×

Akun anda bermasalah?
Klik tombol dibawah
Atau
×

DATA


Kategori

cerita daerah

Elemen Budaya

Cerita Rakyat

Provinsi

Maluku

Atuf Sang Penakluk Matahari

Tanggal 09 Mar 2021 oleh Widra .

Tokoh Atuf yang legendaris ini hidup dalam memori masyarakat Maluku Tenggara, khususnya masyarakat yang mendiami Pulau Babar, Selaru, Yamdena, Kei Besar, dan sebagian Nusa Tenggara Timur. Pulau-pulau yang terpisah oleh lautan itu menjadi terhubung karena adanya kesamaan cerita tentang Atuf. Atuf hidup pada zaman purbakala, ketika jarak langit dan bumi sangat dekat. Saking dekatnya, orang di puncak gunung tinggi seakan sanggup menggapai langit dengan lambaian tangan. Pada masa itu, di langit hanya ada Matahari. Bila malam tiba, langit sangat hitam kelam karena belum ada bulan dan bintang-bintang. Bola Matahari berukuran sangat besar dibandingkan dengan Matahari yang ada saat ini. Jarak Matahari dengan bumi pun sangat dekat. Matahari terbit dan terbenam secara tidak teratur. Matahari berlaku seperti makhluk bernyawa sehingga sanggup mengatur pergerakan sendiri dengan seenaknya.

Terkadang pada pagi hari, Matahari mengintip saja dari ufuk timur dan tidak menuju ke barat. Akibatnya, orang tidak merasakan adanya senja. Pada hari yang lain, Matahari terbit kemudian berjalan hingga ke atas kepala. Tetapi, setelah itu, kembali lagi ke ufuk timur. Matahari, kadangkala bergaya akrobat dengan melakukan gerakan maju-mundur, melompat-lompat, atau bahkan turun-naik. Pokoknya bergantung suasana hati sang Matahari. Setiap kali Matahari menunjukkan tingkah laku yang tidak normal, maka kehidupan orang-orang juga menjadi tidak normal. Menghadapi tindak-tanduk Matahari itu, orang-orang di Pulau Yamdena mulai jengkel melihat kelakuan Matahari. Masyarakat tidak senang karena masyarakat tidak bisa menentukan secara pasti waktu tanam atau panen di kebun. Jika Matahari bersembunyi dan malas keluar dari ufuk timur, maka orang-orang tidak dapat menjemur kacang yang baru selesai dipanen. “Sungguh Matahari adalah pengacau sejati,” keluh seorang perempuan. Dia hendak menjemur ikan asin yang masih basah, tetapi sudah tengah hari, Matahari masih bersembunyi di ufuk timur. Perempuan itu tetap meletakkan ikan di atas meja jemuran yang terbuat dari bambu. Ikan asin segar itu dibiarkannya tertiup angin, sebab langit mendung tanpa cahaya. Cara itu tidak akan membuat ikan asin menjadi cepat kering. Andai saja ada sinar Matahari, ikan asin akan kering hanya dalam satu hari. “Mestinya sekarang ini dia ada di atas kepala. Dasar kepala angin,” jengkel perempuan tersebut. Perempuan itu mengacungkan kepalan tangan karena kemarahannya memuncak. Dia melepas satu pukulan tinju ke arah ufuk timur, di titik munculnya Matahari.

Di sudut lain kampung Sifnana, seorang pria baru saja pulang dari kebun. Dia membawa sekarung penuh kacang hijau habis dipanen. Setelah biji-biji kacang hijau dilepas dari kulitnya, petani tadi hendak menjemur di pengeringan. Akan tetapi seharian itu, Matahari hanya bersembunyi di balik awan. Mendung kian tebal dan rintik hujan tercurah dari langit. Petani itu terlambat mengangkat jemuran. Dia menjadi cemas, jangan-jangan kacang hijau itu akan berkecambah sebab telanjur basah.

“Oi Matahari. Tampakkan dirimu meski hanya sehari saja!” teriak petani itu penuh harap. Dia menengadah ke langit, tetapi tidak ada tanda-tanda Matahari akan keluar dari persembunyiannya. Pengalaman perempuan pembuat ikan asin dan petani kacang hijau, juga melanda hampir semua penduduk. Semua orang punya pengalaman dan semua orang punya cerita. Tidak heran, setiap hari percakapan orang-orang Yamdena adalah tentang Matahari. Orang-orang di laut, di kebun, di pasar, maupun di dalam rumah, semuanya mempersoalkan Matahari. Anak-anak hingga orang tua, selalu membahas Matahari. Sekalipun demikian, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Matahari terlampau perkasa dan tidak bisa dijangkau dengan cara apa pun.

Keluhan orang-orang yang menderita akibat kegilaan Matahari sudah pernah didengar Atuf. Waktu itu, Atuf bersama adik perempuannya, Yaum Aratwenan, baru saja datang dari Pulau Babar ke Sifnana. Mereka tinggal di rumah Reresi-Aswembun. Di Rumah Reresi-Aswembun, ada tiga bersaudara, yaitu Afun Andityaman, Metanoli Abwaraman, dan Metyamren Mbamrenaman. Dari tempat duduknya di beranda rumahReresi-Aswembun, Atuf bisa melihat bermacam orang melintas di depan rumah. Sambil berjalan, orang-orang biasa bercerita dengan suara keras. Sebab itu, isi percakapan mereka pun bisa didengar oleh Atuf walau dari jauh. Atuf juga bisa melihat dua orang laki-laki Sifnana yang berjalan lambat-lambat. Tiba-tiba keduanya tampak berhenti di depan rumah Reresi Aswembun. Atuf memperhatikan kedua orang yang tampak gelisah dan marah. Sudah sejak tadi, mereka berdiri di situ. Topik pembicaraan mereka hanyalah Matahari.

