Sanggul daerah Palembang, Sumatera Selatan disebut Gelung Malang. Sejarah sanggul Gelung Malang Sejak dimulainya perluasan daerah jajahan Kerajaan Majapahit, dengan panglima perangnya yang terkenal Mahapatih Gajah Mada, antara lain ke daerah Sumatera pada kira-kira abad XIV, secara tidak langsung mengakibatkan adanya pengaruh seni atau kebudayaan Jawa terhadap kehidupan masyarakat. Kebudayaan yang ditinggalkan oleh laskar Kerajaan Majapahit ini tetap hidup sehingga seolah-olah kebudayaan itu adalah peninggalan Kerajaan Sriwijaya. Pada tanggal 21 Juni 1821 adalah hari terjadinya acara serah terima Pemerintah Kerajaan Sriwijaya kepada Pemerintah Hindia Belanda. Jauh sebelum itu Pemerintah Kerajaan Sriwijaya sudah mempunyai tata cara adat dan seni budaya tersendiri yang bernilai tinggi, termasuk di dalamnya tata busana, perawatan badan dan keluarganya. Jika berpergian ia hanya berhias secara sederhana, misalnya hanya mengenakan baju kurung biru tua, selain sarung dan sel...
Sanggul ini mirip dengan sanggul Jawa, tetapi bentuknya membulat, letaknya agak tinggi, dan di dalamnya diselipkan setebek (setumpuk/ selempeng) tembakau. Biasanya sanggul ini dipakai pada waktu acara putus rasan, yaitu acara penentuan hari jadi akad nikah. Dalam hal ini, pihak besan laki-laki mengeluarkan selipan tembakau dan dibagikan kepada keluarganya yang hadir (biasanya keluarga terdekat), lazimnya kaum ibu. Akan tetapi dengan majunya perkembangan zaman maka acara putus rasan pada saat ini sudah jarang ditemukan. Sumber: Sanggul Tradisional, Nolis Marliati
Sanggul ini biasanya digemari oleh gadis-gadis remaja maka kini. Sanggul ini terdiri dari dua buah dan diletakkan dibagian kiri dan kanan kepala. Kadang-kadang rambut dikepang dahulu, baru dibentuk sanggul pada bagian kanan dan kiri atau dikepang dahulu, baru dibentuk sanggul pada bagian kanan dan kiri atau dikumpulkan dibagian tengah kepala. Perlu ditambahkan bahwa asal-usul sanggul ini tidak diketahui secara jelas. Sanggul Tradisional, Nolis Marliati
Rumah tradisional bukan semata warisan budaya dalam bentuk material yang tersusun berupa elemen-elemen bangunan saja. Lebih dari wujud fisiknya, rumah tradisional mempunyai peran penting dalam membentuk ruang-ruang sosial dan simbolik, sekaligus sebagai representasi budaya bagi penghuninya. Indonesia sebagai negara kesatuan yang kaya akan kebudayaan mempunyai begitu banyak warisan rumah tradisional, salah satunya adalah rumah ulu di Sumatera Selatan. Rumah Ulu merupakan rumah tradisional masyarakat yang bermukim di kawasan hulu Sungai Musi, Sumatera Selatan. Nama rumah ulu berasal dari kata uluan yang bermakna pedesaan, uluan juga sebutan bagi masyarakat yang tinggal di bagian hulu Sungai Musi. Semua bagian rumah ulu terbuat dari kayu, dengan bagian bawah ditopang oleh batang pohon unglen. Pemilihan batang pohon unglen bukan tanpa sebab, batang pohon ini diyakini bisa bertahan hingga ratusan tahun. Pembangunan rumah ulu harus mengikuti beberapa peraturan yang sudah disepakat...
Nusantara sejak lama ditinggali oleh masyarakat adat dari berbagai suku bangsa. Tak heran jika Indonesia memiliki beragam aksara, bahasa, pola hidup, pakaian tradisional, pakaian adat, hingga rumah adat dari berbagai daerah yang ada di nusantara. Di antara beragamnya kekayaan nusantara tersebut, rumah adat merupakan tolak ukur terdepan yang menggambarkan kebudayaan suatu suku bangsa. Tak hanya itu, rumah adat juga mempunyai arti penting dalam pengembangan warisan peradaban dan ilmu sejarah, mengingat segala kegiatan yang dilakukan bermula dari rumah. Di Desa Tegurwangi, di Kaki Gunung Dempo, Pagaralam, Sumatera Selatan, di tengah sawah yang sedang menguning, berdiri tegak rumah adat masyarakat Besemah yang biasa dikenal dengan nama Ghumah Baghi (Rumah Baghi). Rumah Baghi merupakan rumat adat yang sudah digunakan sejak beratus tahun lampau oleh para nenek moyang masyarakat Besemah, Pagaralam. Rumah ini memiliki ciri khas pada atapnya yang meruncing bagai tanduk. Dilihat dari...
