Ciri yang menonjol dalam motif ukiran dan tenun Bima adalah garis, bunga dan buah-buahan. Para penenun Bima jarang sekali menggunakan motif manusia dan binatang. Kalaupun ada hanyalah sebatas motif kupu-kupu dan Kapi Keu atau kepiting. Motif tenun Bima didominasi oleh bunga dan garis. Sedikitnya ada tiga motif bunga dan dua jenis buah buahan yang biasa dirangkai oleh para penenun hingga saat ini yaitu motif bunga satako atau bunga setangkai, bunga samobo atau bunga sekuntum, aruna atau nanas, kakando atau rebung dan mundu atau bunga melati. Apa makna motif bunga dan buah itu dalam filosofi hidup masyarakat Bima? Bunga Satako atau setangkai adalah lambang kehidupan keluarga yang mampu mewujudkan kebahagiaan bagi anggota keluarga dan masyarakat. Bagaikan setangkai bunga yang selalu menebar keharuman bagi lingkungannya. Bunga Samobo atau bunga sekuntum memberikan pesan bahwa sebagai mahluk sosial manusia selain bermanfaat bagi dirinya, juga harus bermanfaat bagi orang lain, lak...
Tradisi Sagele merupakan tradisi menanam padi yang biasa dilakukan masyarakat Bima. Tapi menanam padi ini bukan menanam seperti biasanya, nantinya dikala mereka saat menanam akan di iringi oleh musik tradisional dengan Gambo (alat musik). Tradisi menanam yang di iringi oleh musik tradisional itu disebut Sagele dan Arugele, dimana para Ibu-ibu menanam benih padi dan gerakan mereka serentak bersamaan mengikuti irama Gambo yang dimainkan oleh seorang pemain Gambo yang memang dibayar khusus oleh pemilik lahan yang akan di tanami. Pemain Gambo tersebut juga bertugas sebagai instruktur yang mengarahkan arah untuk menanam. Pemain Gambo dengan peralatan yang sederhana yaitu sebuah Aki, Toak kecil serta ampli yang dibuat sendiri digantung di samping untuk memudahkan dia berjalan sambil memainkan Gambo yang sangat menarik sekali untuk di saksikan. Karena lahan tadah hujan tidak rata jadi penanaman dilakukan dengan cara terlebih dahulu di mulai dari atas dan berakhir di bawah. Sete...
Ada yang menarik salah satu tradisi masyarakat pesisir Teluk Bima di Lewi Dewa yaitu Taji Lopi Toi yang berarti lomba perahu mini, tradisi ini biasa dilakukan tiga kali dalam satu bulan, awalnya tradisi Taji Lopi Toi dilakukan saat sesudah selesai panen dan para nelayan yang menunggu cuaca angin membaik saat musim angin barat. Perahu mini atau oleh masyarakat lokal menyebutnya Lopi Toi tersebut di buat dari kayu pohon kapuk karena sangat ringan. Panjang dari Lopi Toi yaitu 1,70 cm hingga 200 cm, layarnya terbuat dari plastik bekas atau dibeli permeternya. Ciri dari Lopi Toi tersebut adalah warna warni cat-nya, semakin banyak warnanya maka akan semakin kelihatan mencolok pada saat Lopi Toi di turunkan ke laut. Harganyapun bekisar dari 200 ribu hingga 500 ribu rupiah. Perlombaan Lopi Toi di adakan 3 kali dalam sebulan, pesertanya bisa mencapai 300 hingga 400 orang yang mendaftar. Satu Lopi Toi di daftar dengan biaya 10 ribu rupiah yang terbagi dalam dua kategori perlombaan...
Salah satu tradisi masyarakat warisan Bima adalah Ntumbu Tuta atau adu kepala. Tarian ini diiringi dengan musik tradisional. Tidak hanya pengunjung lokal yang takjub. Namun, tamu dari Jakarta. Bahkan, tim dokumentasi Kementerian Pariwisata, meminta prosesi dari awal, sebelum Ntumbu Tuta dilakukan. Ritual yang dilakukan, seperti memberikan air atau menyapi air yang sudah dibacakan doa pada bagian sensitif kepala. Bagi yang sudah diusap dan diajak terlibat bermain, harus beradu kepala. Jika tidak, maka akan mengalami gatal-gatal hingga sepekan, kecuali sang guru mengusapkan lagi air di kepalanya. Saat Ntumbu Tuta dilakukan, satu sama lain saling membenturkan kepala. Semua menari-nari diiringi musik tradisional. Setelah itu, dua orang menyiapkan diri mengadu kepala. Posisi menunduk dan memasang kuda-kuda sementara penari Ntumbu Tuta lainnya masih terus mengikuti irama musik, sampai ada aba-aba siap membenturkan kepalanya. Usia pemain Ntumbu Tuta tidak dibatasi, s...