“Matahari sangat sombong. Mungkin dia merasa paling menyala di langit itu sehingga dia seperti itu,” kata salah satu pria Sifnana itu kepada kerabatnya. Matanya lantas menengadah ke langit mencari-cari Matahari. “Ya, Matahari sombong. Andaikan saja ada seseorang yang punya kesaktian tinggi, kita minta orang sakti itu bertarung dengan Matahari. Kalau orang di sini tidak berani, kita bisa minta orang dari Seram, Kei, atau dari Babar supaya berkelahi dengan Matahari,” jawab pria Sifnana lainnya. Atuf yang sudah sejak tadi mendengar percakapan dua pria ini, akhirnya ingin melibatkan diri. Terlebih, Atuf mendengar kedua pria itu menyebut-nyebut Pulau Babar. Cepat-cepat Atuf keluar menemui kedua pria Sifnana yang masih berdiri bercakap-cakap. Dua pria itu berhenti berbicara ketika melihat sosok yang tiba-tiba keluar dari rumah Reresi-Aswembun. “Ada apa gerangan dengan Matahari, Saudara? Sejak tadi, saya mendengar kalian terus saja mempercakapkan Matahari.” Atuf bertanya kepada kedua orang Sifnana tersebut.

Dua pria itu memandang Atuf dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mereka baru pernah melihat lelaki kekar ini. Kedua orang itu saling berpandangan. Sejenak keduanya terkesima memandang postur tubuh Atuf. Tulang pipi dan rahang yang menonjol kukuh, lengan dan tungkai kaki berotot, dada lebar, dan kepalan tangan laksana godam.

“Kau terlihat seperti petarung. Siapa kau sebenarnya? Dari mana datang dan tinggal di mana gerangan?” Orang Sifnana itu bertanya sambil tetap mengamati Atuf dengan penuh kekaguman. Atuf tidak keberatan mendapat serangkaian pertanyaan beruntun dari orang di depan matanya. Dia malah senang sebab meskipun baru pertama berjumpa, orang-orang ini memperlihatkan keramahan. Dengan senang hati Atuf memperkenalkan dirinya. “Saya Atuf dari Pulau Babar. Saya datang dengan tiga saudara perempuan berlayar dari sana. Adik saya, Mangmwatabun tertinggal saat kami singgah di Pulau Selaru. Adik kedua bernama Inkelu. Dia bersama ayam jantan Wol Mkaa sekarang berada di Asutubun, Tanjung Anjing. Nah, saya bersama adik Yaum Aratwenan datang ke Sifnana dan tinggal di rumah ini,” urai Atuf panjang lebar.

Mendengar penjelasan Atuf, bola mata kedua pria itu berbinar-binar. Mereka bagaikan mendapat semacam harapan baru. Sekali lagi dipandanginya Atuf, lalu matanya dialihkan ke Matahari dengan wajah sangat serius.

“Kau lihat Matahari itu? Matahari telah membawa banyak kesusahan bagi orang-orang di sini. Kalau kau datang dari Pulau Babar, Oo.. saya sungguh yakin hanya kau saja yang sanggup mengalahkan Matahari,” kata salah seorang dari dua pria itu sambil mengelus bahu Atuf yang kekar. “Kami di sini, sudah kesal dengan tingkah laku Matahari. Kami sangat membutuhkan Matahari, tetapi setiap hari Matahari mempermainkan perasaan kami. Melihat postur tubuhmu, juga sorot matamu yang tajam, kami yakin kau sanggup mengalahkannya,” kata pria yang satunya. Mendengar apa yang diungkapkan kedua orang itu, Atuf hanya tersenyum tipis. Pikirannya mengembara ke mana-mana. Dia teringat tanah asalnya di Pulau Babar. Pada orang-orang yang ditinggalkan di sana. Terkenang pula dirinya kepada ketiga adik perempuannya yang berada di tiga tempat berbeda.

Selain itu, Atuf juga merenungkan dirinya sendiri. Ada semacam penyesalan dalam batin Atuf. Saat di Babar, sebagai bangsawan yang punya banyak harta, dirinya dan keluarga dilayani banyak pembantu. Hidup sebagai pembesar dan dilayani orang-orang kecil. Alangkah sia-sia semuanya. Begitulah yang terlintas di benaknya. Sekarang di Sifnana, orang-orang kecil, para petani, dan nelayan sangat perlu ditolong. Bukankah ini adalah kesempatan untuk menggunakan kemampuannya demi menolong orang lain? Hati kecil Atuf berkecamuk laksana gelombang lautan.

“Seumur hidup, baru pernah kali ini saya mendapat tantangan mengalahkan Matahari. Bagaimana mungkin?” kata Atuf dalam hati, sambil mengalihkan pandangan ke arah Matahari. Sang Matahari langsung berubah warna merah karena ditatap Atuf.

