Suku Tanimbar adalah sekelompok etnis atau masyarakat asal Indonesia yang mendiami Kepulauan Tanimbar yang berasal dari campuran Austronesia-Papua. Kata ”Tanimbar” berasal dari kata Tanempar dalam bahasa Yamdena Timur (Nustimur) atau Tnebar dalam bahasa Fordata, yang berarti ”Terdampar”. Badendang adalah salah satu jenis tarian rakyat Tanimbar. Dari sekian banyak tarian khas Tanimbar, Badendang merupakan salah satu tarian yang popular, karena tariannya sederhana dan melibatkan banyak orang. Yang khas dalam tarian ini, yaitu; -Tidak banyak gerakkan yang ditampilkan. Hanya satu / dua gerakkan, yang polanya tidak banyak berbeda ( pola tetap: dua langkah maju, dan dua langkah mudur). -berbentuk lingkaran, -bergandengan tangan, -para penari tidak perlu memiliki keahlian/ketrampilan khusus, -siapapun boleh ikut badendang; perempuan, laki-laki, tua, muda dan remaja. -biasanya diiringi dengan lagu dan alat music (tifa, gitar, gambus, g...
Sebelum moratorium penebangan pohon atau penangkapan ikan dilaksanakan oleh pemerintah, masyarakat lokal di timur Indonesia telah memiliki sistem penjagaan alam lebih dahulu. Sistem itu dikenal dengan nama sasi. Sistem sasi adalah sistem pembatasan pengambilan sumber daya alam. Sumber daya alam, baik tumbuhan maupun hewan, hanya boleh diambil dalam jangka waktu tertentu (dikenal dengan istilah buka sasi). Sistem ini dilakukan untuk melestarikan keberadaan sumber daya alam di suatu daerah. Sistem sasi ini dilakukan hampir di seluruh daerah di timur Indonesia, yakni di Maluku dan Papua. Sistem ini amat erat kaitannya dengan hukum adat. Biasanya, pemuka adat akan bekerja sama dengan pemerintah desa untuk mengatur waktu sasi. Karena erat kaitannya dengan hukum adat, masyarakat pun akan cenderung mengikuti, meski tidak ada aturan tertulis yang mengatur. Apabila ada warga yang melanggar, berbagai sanksi pun dikenakan. Sanksi bisa berupa denda atau bahkan kerja sosial. Setiap daera...
Pada zaman dulu ada seorang lelaki yang pekerjaanya mencari kayu bakar di hutan. Suatu ketika dengan menggunakan perahu ia tiba di pantai Latuhalat. Tepatnya di ujung tanjung Latuhalat, Dusun Waimahu kemudian ia berjalan mendaki bukit, menuruni lembah naik dan sampailah ia di puncak gunung lalu ia mencari kayu-kayu di situ. Ketika matahari mulai terbenam lalu ia beristirahat, ia hendak menuruni lembah menuju ke pantai. Tetapi hari sudah malam, maka ia menggambil keputusan untuk bermalam di situ. Kemudian ia melihat-lihat dan matanya tertuju disuatu tempat yang sangat bersih. Malam itu bulan purnama cahayanya terang-menerang menerangi tempat itu. Ia hendak tidur tetapi ia belum dapat memejamkan mata, ia diganggu binatang-binatang kecil antara lain, agas, nyamuk dan ular. Tiba-tiba seekor ular datang menelanya kemudian memuntahkanya kembali tiba-tiba bunyi gemuruh seakan-akan membelah bumi ini, ia menjadi takut dan merinding bulu romanya. Saat itu pula berdirilah seorang bapak tua,...
Tradisi ini sudah menjadi tradisi turun temurun sejak tahun 1646, yang dilaksanakan setiap tujuh hari setelah Lebaran. Dalam bahasa daerah Morella, masyarakat menyebutnya 'Palasa' atau 'Baku Pukul Manyapu' yang artinya saling memukul dengan sapu lidi. Pada pelaksanaannya, para peserta yang merupakan pemuda Morella dibagi dalam dua kelompok atau regu. Tiap regunya berjumlah minimal 10 orang dengan memakai celana pendek, bertelanjang dada, serta memakai pengikat kepala merah (kain berang). Kedua regu tersebut, saling berhadapan. Setiap orang memegang batang lidi 'enau' yang berukuran besar (lingkaran pangkal 0,5 cm dan bonggolnya selebar 3-5 cm). Kemudian mereka saling memukul tubuh lawannya hingga luka dan berdarah secara bergantian. Menariknya, meskipun tubuh para pemuda itu sudah terluka, tidak ada yang marah apalagi dendam. Sebab luka dan darah itu merupakan simbol perjuangan melawan penjajah. Alkisah, atraksi ini awalnya merupakan permainan anak-anak di Benteng Kapahaha, Morella....
Tokoh Atuf yang legendaris ini hidup dalam memori masyarakat Maluku Tenggara, khususnya masyarakat yang mendiami Pulau Babar, Selaru, Yamdena, Kei Besar, dan sebagian Nusa Tenggara Timur. Pulau-pulau yang terpisah oleh lautan itu menjadi terhubung karena adanya kesamaan cerita tentang Atuf. Atuf hidup pada zaman purbakala, ketika jarak langit dan bumi sangat dekat. Saking dekatnya, orang di puncak gunung tinggi seakan sanggup menggapai langit dengan lambaian tangan. Pada masa itu, di langit hanya ada Matahari. Bila malam tiba, langit sangat hitam kelam karena belum ada bulan dan bintang-bintang. Bola Matahari berukuran sangat besar dibandingkan dengan Matahari yang ada saat ini. Jarak Matahari dengan bumi pun sangat dekat. Matahari terbit dan terbenam secara tidak teratur. Matahari berlaku seperti makhluk bernyawa sehingga sanggup mengatur pergerakan sendiri dengan seenaknya. Terkadang pada pagi hari, Matahari mengintip saja dari ufuk timur dan tidak menuju ke barat. Akibatnya, oran...