Ada dua kebudayaan yang sangat identik dengan Wawo yaitu Tumbu Tuta dan Honggo Naru yang sejak dulu hingga turun temurun terus dijaga oleh generasi ke generasi Wawo, dalam tulisan ini akan mengulas mengenai Honggo Naru yaitu tradisi memperpanjang rambut oleh para kaum hawa di Wawo, dalam kehidupan modern sekarang memperpanjang rambut identik dengan kehidupan kuno tapi beda dengan wanita Wawo bahwa memperpanjang rambut itu identik dengan kehormatan mereka layaknya sang putri raja. Wawo mempunyai cuaca yang sangat dingin terletak di atas dataran tinggi pegunungan Wawo mempunyai udara yang sangat sejuk, kehidupan di Wawo sangat menjaga tata karma dan adat istiadat mereka sehingga dalam rentetan waktu perkembangan Kecamatan Wawo tidak pernah terjadi konflik antar warga maupun dengan desa lainnya yang berada pada wilayah kabupaten Bima. Tradisi Honggo Naru wanita Wawo dimulai sejak mereka mengenal mempergunakan kemiri sebagai ramuan untuk menghilangkan sakit kepala, karena ding...
Alunan irama dendang yang di lantunkan dan di ikuti hentakan tangan sambil memukul lantai yang sangat menarik dengan gaya pantun bahasa Bima yang di lakukan oleh dua orang tertua di Raba Dompu yaitu Nenek Hj Asiah dan adiknya Nenek Saadiah. Dendang ini bernama Gele yang diperuntukkan untuk mendendangkan anakanak yang terkena sakit seperti cacar air, bisul, dan sakit lainnya. Kata-kata dalam Gele yang digunakan termasuk bahasa Bima lama. Dalam kepercayaan masyarakat Bima, penyakit cacar air pada anak-anak atau dalam bahasa Bima disebut Kawaro merupakan penyakit yang sering menjangkit anak-anak pada usia balita maupun batita itu merupakan tamu yang perlu di hargai dari ujian Yang Maha Kuasa sehingga kadang di beri kemenyan dan di rayu dengan kata-kata indah yang disebut Rere. Maka setiap anak yang menderita Kawaro akan di dendangkan Gele ini untuk menenangkan hati mereka sehingga bisa tertidur pulas. Ketika Gele didendangkan seorang anak yang terkena cacar air di pangku dan ad...
Suku Mbojo atau masyarakat Bima merupakan Suku yang pada awalnya menempati gunung-gunung pada masa Ncuhi yang terjadi pada abad 13 Masehi sebelum Kerajaan Bima terbentuk, kehidupan zaman Ncuhi di atas gunung menggunakan pola bertahan hidup dengan berburu dan memakan tumbuhan di hutan untuk melangsungkan kehidupan mereka, kemudian setelah Kerajaan Bima terbentuk tahun 1200 masehi dengan Raja pertama Indra Zamrud sehingga pola kehidupan di atas gunung berangsur-angsur pindah mendiami dataran. Pola kehidupan bercocok tanam atau bertani mulai di ajarkan oleh saudara Raja Indra Zamrud yaitu Indra Komala yang diceritakan dalam kronik catatan Kerajaan Bima. Indra Komala adalah ahli di bidang pertanian sedangkan kakaknya Raja Indra Zamrud ahli dalam bidang kelautan. Setelah mengenal pola kehidupan bertani dan bercocok tanam berangsur-angsur Suku Mbojo mulai mendiami dataran. Bertani terus dilakukan Suku Mbojo sejak dulu hingga sekarang dan menjadi warisan nenek moyang sehingga pola kehi...
Kareku kandei merupakan tradisi masyarakat suku mbojo(Bima) yang dilakukan oleh kaum wanita, baik itu yang masih muda maupun untuk kalangan ibu-ibu. Salah satu manfaat kareku kandei ini adalah untuk mengumpulkan masyarakat Mbojo(Bima) khususnya untuk kaum wanita. Dengan adannya kereku kandei ini wanitawanita pada massa itu menjalin silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan. Selain itu, kareku kandei ini merupakan salah satu wujud syukur masyarakat bima atas limpahan rahmat-nya dalam bidang pertanian.
Parang La Nggunti Rante sebuah parang dari Kesultanan Bima yang digunakan sebagai simbol penguasa sebelum keris Samparaja di gunakan olen para penguasa tanah Bima, parang tersebut mempunyai mitos tertentu pada pandangan masyarakat Bima karena memiliki atmosfer gaib yang kuat. Tentunya dalam kepercayaan masyarakat lokal (Bima) parang ini adalah pelindung para raja atau Sangaji, memiliki simbol kekuatan kerajaan. Energi gaib sangat mewarnai kisah La Nggunti Rante yang disadurkan oleh para tetua tanah Bima, dipercaya bisa terbang dan lain-lain. La Nggunti Rante diambil dari nama Bima yang berarti pemotong rantai secara harfiah yang berarti parang tiada tandingannya, dibuat pada era para raja Bima bergelar Batara (pelindung umat manusia). Menurut Hubert de Vries Antropolog dari Universitas Of Amsterdam, bahwa parang La Nggunti Rante berasal dari Bali, dengan pengguna pertamanya adalah seorang raja bergelar Batara Sang Bima. berasal bisa juga berarti dibuat di Bali, namun ole...