Sejak jumpa pertama dengan kedua pria Sifnana, Atuf lantas terdorong mengamati perilaku Matahari. Bersamaan dengan itu, dia juga mendengar keluhan orang-orang lain di Sifnana. Makin dia perhatikan, makin timbul niatnya untuk mengalahkan Matahari. Sebab hampir semua orang mengeluh hal yang sama. Pada suatu malam di rumah ReresiAswembun, Atuf mengutarakan niatnya kepada tiga saudara, Afun Andityaman, Metanoli Abwaraman, dan Metyamren Mbamrenaman, juga kepada adiknya Aratwenan. “Saya ingin bertarung dengan Matahari. Saya ingin mengalahkannya. Saya sudah lihat dengan mata kepala sendiri, bagaimana orang-orang di sini dibuat begitu tersiksa. Saya minta pendapat saudara-saudara sekalian tentang rencana saya ini,” ungkap Atuf membuka percakapan di beranda.

Meskipun kabar Atuf akan melawan Matahari sudah menjadi percakapan ramai di Sifnana, tetap saja niat yang dilontarkannya itu mengejutkan saudara-saudaranya. Sejenak, mereka terdiam. Suasana berubah menjadi hening. Tiap-tiap orang hanyut dalam pikiran sendiri-sendiri padahal Atuf sungguh ingin segera mendengar tanggapan setiap orang.

“Bagaimana saudara-saudara? Apakah diam ini berarti kalian semua setuju dengan rencana saya? Atau, kalian tidak setuju tetapi berat untuk mengatakannya?” desak Atuf. Dia sangat berharap ada pendapat dari para kerabatnya ini. Afun Andityaman meneguk kopi. Dia menghela napas panjang beberapa kali. Akhirnya dia angkat suara. “Ini bukan soal setuju atau tidak setuju, Atuf. Niat dan tekadmu sangat kuat dan luhur. Saya dan adik-adik menghargai. Akan tetapi, semua itu belum cukup,” tandas Afun sambil memandang Atuf. Afun kembali menarik napas dalam-dalam dan melepasnya pelan-pelan. Seakan ada suatu benda yang amat berat di dalam hatinya yang hendak dikeluarkannya. “Kau tidak bisa maju dengan hanya mengandalkan semangat dan kemampuan fisik. Ini melawan Matahari, bukan melawan kacang. Aku dan adik-adikku setuju kau maju bertarung tetapi dengan satu syarat. Kau harus punya paling kurang satu senjata andalan,” lanjut Afun. “Senjata andalan itu bisa kita dapat di mana? Katakan ada di mana, seberapa jauh pun kita akan ke sana untuk mendapatkannya,” adik Atuf, Aretwenan menyela, sambil mengarahkan pandangan ke arah Afun. “Ada di Latdalam. Di sana ada tombak ajaibyang dapat diandalkan. Hanya dengan tombak ajaib, Atuf bisa mengalahkan Matahari. Ya, hanya kau Atuf yang sanggup memegang tombak itu. Tombak ajaib tidak bisa digunakan oleh sembarang orang,” imbuhnya lagi. Afun lantas bercerita. Sebenarnya sudah lama orang-orang tersiksa oleh ulah Matahari. Beberapa kali, Matahari keluar dari persembunyian lalu turun sangat rendah. Akibatnya, kebun-kebun jagung dan kacang yang siap dipanen, seluruhnya hangus terbakar. Beruntung para petani menanam banyak ubi sehingga persediaan makanan tidak terganggu. “Bayangkan kalau Matahari itu datang ke atas kampung ini, tentu rumah kita semuanya hangus dan kita semua pasti hangus terpanggang,” kata Ayun dengan mimik serius.

Diungkapkan pula, orang-orang telah berusaha keras melakukan banyak cara supaya Matahari mau berubah. Masyarakat mempersembahkan sirih-pinang. Membaca mantra-mantra pemujaan terhadap Matahari. Nyanyian-nyanyian dilantunkan, tari-tarian dipertunjukkan kepada Matahari. Tak lupa, masyarakat mempersembahkan ayam jantan berwarna putih, dan beberapa cara lainnya. Semua itu dilakukan demi merayu Matahari supaya mau berlaku normal. Selain cara-cara tadi, menurut Atuf, ada juga yang mencoba melawan dengan membakar Matahari, menyiramnya dengan air laut, atau menyihirnya. Namun upaya-upaya itu tidak pernah berhasil. “Cara-cara baik dan tidak baik semua sudah dilakukan, tetapi semua sia-sia belaka,” terang Afun. Perbincangan antarsaudara di rumah Reresi-Aswembun itu berlangsung sangat serius. Saking serius, mereka merebahkan diri untuk tidur menjelang subuh setelah mencapai kata sepakat.