Suku Kubu merupakan suku yang menetap di perbatasan antara Jambi dan Sumatera Selatan. Kehidupannya yang masih semi-nomaden di sekitar hutan Taman Nasional Bukit 12, menjadikan masyarakat Kubu masih mempunyai pola kehidupan yang homogen. Hal tersebut terlihat dari pola mata pencaharian masyarakat Suku Kubu yang masih terfokus pada kegiatan berladang dan berburu. Kedekatan masyarakat Suku Kubu dengan alam menjadikan suku yang hidup di pedalaman ini kerap memanfaatkan hutan untuk keperluan hidup sehari-hari, seperti untuk makan dan pengobatan. Kedekatan dengan alam inilah yang mempengaruhi pola pikir masyarakat Suku Kubu untuk terus memanfaatkan hutan dan terus menjaga kelestariannya. Bagi masyarakat Suku Kubu, menghancurkan hutan sama halnya dengan menghancurkan kehidupan. Salah satu bentuk ketergantungan Suku Kubu dengan alam terlihat dari upacara pengobatan tradisional, yang kerap dilakukan ketika ada seseorang yang terjangkit sakit parah. Masyarakat Suku Kubu percaya ...
Putri Jelitani adalah seorang putri raja di sebuah kerajaan di daerah Sumatra Selatan. Suatu ketika, negeri sang Putri dilanda kemarau yang amat panjang. Keadaan yang sulit itu baru akan pulih jika ada seorang gadis yang mau berkorban dengan mencebur ke laut. Oleh karena tak seorang pun yang mau berkorban, maka dengan ikhlas sang Putri rela melakukannya demi keselamatan rakyatnya dari bahaya kelaparan. Bagaimana nasib Putri Kemarau selanjutnya? Simak kisahnya dalam cerita Pengorbanan Putri Kemarau berikut ini! * * * Dahulu, di Sumatra Selatan ada seorang putri raja bernama Putri Jelitani. Namun, ia akrab dipanggil Putri Kemarau karena dilahirkan pada musim kemarau. Ia merupakan putri semata wayang sang Raja. Ibunda sang Putri baru saja wafat. Sebagai putri tunggal, ia pun amat disayangi oleh ayahnya. Sementara itu, ayahnya adalah seorang pemimpin yang arif dan bijaksana. Negeri dan rakyatnya pun hidup makmur dan tenteram. Suatu ketika, negeri itu dilanda kemarau yang s...
Tiap simpangan ku enjuk tande Jalan ni kalu die gi balek Ati tebukak tangan tebentang Subuk bejengal di pangkal tangge Tunggu betunggu…. Segale care sarat la udim ku cuba Sampai balik dusun tengah malam burat Di baling duahe bedendun bepantau Nyilap api menyan sambil mandi bunge Rupela tungguan tesepik di ulu Sumber: http://www.lagu-daerah.com/2015/06/lirik-lagu-daerah-sumatera-selatan.html
Surat Ulu merupakan kumpulan beberapa aksara yang berkerabat di Sumatra sebelah selatan. Yang termasuk kelompok Surat Ulu adalah aksara Kerinci, aksara Rejang-Rencong, dan aksara Lampung. Istilah “kaganga” diciptakan oleh Mervyn A. Jaspan (1926-1975), antropolog di University of Hull di Inggris dalam buku Folk Literature of South Sumatra, Redjang Ka-Ga-Nga texts (Canberra, The Australian National University, 1964) untuk merujuk kepada Surat Ulu. Jaspan menggunakan istilah Kaganga berdasarkan tiga huruf pertama dalam urutan dalam sistem Surat Ulu. Surat Ulu sendiri merupakan istilah asli yang dipakai oleh masyarakat di Sumatra sebelah selatan. Disebut Surat Ulu karena yang kelompok yang menggunakan aksara ini berada di kawasan ulu (pegunungan) Sumatra, khususnya di Kerinci, Bengkulu, Sumatra Selatan, dan Lampung. Aksara Surat Ulu diperkirakan berkembang dari aksara Pallawa dan Kawi yang digunakan oleh Kerajaan Sriwijaya. Contohnya dapat kita lihat pada Prasasti Ko...