Dalihan Na Tolu merupakan sebuah sistem kekerabatan orang Batak yang melambangkan sikap hidup dalam bermasyarakat. Sistem kekerabatan ini menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut DALIHAN NA TOLU (bahasa Toba). Dalihan **dapat diartikan sebagai "tungku" dan "sahundulan" sebagai "posisi duduk". Keduanya mengandung arti yang sama, **'3 POSISI PENTING' dalam kekerabatan orang Batak tersebut terdiri dari: Hulahula adalah pihak keluarga dari isteri. Hula-hula ini menempati posisi yang paling dihormati dalam pergaulan dan adat-istiadat Batak (semua sub-suku Batak) sehingga kepada semua orang Batak dipesankan harus hormat kepada Hulahula (Somba marhula-hula). Dongan Tubu disebut juga Dongan Sabutuha adalah saudara laki-laki satu marga. Kepada semua orang Batak (berbudaya Batak) dipesankan harus bijaksana kepada saudara semarga. Diistilahkan, manat mardongan tubu artinya hati-hati dalam menjaga persaudaraan agar terhindar...
Bangsa suku Batak banyak menganut agama Kristen dan Islam. Tetapi ada sebuah kepercayaan yang dianut sebagai agama asli suku Batak, yakni Parmalim atau disebut juga Ugamo Malim. Ugamo artinya segala sesuatu yang berhubungan dengan alam spiritual (ngolu partondion), sementara Malim artinya suci. Dengan demikian, Ugamo Malim adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan alam spritual yang dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip kesucian. Agama ini tidak mengenal surga dan neraka. Agama ini hanya percaya kepada Debata Mula Jadi Na Bolon sebagai Tuhannya. Hidup dan mati manusia dalam Parmalin berada pada kuasa Debata Mula Jadi Na Bolon. Mereka juga percaya terhadap keberadaan Arwah-arwah leluhur. Namun belum ada ajaran yang pasti pemberian reward atau punisnhment atas perbuatan baik atau jahat, selain mendapat berkat atau dikutuk menjadi miskin dan tidak punya keturunanan. Orang Batak mempunyai konsepsi bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debeta Mula Jadi Na Balon....
Di Sumatera Utara tepatnya di Pulau Nias terdapat tradisi lompat batu atau disebut hombo batu / fahombo yang telah berlangsung sampai hari ini. Tradisi yang berasal dari Suku Nias yang tinggal di Pulau Nias sebelah barat pulau Sumatera ini sangat unik. Tradisi ini diwariskan secara turun temurun kepada anak laki-laki disetiap keluarga. Namun tidak semua pemuda nias yang belajar dari kecil sanggup melakukan lompat batu tersebut. Suku Nias yakin terdapat unsur magis dari roh leluhur dimana seseorang dapat berhasil melompati batu dengan sempurna. Batu yang harus dilompati tingginya sekira 2 meter, berlebar 90 cm, dan panjangnya 60 cm. Dengan ancang-ancang lari yang tidak jauh, seorang pemuda Nias akan dengan tangkas melaju kencang lalu menginjak sebongkah batu untuk kemudian melenting ke udara melewati sebuah batu besar setinggi 2 meteran menyerupai benteng. Puncak bantu tidak boleh tersentuh dan sebuah pendaratan yang sempurna harus dituntaskan karena apabila tidak maka resi...
Orang Batak menempatkan posisi seseorang secara pasti sejak dilahirkan hingga meninggal dalam 3 posisi yang disebut Dalihan Na Tolu (bahasa Toba), Di Simalungun disebut Tolu Sahundulan. Istilah tersebut berasal dari Batak Toba. Dalihan Na Tolu memiliki arti tungku berkaki tiga. Dalihan Na Tolu ini begitu dijunjung tinggi oleh Bangsa Batak pada umumnya, bahkan dijadikan falsafah dalam kehidupan masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu memiliki nilai-nilai kehidupan yang sangat baik bahkan unik karena sifatnya yang saling mendukung satu sama lain. Maksudnya, dalam tradisi Batak terdapat tiga posisi penting kekerabatan bangsa Batak. Pertama, Hula-hula atau Tondong, yaitu kelompok yang posisinya "di atas", sehingga disebut Somba Somba Marhula Hula yang berarti harus hormat kepada keluarga pihak istri agar memperoleh keselamatan dan kesejahteraan. Kedua, Tubu atau Sanina, yaitu kelompok orang orang yang posisinya "sejajar". Posisi tersebut yaitu teman/saudara semarga, s...