Ada tiga kesepakatan penting yang mereka buat. Pertama, Atuf pasti akan melawan Matahari. Kedua, Atuf harus membeli tombak ajaib untuk dipakai saat bertarung melawan Matahari. Kesepakatan ketiga, Afun bersaudara bertugas mencari tombak ajaib itu di Latdalam. Sehari setelah kesepakatan itu, Afun sendirilah yang pergi ke Latdalam untuk membeli tombak ajaib. Ketika Ayun bertemu penjual tombak ajaib, kakek penjual tombak itu terkejut. Sudah bertahun-tahun tombak itu disimpan di rumahnya dan tidak ada satu orangpun mau datang membelinya. Baru kali ini ada orang datang dengan niat membeli. “Saya bahkan memberikan tombak ini secara cuma-cuma kepada siapa saja. Akan tetapi, tidak ada satupun yang bersedia membawa pulang. Hari ini, ada orang jauh-jauh ke sini untuk membeli,” ucap sang kakek dengan riang. Ayun bercerita tentang Atuf yang kini sedang menunggu tombak tersebut. Sang kakek senang sebab pada akhirnya tombak ajaib itu bisa digunakan oleh orang yang tepat.

“Sampaikan salam dan hormat saya kepada Atuf. Meskipun belum pernah berjumpa, namun dari ceritamu, saya yakin Atuf akan sanggup melakukannya,” kata sang kakek ketika menyerahkan tombak ajaib kepada Afun. Sementara itu, sambil menunggu datangnya tombak ajaib dari Latdalam, Atuf saban hari mengamati pergerakan Matahari, dengan tingkahlakunya yang aneh-aneh. Atuf sampai pada kesimpulan, Matahari memang terlalu perkasa. Namun dia meyakini satu hal. Matahari ternyata angkuh. Baginya, keangkuhan Matahari adalah titik lemah. “Setiap keangkuhan akan runtuh pada waktunya, cepat atau lambat,” gumamnya sambil menerawang jauh ke belakang. Atuf teringat lagi kepada kampung halaman di Babar. Sebagai orang bangsawan dan punya segalanya, dirinya pernah terlena. Keangkuhan membuatnya tidak diterima oleh lingkungan masyarakat. Andai saja di Pulau Babar dirinya tidak menonjolkan harta dan kuasa, jalan hidupnya tidak harus sampai di Sifnana. Harta dan kuasa itulah yang disadari Atuf, telah membuatnya tercabut dan berjarak dengan orang-orang Babar. Atuf merenung. Niatnya melawan Matahari, bukan mau menunjukkan betapa dia kuat dan hebat, melainkan murni mau menolong orangorang di Yamdena. Mereka sudah bertahun-tahun dipermainkan Matahari.

Alangkah girangnya hati Atuf ketika Afun mengabarkan bahwa tombak ajaib dari Latdalam sudah tiba. Jiwanya bergolak ketika menerima tombak di tangannya. Ada getar-getar halus di dada ketika tangannya pertama kali menyentuh permukaan tombak. Dia pandangi tombak itu lamalama, makin kukuhlah tekadnya. Rasa percaya dirinya tumbuh tegak seperti tiang baja. Sebelum tiba waktunya bertarung melawan Matahari, Atuf melakukan serangkaian persiapan. Dia berlatih sendiri di Pantai Sifnana. Atuf berlatih dari yang paling dasar yakni cara memegang tombak sampai cara melemparnya ke udara. Atuf berlatih sejak pagi hari dan baru berhenti pada sore hari. Setelah beberapa kali berlatih, akhirnya Atuf menemukan rahasia keajaiban tombak dari Latdalam tersebut. Setiap kali Atuf melempar dengan segenap kekuatan fisiknya maupun emosinya, maka tombak itu bagaikan sebatang lidi saja. Tidak berarti apa-apa. Sebaliknya, jika Atuf melempar dengan kelembutan jiwa, maka tombak itu bagai bernyawa dan memancarkan seluruh kekuatannya yang ajaib. Setelah merasa persiapannya sudah memadai, Atuf kembali kepada saudara-saudaranya. Malam itu, Atuf ingin meyakinkan mereka semua bahwa tidak ada lagi pilihan lain. Pertarungan harus segera digelar dan tidak bisa ditunda lagi.

“Adikku Yaum Aratwenan. Saudara-saudaraku Afun Andityaman, Metanoli Abwaraman, dan Metyamren Mbamrenaman. Niat saya sudah bulat. Tekad saya sudah kuat, dan persiapan saya sudah matang. Sekarang sudah saatnya bagi saya untuk memasuki hari pertarungan melawan Matahari,” ungkap Atuf di rumah Reresi-Aswembun. Mendengar apa yang diutarakan Atuf tersebut, Aratwenan sangat lega. Begitu juga Afundan dua saudaranya. Mereka senang sebab Atuf melontarkan niat, tekad dan persiapannya dengan penuh percaya diri. Semuanya merasakan keharuan yang sangat dalam. Mereka akan melepas saudara lelaki mereka yang perkasa ke medan perjuangan yang berat. Sangat berat. “Baiklah. Kami semua berharap padamu, Atuf. Pergilah dengan jaya. Kami mendukungmu dengan doa. Semoga datuk-datuk dan leluhur merestui perjuanganmu.” ujar Afun sambil memeluk Atuf.

