Candi Banyunibo merupakan salah satu kompleks percandian Buddha yang terletak di sebelah selatan Dusun Cepit, Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi ini dibangun di suatu dataran yang luas, yang dikelilingi oleh bukit-bukit di sebelah utara, timur, dan selatan. Candi ini terdiri atas satu candi induk yang menghadap ke barat dan enam candi perwara berbentuk stupa yang disusun berderet di selatan dan timur candi induk. Ukuran masing-masing fondasi stupa hampir sama, yaitu 4,80 x 4,80 meter. Candi induk berukuran 15,325 x 14,25 m dan tinggi 14,25 m. Kaki candi dengan tinggi 2,5 m itu dibangun di atas lantai batu. Pada sisi barat kaki candi, terdapat tangga masuk. Pada masing-masing sudut kaki candi dan di bagian tengah masing-masing sisi kaki candi (kecuali sisi sebelah barat), terdapat hiasan Jaladwara yang dipasang di lantai atas kaki candi dan berfungsi sebagai saluran air hujan. Tubuh candi berukuran lebih kecil dari...
Candi Kalasan terletak di Dusun Kalibening, Desa Tirtomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya di sebelah selatan jalan raya Yogyakarta – Solo, kira-kira 14 Km dari Yogyakarta. Candi Kalasan berada di lingkungan pemukiman yang cukup padat. Menurut bukti tertulis berupa prasasti yang ditemukan tidak jauh dari lokasi candi, disebutkan tentang para guru yang berhasil membujuk Maharaja Tejahpurana untuk membangun bangunan suci untuk Dewi Tara dan sebuah biara bagi para pendeta dalam kerajaannya. Maharaja Tejahpurana Panangkaran kemudian menghadiahkan Desa Kalasan kepada para sangha. Prasasti yang berangka tahun 700 Saka (778 M), dan menggunakan huruf Pranagari serta berbahasa Sanskerta ini diperkirakan berkaitan erat dengan pendirian Candi Kalasan. Apabila tahun pendirian candi tersebut dikaitkan dengan prasasati tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa Candi Kalasan dibangun sekitar tahun 778 M. Candi Kalasan dibangu...
Candi Ijo secara administratif berada di Dusun Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Letak astronomis candi ini adalah 07º 47’ 01,9” LS, 110º 30’ 43,1” BT dan berada pada 357.402 m dari permukaan air laut. Candi Ijo merupakan kompleks percandian yang berada di atas perbukitan. Situs candi ini berupa lahan berteras-teras yang dikelilingi tebing. Lahan yang menjadi dasar atau keletakan bangunan terdiri atas tanah dan cadas. Tanah tersebut sangat labil, bila musim penghujan sangat becek dan bila musim kemarau tanahnya menjadi bercelah-celah atau pecah. Kompleks Candi Ijo terdiri atas 17 struktur bangunan pada 11 teras dengan teras paling atas merupakan kedudukan candi induk. Candi induk mempunyai ukuran 1.843 x 1.845 cm, dan tinggi 1.600 cm. Di dalam candi induk terdapat sebuah bilik dengan Lingga-Yoni di dalamnya yang melambangkan Dewa Siwa yang menyatu dengan Dewi Parwati. Pada dinding luarny...
Tari Bedhoyo Ketawang (Tarian yang percintaan antara raja Mataram dengan Ratu Kencanasari) Menurut kitab Wedbapradangga yang dianggap pencipta tarian Bedhoyo Ketawang adalah Sultan Agung (1613-1645) raja ke-1 dan terbesar dari kerajaan Mataram bersama Kanjeng Ratu Kencanasari, penguasa laut selatan yang juga disebut Kanjeng Ratu Kidul. Sebelum tari ini diciptakan, terlebih dahulu Sultan Agung memerintahkan para pakar gamelan untuk menciptakan sebuah gendhing yang bernama Ketawang. Konon penciptaan gendhingpun menjadi sempurna setelah Sunan Kalijaga ikut menyusunnya. Tarian Bedhoyo Ketawang tidak hanya dipertunjukan pada saat penobatan raja yang baru tetapi juga pertunjukan setiap tahun sekali bertepatan dengan hari penobatan raja atau " Tingalan Dalem Jumenengan ". Bedhoyo Ketawang tetap dipertunjukkan pada masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana ke-XII (sekarang), hanya saja sudah terjadi pergeseran nilai filosofinya. Pertunjukan Bedhoyo Ketawan...