Lubuk larangan adalah Daerah Aliran Sungai (DAS) yang dimanfaatkan masyarakat sekitar untuk pengelolaan tangkapan ikan di Daerah Aliran Sungai (DAS) tersebut secara teratur menurut hukum yang dimusyawarahkan masyarakat sekitar, baik itu batas-batas lubuk larangannya. Lubuk larangan ini dibuka secara periodik, biasanya pada masa-masa Idul Fitri atau Lebaran, bisa dijadikan sebagai ikon wisata tahunan, terutama bagi mereka yang mudik dari tanah rantau. Ada peraturan yang melarang penangkapan ikan pada aliran sungai larangan selain waktu yang telah ditentukan (masa-masa Idul Fitri). Bagi yang melanggar ketentuan adat tersebut, maka akan dikenakan denda berupa uang yang telah ditentukan oleh warga sekitar.
Mangongkal holi adalah sebuah tradisi membongkar kembali tulang-belulang dan menempatkannya kembali ke suatu tempat, tepatnya di sebuah tugu . Mangokkal holi adalah salah satu kekayaan kebudayaan masyarakat Batak Toba yang hingga saat ini masih dilestarikan. Bentuk dari mangokkal holi ini adalah upacara ataupun ritual . Tidak ada catatan yang pasti mengenai awal mula upacara mangokkal holi ini. Akan tetapi, secara tradisi dikatakan bahwa upacara ini akan ada jika ternyata arwah dari salah seorang nenek moyang dalam satu keluarga datang kepada salah seorang anggota keluarga yang masih hidup, baik lewat mimpi ataupun lewat penglihatan, lalu memohon untuk memindahkan tulang-belulangnya ke tempat yang lebih layak.
Suku bangsa Nias mengikuti garis keturunan patrilineal, yaitu mengikuti hubungan kekerabatan melalui laki-laki. Anak laki-laki maupun perempuan mengikuti garis keturunan ayah. Apabila anak laki-laki kawin, biasanya tinggal dirumah orangtuanya dalam waktu satu, dua, tiga tahun sampai lahir anak pertama. Tapi, anak perempuan yang sudah kawin harus keluar dari rumah orangtuanya mengikuti suaminya.Suku bangsa Nias yang berasal dari satu garis keturunan disebut sisambua mado . Mereka diikat oleh pertalian darah yang dihitung melalui laki-laki. Setiap nenek moyang dan keluarga keturunannya memiliki atia nadu. Sampai generasi yang kesembilan perkawinan diantara keturunannya dilarang untuk generasi selanjutnya perkawinan diantara keturunannya tidak menjadi masalah lagi.Hanya saja persyaratan harus dipenuhi yakni; memisahkan atia nadu keturunan tersebut dari kumpulan atia nadu nenek moyang dan membayar pemisahan itu dengan memotong babi sebesar 4 alisi. Babi tersebut...
Rambate Rata Raya adalah sebuah sistem budaya gotong royong yang turun temurun dilakukan masyarakat Kabupaten Asahan. "Rambate Rata Raya" yang berarti kerja keras bersama untuk menuju masyarakat adil dan makmur, kini dijadikan motto kabupaten ini.
Gondang Naposo merupakan ritual etnis Batak yang diyakini sebagai media perkenalan dan tegur sapa, berbalas pantun antarpemuda dan pemudi sampai melangkah ke jenjang perkawinan.