Kabar pertarungan Atuf telah menyebar ke mana-mana, dari mulut ke mulut Semua orang bersuka cita sekaligus tegang. Mereka tidak sabar melihat jalannya pertarungan dan hasil akhirnya seperti apa. Mereka berharap Atuf meraih kemenangan, tetapi mereka juga membicarakan kemungkinan terburuk. Jangan-jangan Atuf kalah. Jangan-jangan Atuf terbakar oleh semburan api Matahari. Hari masih subuh namun Pantai Sifnana sudah dipenuhi orang-orang kampung. Mereka datang ke pantai untuk memberi dukungan dan doa restu kepada Atuf. Mereka sungguh berharap Atuf dapat mengalahkan Matahari, sehingga kehidupan mereka dapat berlangsung secara lebih baik.

Orang banyak yang berkumpul di pantai, tidak datang begitu saja dengan tangan kosong. Orang kampung datang membawa pisang, ubi, kacang, dan dendeng untuk perbekalan dalam perjalanan laut. Semua itu dilakukan sebagai dukungan bagi perjuangan Atuf. Warga begitu merindukan perubahan kelakuan Matahari. Mereka menaruh harapan di pundak Atuf. Seorang pembantu Atuf bernama Lasusu datang mengabarkan bahwa perahu Selolone sudah siap diberangkatkan. Atuf pun melangkah dengan gagah. Ia membawa tombak ajaib dari Latdalam sambil melambaikan tangan kepada orang-orang yang datang memberi dukungan. Orang-orang pun memberi semangat ketika Atuf naik ke atas perahu.

“Hidup Atuf, hidup Atuf, hidup Atuf!” sahut orang-orang Sifnana yang melepas kepergian Atuf.

Perahu Selolone membawa Atuf dan para pembantunya menuju ke arah medan lintasan Matahari. Orang-orang Sifnana menyaksikan kepergian Atuf dengan campur aduk perasaan bangga dan haru. Ada yang percaya bahwa Atuf akan memetik kemenangan, ada yang mencemaskan dirinya. Mereka tetap berdiri atau duduk-duduk di pantai sambil menanti detik-detik berikut, apa yang akan terjadi.

“Kita berlayar ke arah Timur. Kita songsong dia di sana!” Atuf memberi aba-aba sambil telunjuknya diarahkan ke lintasan Matahari terbit di sebelah Timur.

Perahu Selolone melancar menerjang ombak perairan Pulau Yamdena. Atuf mengingatkan para pembantu agar selalu waspada setiap saat. Jangan lalai sedikitpun sebab jika Matahari kalap, bisa bertindak brutal. Matahari memang belum menampakkan diri. Atuf dan anak buahnya tetap tenang dan bersabar. Perahu Selolone terus maju dengan mantap. Mereka terus sampai di tengah lautan terbuka. Tiba-tiba perahu Selolone berpapasan dengan seorang nenek yang berlayar di atas perahu gosong. Kehadiran sang nenek secara mendadak, cukuplah mengejutkan. Pasalnya, sejak tadi mereka tidak melihat bayangan perahu gosong tersebut. Tiba-tiba saja nenek dan perahunya sudah di depan mata. Sekalipun demikian, Atuf dan para pembantunya tidak menaruh prasangka buruk pada nenek tersebut.

“Oh nenek perahu gosong. Siapakah sebenarnya nenek ini? Dari mana nenek datang dan hendak ke mana nenek pergi?” tanya Atuf kepada nenek itu.

“Tidak penting siapa ini saya, dari mana dan hendak ke mana saya ini. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya ke sini untuk memberi tahu kalian bahwa daerah ini berbahaya. Saya perlu ingatkan supaya kalian jangan jatuh dalam musibah,” teriak nenek perahu gosong Mendengar ucapan nenek, langsung saja Atuf meminta para pembantu menghentikan perahu sejenak. Nenek lantas mengarahkan perahunya supaya merapat ke badan perahu Selolone. Ketika kedua perahu benar-benar berhenti, nenek memandang tombak ajaib di tangan Atuf. Ia senang melihat tombak tersebut, tetapi juga senang melihat lelaki yang menggenggam tombak dengan mantap.

“Apakah kau adalah Atuf yang hendak melawan Matahari? O saya menaruh hormat untukmu. Semoga kau berhasil mengalahkan Matahari sebab sudah lama orang-orang membutuhkan pertolongan,” ujar sang nenek. Atuf terkejut, nenek ini mengenalinya. Dia lantas membungkukkan badan, membalas rasa simpatik yang ditunjukkan nenek. “Benar nenek. Saya Atuf. Semoga atas dukungan nenek, kami dapat berhasil melewati pertarungan dengan Matahari,” kata Atuf.

Nenek perahu gosong lantas mengingatkan Atuf dan para pembantunya agar tidak singgah di Tanjung Lamdesar. Dia mengaku bertugas mengingatkan para pelaut yang melintas di situ. “Teruslah berlayar dan jangan tergoda ke darat. Jangan sekali-kali ke Tanjung Lamdesar. Di sana adalah tempat pemali. Sangat berbahaya bagi keselamatan kalian,” pesannya. “Baiklah nenek. Kami akan tetap memburu Matahari dan tidak akan ke tempat pemali. Terima kasih sudah bersusah payah mengingatkan kami akan ancaman bahaya di darat,” jawab Atuf.