Sesuai dengan namanya, bedhaya ini ditarikan oleh 7 orang penari (biasanya 9 orang penari). Bedhaya ini ciptaan Sri Sultan HB IX. Bedhaya ini bercerita tentang 2 orang utusan Sultan Agung untuk menuju Batavia. dalam perjalanan menuju Batavia kedua utusan itu harus menghadapi berbagai rintangan. Akhirnya kedua utusan tersebut dapat melewati segala rintangan yang ada. (sumber: http://kilasbaliknusantara.blogspot.com/2010/12/kekayaan-tari-klasik-gaya-yogyakarta.html)
Salah satu jenis tari klasik gaya Yogyakarta yang diciptakan oleh Sultan Hamengku Buwana X. Karya tari ini merupakan legitimasi Sri Sultan Hamengku Buwana X kepada swargi (almarhum Sri Sultan Hamengku Buwana IX), yang mempunyai konsep filosofis, yakni setia kepada janji, berwatak tabah, kokoh, toleran, selalu berbuat baik dan sosial, konsep dan ide dasar tari ini dari Sri Sultan Hamengku Buwana X. Sedangkan koreografinya oleh K.R.T.Sasmintadipura. Bedhaya Sang Amurwabhumi dipentaskan pertama kali di Bangsal Kencono pada saat pengangkatan dan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional kepada Sri Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1990. Bedhaya Sang Amurwabhumi ditarikan oleh sembilan putri (penari) dan berdurasi dua setengah (2,5 ) jam, diiringi irama dramatik yang menggambarkan kelembutan sebagai simbolisasi yang paling hakiki karena setiap raja selalu mempunyai ekspresi dan konsep sendiri dalam setiap pengabdian kepada rakyatnya dengan mencoba menggalang kepemimp...
Bedhaya Sumreg atau Sumbreg merupakan salah satu "bedhaya pusaka" milik Kraton Yogyakarta. Bedhaya Sumreg ini memiliki arti sebagai bidadari yang menari dengan iringan gending ageng Ladrang dan Ketawang. Bedhaya Sumreg pertama kali muncul pada masa Sri Susushunan Paku Buwono I (Geger Spei). Setelah Mataram pecah menjadi Kasuhunan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono I menyusun lagi Bedhaya Sumreg seiring dengan pendirian Kasultanan Yogyakarta. Dikisahkan pula saat Sri Sultan Hamengkubuwana I melabuh di Pantai Parangkusuma, beliau disambut dengan Bedhaya Sumreg yang ditarikan oleh para penari dari Pantai Selatan. Bedhaya Sumreg ini mengkisahkan tentang sikap dan cara yang ditempuh oleh para pemimipin dalam mengatasi berbagi persoalan di jamannya. Pesan yang disampaikan oleh Bedhaya ini adalah agar kehidupan manusia di bumi kembali saling menghargai dan menghormati segala bentuk perbedaan dengan berlandaskan hubungan kekeluargaan, berbudaya, dan bera...
Pada masa Sultan Hamengkubuwana I beliau membangun tari bedhaya tersebut sebagai tarian ritual istana. Disebut ritual karena ada persyaratan-persyaratan tertentu di dalam penyelenggaraannya. Justru persyaratan inilah yang membuat tari bedhaya ini unik dan mengagumkan. Persyaratan itu misalnya seperti penari harus suci (tidak sedang menstruasi), sebelum pertunjukan harus berpuasa, tempatnya suci di Bangsal Kencana, ada sesaji, waktunya tertentu, ada pemimpin, dan lain-lain. Ada sebuah cerita yang menyatakan bahwa apabila syarat-syarat penyelenggaraannya ada salah satu yang dilanggar maka akan berakibat fatal. Bisa saja penarinya pingsan, gila, atau bahkan yang paling buruk meninggal. Sehingga tidak sembarang orang boleh dan bisa menarikan tarian bedhaya ini di bangsal Kraton Ngayogyakarta pada saat upacara adat maupun ritual. Tari klasik bukanlah semata-mata komposisi gerak tubuh yang disusun menjadi satu kesatuan sajian tontonan yang utuh. Tapi diba...
Cerita dalam Tari Bedhaya Angron Sekar i adalah Sutawijaya yang menaklukan Arya Penangsang. Istri Arya Penangsang, Angron Sekar, yang tahun kalau pasangannya ditaklukkan Sutawijya bermaksud balas dendam. Namun akhirnya justru Angron Sekar jatuh cinta terhadap Sutawijaya. Bedhaya Angron Sekar ini merupakan karya dari K.R.T. Sasmintadipura. (Sumber: http://kilasbaliknusantara.blogspot.com/2010/12/kekayaan-tari-klasik-gaya-yogyakarta.html)