.M. Syamsudin, 1987), mengatakan bahwa Mendu yang berkembang di daerah Bunguran berasal dari Wayang Parsi yang berkembang di Pulau Penang sekitar tahun 1780-1880. Menurutnya pula, dahulu Mendu hanya dimainkan oleh kaum laki-laki. Namun, memasuki tahun 70-an, ia tidak hanya milik laki-laki semata, tetapi perempuan juga ikut ambil bagian dalam pementasan Mendu. Dari kedua versi itu, tampaknya yang sangat beralasan adalah versi yang pertama, sedangkan versi yang kedua lebih mendekati asal usul Mak Yong ketimbang Mendu. Lepas dari asal-usul t...
Di sebuah desa yang ada di daerah Kabupaten Probolinggo bagian tenggara, tepatnya di Desa Pendil, Kecamatan Banyuanyar, ada satu jenis kesenian tradisional yang bernama glipang. Konon, istilah “glipang” berasal dari bahasa Arab “goliban” yang mengandung makna suatu kegiatan keseharian yang dilakukan oleh para santri di dalam pondok. Kesenian yang menggambarkan tentang cerita kehidupan sehari-hari yang bernafaskan Islam ini disajikan dalam bentuk tari yang diiringi musik dan disertai dengan dialog dalam bahasa Jawa, Madura dan disisipi sedikit bahasa Arab. Kesenian glipang dicipatakan oleh Sutrisno pada tahun 1935. Sutrisno adalah seorang pendatang dari Pulau Madura yang menetap di Desa Pendil. Mula-mula ia bekerja sebagai mandor penebang tebu di pabrik gula Sebaung, Kecamatan Gending, Kabupaten Probolinggo. Namun, karena sering terjadi pertentangan dengan sinder-sinder Belanda yang bertindak sewenang-wenang, maka Sutrisno memilih berhenti dari pekerja...