Nenek pun kembali mengarahkan perahu gosong menjauhi Selolone. Dia berlayar ke arah berlawanan dengan perahu Salolone. Atuf dan para pembantunya sudah tidak sempat memperhatikan lebih jauh. Mata mereka sudah kembali tertuju pada lintasan Matahari. Selolone terus berlayar ke Timur sampai akhirnya sedikit demi sedikit, pijar bola Matahari pun mulai kelihatan. Semakin lama semakin dekat dan ufuk timur makin terang, petanda Matahari sudah dekat. Atuf kembali mengingatkan para pembantu agar waspada setiap saat. Detik-detik penting sudah semakin dekat. “Semua siap di tempat masing-masing! Kalau situasi menjadi buruk, terjunlah ke dalam air supaya tidak terbakar!” teriak Atuf.

Atuf akhirnya mengeluarkan perlengkapannya yang sudah disiapkan sejak di Sifnana. Minyak kelapa dalam pinggan besar, papan lebar yang akan jadi perisai. Papan ini sudah diberi lubang. Pada lubang ini, tombak ajaib dapat ditempatkan. Ketika semakin mendekati Matahari, Atuf berdiri di depan Selolone. Seluruh perlengkapan sudah berada di tempatnya. Semakin dekat, Atuf merasa jiwanya sudah dititipkan di dasar laut atau melayang ke angkasa. Dia berusaha menenangkan diri setenang-tenangnya. Inilah saat yang dinantinantikan.

“Hai Matahari yang angkuh. Aku laki-laki Babar. Aku laki-laki Yamdena. Aku datang padamu. Keluarlah! Kita buat perhitungan!” Suara Atufnan lantang, terdengar membahana sampai di angkasa. Bahkan nun jauh di belakang sana, orang-orang Sifnana juga mendengar pekikan itu. Dari kejauhan, mereka tidak bisa melihat Atuf di atas Selolone. Akan tetapi, gerakan-gerakan Matahari yang berbahaya, dapat disaksikan semua orang di Sifnana. “Pertarungan sudah dimulai,” kata Afun kepada saudara-saudaranya yang masih bertahan di atas pasir Pantai Sifnana.

Suara Atuf itu ternyata sanggup membuat Matahari terpancing. Matahari menampakkan seluruh badannya, dan membuat gerakan berputar seperti cakram raksasa yang menyambar-nyambar. Sekali-kali cakram Matahari itu memuncratkan lidah api laksana muntahan naga raksasa. Satu semburan api, nyaris menjilat Selolone. Beruntung para pembantu Atuf sangat tangkas membuat gerakan menghindar.

Matahari hendak menyusun serangan baru dengan lebih dulu berlindung di balik awan. Atuf telah siap dengan tombak Latdalam. Begitu Matahari keluar dan hendak melepas semburan panas, Atuf lebih dulu melayangkan tombak ajaib ke dada Matahari. Lemparan tombak yang sangat tenang itu sangat jitu akhirnya benar-benar menembus badan Matahari, dan tertancap di sana. “Kena kau!” teriak Atuf.

Suara gelegar yang lebih dahsyat dari bunyi guntur, terdengar di seluruh daratan dan lautan. Orang-orang di Sifnana berlindung ke dalam rumah dan di bawah pohon. Mereka merasa ngeri mendengar bunyi yang sangat dahsyat. Sekalipun demikian, karena rasa penasaran, orang-orang kembali ke pantai, ingin mengetahui perkembangan selanjutnya Bunyi gelegar tadi ternyata akibat tikaman tombak ajaib di badan Matahari. Selain itu, Matahari memang retak dan terbelah menjadi dua keping. Keping paling besar tetap menjadi Matahari, sedangkan keping yang lebih kecil jatuh ke dalam laut. Dari dalam laut, barulah kepingan itu melayang lagi ke langit menjadi bulan.

Akibat Matahari terbelah dua, muncul juga berjuta serpihan. Semuanya melayang ke langit menjadi bintang-bintang. Sejak itulah, di langit terdapat bulan dan bintang-bintang. Ketika bulan dan bintang terbentuk, tombak ajaib milik Atuf masih tertancap pada badan Matahari. Matahari meringis kesakitan karena terluka parah. Ia melarikan diri keluar dari lintasan. Melihat gelagat Matahari seperti itu, Atuf memutuskan memburu Matahari ke manapun dia pergi. Apalagi, tombak ajaib itu masih ada di badan Matahari. Atuf tidak ingin tombak itu dibawa lari Matahari.

“Kejar. Jangan sampai lolos,” teriak Atuf memberi komando. Selolone melaju membelah gelombang. Dari perairan Pulau Yamdena sampai ke perairan Kei. Pada ujung perburuan, Matahari akhirnya menjatuhkan tombak di Pulau Kei Besar. Badan Matahari mengucurkan banyak darah. Darah itu tumpah berceceran di pantai LaranLereDaran. Dalam bahasa Kei disebut NguurLerLaran yang berarti pantai darah Matahari. Atuf turun dari Selolone. Dia melangkah perlahan di atas pantai LaranLereDaran sampai tiba di lokasi tombaknya tertancap di pasir. Dia mencabut tombak itu perlahan-lahan. Atuf mengelus-elus batang tombak dengan sayang.

