Watu Kelir adalah istilah lokal untuk menyebut struktur dinding batu pada tebing bukit yang terletak di sebelah kiri jalan masuk ke Dataran Tinggi Dieng dari jurusan Wonosobo. Disebut watu kelir (tirai batu) karena dindig ini tersusun dari balok-balok batu yang membentuk dinding seperti sebuah tirai yang tinggi dan rapi. Peninggalan ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dengan peninggalan-peninggalan di Dataran Tinggi Dieng, karena Watu Kelir merupakan gerbang masuk menuju kompleks Percandian Dataran Tinggi Dieng. Berbeda dengan sekarang, yang dapat disaksikan sebagai jalan masuk ke tempat ini adalah jalan aspal yang membelah bukit dari jurusan Wonosobo. Semua jenis kendaraan bermotor dengan mulus dapat memasukinya. Pada jaman dahulu, orang harus berjalan kaki dari arah Tuk Bima LUkar mendaki bukit dan turun melalui tangga batu yang ada pada Watu Kelir Tersebut. Dapat dibayangkan betapa susahnya orang untuk memasuki kompleks Dataran Tinggi Dieng. Semua itu merupakan sebuah ra...
Undang-Undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya menyebutkan bahwa salah satu cara perlindungan adalah dengan menerapkan sistem zonasi. Dengan kata lain pada sebuah kawasan diatur ruang-ruang yang terdiri atas zona inti, zona penyangga, zona pengembangan, dan zona penunjang. Khusus untuk konsep penyusunan zonasi di Kawasan Candi Dieng didasarkan pada konsep kosmologi pada masa Indonesia-Hindu berlaku dalam pemilihan lokasi pendirian bangunan candi. Berikut adalah Sistem Zonasi Kawasan Dieng. Z ona I nti meliputi area di mana bangunan cagar budaya berada ditambah 4 meter dari batas situs. Batas situs yang dimaksud adalah batas asli bangunan biasanya berbentuk pagar atau pondasi pagar yang terbuat dari batu. Dalam hal ini dapat disebutkan bahwa zona inti di kawasan candi Dieng ini terdiri atas zona inti Kelompok Candi Arjuna, Zona inti Kelompok Candi Gatutkaca, zona inti Candi Dwarawati, zona inti Candi Setyaki, zona inti Candi Bima, dan zona inti kelompo...
Sebelum memasuki dataran tinggi Dieng, pengunjung akan meleewati Tuk Bima Lukar. Tuk Bima Lukar menurut bahasa Jawa adalah mata air. Sedangkan Bima Lukar berarti Bima sedang membuka pakaiannya. Hal ini mengingatkan sebuah cerita pewayangan pada masa Pandawa dan Kurawa ketika mereka masih remaja. Ketika guru mereka, pendeta Durna ingin mandi, ia minta kepada mereka untuk membuat sungai untuk mandi. Pandawa dan Kurawa bekerjasama membuat sungai itu untuk mandi. Tetapi rupanya Bima bekerja sendiri. Ia membuka pakaiannya (Lukar: bahasa Jawa) dan menggunakan kemaluannya untuk menggali sungai itu. Tuk Bima Lukar sebenarnya merupakan sebuah mata air, yaitu mata air Sungai Serayu. Sungai ini melewati daerah Banyumas dan disana telah menjadi sungai yang besar. Cerita mengenai Bima adalah merupakan sebuah cerita pewayangan dan digunakan oleh warga masyarakat untuk menamai mata air ini. Mata air ini sendiri merupakan peninggalan pada masa Hindu dan berkaitan dengan Kompleks Percandian...
Arca Ganesa dengan ketinggian 50 Cm, ditemukan di dataran tinggi Dieng-Wonosobo telah di teliti oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya Jawa Tengah dan di tempatkan di Museum Kailasa. menurut penelitian arca ini berasal dari masa hindu dieng di awal abad ke7-8
Para pengunjung terkadang bertanya-tanya ketika berkunjung ke Kompleks Percandian Dieng dan melihat struktur-struktur pondasi dari batu. Apakah fungsi dari struktur-struktur ini pada masa lalu ketika candi-candi ini masih digunakan sebagai tempat peribadatan agama Hindu. Struktur-struktur ini merupakan pondasi-pondasi dari bangunan yang disebut Dharmasala. Bangunan-bangunan ini tersebar di sekitar Kawasan Percandian Dieng. Pada masa lalu bangunan-bangunan ini berupa bangunan bertiangi kayu. Bangunan ini merupakan bangunan tanpa dinding dan terbuka. Lantainya juga terbuat dari papan kayu dan dibuat seperti panggung sehingga tidak menyentuh tanah. Jumlah tiang kayu bervariasi tergantung banyaknya umpak. Atapnya pada umumnya berbentuk limasan dengan atap berupa sirap dari kayu. Di india, tempat asal candi-candi, juga banyak ditemukan bangunan-bangunan semacam ini. Fungsinya adalah untuk memberi tempat istirahat bagi para pengunjung yang beribadat di candi-candi...