“Terima kasih Tombak Ajaib dari Latdalam,” bisiknya saat mencium bagian mata tombak yang masih membekas darah segar sang Matahari. Atuf kembali ke Selolone. Dia menyerahkan tombak itu kepada pembantunya Ditsamar Aresyenan. “Jaga tombak ajaib dari Latdalam ini baikbaik. Saya pergi sekarang tetapi akan datang kembali dalam lima hari lagi untuk menjemputmu,” pesan Atuf kepada Ditsamar Aresyenan. “Saya akan menjaga sebaik mungkin,” jawab pembantunya. Atuf meninggalkan kampung yang hingga saat ini bernama LerOhoi Lim di Pulau Kei Besar. Dia bermaksud kembali ke Yamdena, sebab orangorang Sifnana tentulah sudah menunggu. Pastilah akan ada pesta sukacita di sana.

Atuf berdiri di atas Selolone. Dia menatap ke langit, terlihat olehnya, Matahari sudah sangat tinggi. Rupanya Matahari memilih jarak yang jauh lebih tinggi. Selain itu, peredarannya sudah sangat normal. Tidak ada lagi gerakan akrobat, naik-turun, melompat-lompat.

“Terima kasih, Matahari. Ini adalah pertarungan laki-laki. Pertarungan bersejarah. Kita selalu bertemu dalam persaudaraan abadi,” ujar Atuf, lalu membungkukkan badan memberi hormat.Sesaat langit mendadak mendung. Satu berkas sinar emas bagai benang cahaya dikirim dari atas sana. Atuf merasa kelembutan itu. Dia tersenyum dan melambaikan tangan kepada Matahari. Saat itu, Selolone berada persis di Tanjung Lamdesar. Atuf meminta para pembantu mengarahkan Selolone ke darat. Seorang pembantunya memohon supaya perjalanan tetap dilanjutkan sampai di Sifnana. Alasannya, orang-orang pasti sudah menunggu sebuah perayaan.

“Saya mau buang hajat,” ujar Atuf, membuat pembantunya mundur. Rupanya Atuf dan rombongan pembantu tidak ingat lagi pada pesan nenek di atas perahu gosong. Buktinya, Atuf tidak waspada ketika pergi ke daratan untuk buang hajat. Baru saja mengambil posisi duduk di situ, dirinya merasakan adanya sesuatu yang aneh menjalar ke seluruh tubuh. Atuf bermaksud berdiri karena tidak nyaman di situ namun dia sudah tidak sanggup berdiri lagi. Tubuhnya menempel dengan batu-batuan di sana. Saat itulah baru Atuf teringat pada pesan nenek perahu gosong.

“Sungguh, tempat ini adalah tempat pemali. Saya benar-benar lupa pada pesan nenek,” seru Atuf dengan penuh penyesalan. Dirinya merasa bersalah karena terlampau bersuka cita dengan keberhasilan mengalahkan Matahari, sampai lupa pada pemali yang dipesankan nenek perahu gosong. “Maafkan saya nenek perahu gosong. Nasihatmu tidak saya indahkan sehingga jadilah seperti ini. Kalau terpaksa saya akan abadi di situ, tidaklah mengapa, yang penting Matahari telah dikalahkan,” ucap Atuf. Demi menghadapi kemungkinan lain yang lebih buruk, Atuf meminta Lasusu membawa tas berisi daun sirih. Lasusu pun datang. Dia menyerahkan tas itu kepada Atuf. Saat keduanya terhubung oleh tas, giliran Lasusu juga menempel pada ujung tas. Bersama Atuf, keduanya sama-sama menempel pada batu. “Ah, saya juga lupa pada pesan nenek,” sesalnya.

Melihat Lasusu bernasib sama dengan dirinya, Atuf jadi iba. Air matanya menetes. Sungguh dia menyayangi para pembantu yang setia, bahkan sampai menjadi batu pun tetap bersama. Atuf tidak ingin semua rombongan menempel di situ. Maka diapun memerintahkan para pembantu di atas perahu agar segera meninggalkan tanjung pemali ini. “Teruslah berlayar. Jangan singgah di manapun sampai kalian tiba di Nam Ratu di dekat Sifnana. Pergilah dari sini sekarang!” Itulah perintah terakhir dari mulut Atuf sebelum akhirnya tubuhnya membatu bersama Lasusu. Para pembantu itu langsung menarik layar menuruti perintah Atuf. Mereka berlayar sampai akhirnya tiba di Sifnana. Di sana, mereka memotong layar besar disusul layar kecil. Setelah itu, mereka melompat ke daratan. Mereka berubah menjadi tupai, luak-luak, dan biawak. Hewan-hewan itu masih banyak dijumpai di sana saat ini.

Demikian juga layar besar sekarang telah menjadi temyatansilai, yaitu tempat jangkar besar. Begitu juga layar kecil yang menjadi temyatan susu marumat atau tempat jangkar kecil. Perahu Selolone telah menjelma menjadi Pulau Nus Kese, yakni pulau kecil di dekat Sifnana Bomaki-Ukur Laran. Pinggan besar tempat menampung minyak kelapa berubah menjadi batu di lokasi yang sama. Jangkar dan batu jangkar perahu juga berubah menjadi Nus Momolin atau Pulau Pamali.

Duka Cita dan Penghormatan untuk Atuf Penduduk Sifnana yang menyaksikan kekalahan Matahari, bersyukur atas peristiwa itu. Kemarahan mereka kepada Matahari, kini berubah menjadi rasa sayang. Matahari berpijar dengan lembut dan berputar secara teratur. Orang-orang sudah bisa merancang kehidupan mereka secara normal. Para petani dan nelayan sudah bisa berkebun dan melaut dengan perhitungan yang tidak meleset lagi.