Terletak di Kompleks Candi Arjuna, tepatnya sebelum Anda memasuki kompleks candi, terdapat sebuah situs penyucian diri. Situs ini terdiri dari dua sumber mata air dan sebuah bangunan mirip yang bentuknya mirip pendapa. Sendang Sedayu dan Sendang Maerokoco merupakan dua sumber air yang sangat penting dalam ritual kebudayaan masyarakat dataran tinggi Dieng. Dua sumber air ini dianggap sebagai air suci yang dapat membersihkan diri dan jiwa umat yang ingin bersembahyang di Kompleks Candi Arjuna. Secara etimologi, “sendang” berarti kumpulan air suci, sementara “rahayu” berarti membersihkan diri. Karenanya, “sendang sedayu” dapat diartikan sebagai mata air suci yang digunakan untuk membersihkan diri. Lain halnya dengan Sendang Maerokoco. Nama “maerokoco” disematkan pada sumber air ini merujuk pada sosok Gatotkaca. Ketika dilahirkan, Gatotkaca tidak bisa melihat. Di sumber mata air ini, setiap orang yang datang diharapkan dapat me...
Bangunan Majid pada umumnya di negara lain berbentuk kubah bahkan di daerah seperti aceh dan daerah lain di Indonesia Pada Umumnya. namun di tanah jawa, bangunan masjid beratapkan limas bersusun, bangunan masjid biasanya berbentuk persegi atau kotak dan ini merupakan suatu budaya toleransi dan alkuturasi di jawa. Pada bangunan masjid jawa kuno biasanya kita akan menemukan bangunan berbentuk persegi sebagaimana bangunan kuil atau candi yang memiliki ruang utama berbentuk persegi. Pada bagian atap tidak berbentuk kubah namun berbentuk limas dengan ukiran seperti nanas yang mengantung di pojok pojok atap, biasanya tersusun 3-5 tingkatan atap. ini merupakan alkuturasi seperti bangunan candi dimana atapnya berbrntuk tingkatan atau kemucak. pada puncak atap masjid kita juga tidak akan menemukan kubah namun puncaknya berupa Mahkota atau mustiko yang berbentuk gada dengan ukiran bunga serta tumbuhan. dan Alkuturasi yang kaya akan nilai ini membuat Islam di Jawa kuat serta bertah...
Masjid Agung Nur Sulaiman merupakan salah satu bangunan cagar budaya di Kabupaten Banyumas yang telah terdaftar oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah pada 2004 dengan Nomor 11-12/Bas/44/TB/04. Masjid yang berlokasi di sebelah barat Alun-Alun Kecamatan Banyumas, Kabupaten Banyumas ini dilindungi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Semula masjid tersebut dikenal dengan sebutan Masjid Agung Banyumas. Namun sejak 1992 berganti nama menjadi Masjid Agung Nur Sulaiman Banyumas. Masuknya Masjid Agung Nur Sulaiman ke dalam daftar cagar budaya bukan tanpa alasan. Bangunan tersebut merupakan peninggalan sejarah yang dibangun saat ibu kota kabupaten itu masih berada di Banyumas atau sebelum dipindah ke Purwokerto. Masjid tersebut diperkirakan dibangun tidak lama setelah pembangunan pendopo "Bale Sipanji" atau rumah kabupaten. Berdasarkan Babad Banyumas yang dihimpun Oemardani dan Poerbasewojo, pendopo "Bale Sipanji" dibangun Rade...
Nama resmi masjid ini adalah masjid Saka Tunggal Baitussalam, tapi lebih populer dengan nama masjid saka tunggal karena memang Masjid ini hanya mempunyai saka tunggal (tiang penyangga tunggal). Saka tunggal yang berada di tengah bangunan utama masjid, saka dengan empat sayap ditengahnya yang akan nampak seperti sebuah totem, bagian bawah dari saka itu dilindungi dengan kaca guna melindungi bagian yang terdapat tulisan tahun pendirian masjid tersebut. Masjid saka tunggal berukuran 12 x 18 meter ini menjadi satu satunya masjid di pulau Jawa yang dibangun jauh sebelum era Wali Sembilan (Wali Songo) yang hidup sekitar abad 15-16M. Sedangkan masjid ini didirikan tahun 1288M, 2 abad sebelum Wali Songo., dan sebelum Kerajaan Majapahit berdiri yang dimulai dengan penobatan Raden Wijaya sebagau Raja pertama Majapahit pada 10 November 1293. Sekaligus menjadikan Masjid Saka Tunggal Baitussalam sebagai Masjid Tertua di Indonesia. Lokasi Masjid Saka Tunggal B...