Tadinya, orang-orang di Sifnana sudah menyiapkan sebuah pesta besar. Aneka bahan makanan seperti ubi, keladi, kumbili, kacangkacangan, pisang, babi, ikan dan sebagainya, sudah dikumpulkan warga. Tenun Tanimbar bertumpuk-tumpuk sudah dikumpulkan. Orang-orang berencana membentangkan kain tenun dari bibir pantai sampaike tempat pesta, apabila Atuf kembali ke Sifnana.

Rencana pesta sukacita akhirnya buyar. Para nelayan dan nenek perahu gosong memberi kabar duka bahwa Atuf telah jadi batu karena bersandar di batu pemali. Sekejap saja, sorak-sorai kemenangan atas Matahari, berubah menjadi tangisan pilu. Sebagian orang tidak percaya bahwa Atuf telah jadi batu. Mereka berlayar ke Tanjung Lamdesar dan menemukan bahwa kabar tersebut benarlah adanya.

Duka paling dalam tentulah di Rumah ReresiAswembun. Tiga saudara Afun Andityaman, Metanoli Abwaraman, dan Metyamren Mbamrenaman, serta adik Atuf, Aratwenan merasa paling kehilangan. Tangis Aratwenan terdengar sangat menyayat hati. Aratwenan sebenarnya masih larut dalam kesedihan yang dalam. Namun begitu dia melihat wajah orang banyak yang larut dalam duka, tergeraklah hatinya untuk melakukan sesuatu. Dia langsung mengambil selendang tenun menghapus air matanya. Setelah itu, dia pun melangkah ke arah kerumunan orang banyak. Tiga bersaudara Rumah Reresi-Aswembun mengikuti dari belakang, walau sebenarnya mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan Aratwenan. Aratwenan memilih berdiri di atas sebuah batu besar, sehingga dari atas sana, semua mata bisa memandangnya. Benar saja. Tanpa dikomando, orang-orang spontan mengarahkan perhatian kepadanya. Suasana berubah hening. Suara Aratwenan memecah keheningan itu.

“Saudara-saudara, yang sangat saya kasihi. Kita semua sedih, tetapi jangan sampai larut dalam duka. Atuf memang tidak pernah kembali lagi, tetapi cita-citanya sudah tercapai. Saya yakin, Atuf di Tanjung Lamdesar akan berbahagia sepanjang masa,’ ucap Aratwenan layaknya sebuah pidato. Orang-orang yang mendengar seruan Aratwenan merasa lega. Ada hiburan besar yang mereka terima. “Satu hal penting yang mau saya katakan adalah, apabila kita merindukan Atuf, tidak perlu kita ke Tanjung Lamdesar. Cukup tatapkan saja mata kita pada Matahari,” tandas Aratwenan. Kali ini, orangorang bertepuk tangan. Mereka terharu mendengar kata-kata Aratwenan yang kedengaran seperti rangkaian syair dalam sebuah puisi.

“Paling akhir, saudara-saudara. Saya sebagai saudara kandung Atuf, saya atas nama Atuf mau tegaskan bahwa Atuf tidak pernah mati. Dia hanya berubah menjadi batu, dan hal itu bukanlah sebuah kematian. Sebab itu, pesta tidak perlu ditunda. Kemenangan Atuf atas Matahari adalah kemenangan kita. Selamat berpesta,” ucapnya.

Kali ini orang-orang bisa tersenyum. Aratwenan telah mengubah dukacita menjadi sukacita. Semua orang lega. Atas restu saudara kandung Atuf, orangorang pun berpesta. Mereka menyanyi, berdendang, pukul tifa untuk menghormati Atuf. Karena Matahari juga sudah menjadi Matahari yang baik, warga pun menghormati Matahari.

Demikianlah Atuf. Riwayatnya telah menghubungkan Pulau Babar, Yamdena hingga Kei Besar. Kekurangan maupun kelebihan Atuf telah menjadi pelajaran berharga bagi orang Maluku terutama tempat-tempat yang terhubung oleh pengalaman Atuf. Bagaimanapun Atuf telah menaklukkan Matahari. Dia telah menjadi pemenang. Tidak ada yang sempurna. Akibat alpa dan lalai pada hal kecil, bencana besar bisa hadir tanpa bisa dihindari.

(disaring dari bebagai sumber)

Ditulis oleh: Rudi Fofid Diterbitkan/disunting: Kemendikbud

DISKUSI


TERBARU


Ulos Jugia

Oleh Zendratoteam | 14 Dec 2024.
Ulos

ULOS JUGIA Ulos Jugia disebut juga sebagai " Ulos na so ra pipot " atau pinunsaan. Biasanya adalah ulos "Homitan" yang disimp...

Tradisi Sekaten...

Oleh Journalaksa | 29 Oct 2024.
Tradisi Sekaten Surakarta

Masyarakat merupakan kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia saling terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyar...

Seni Tari di Ci...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Seni Tari Banyumasan

Seni tari merupakan salah satu bentuk warisan budaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cilacap. Tari-tarian tradisional yang ber...

Wayang Banyumas...

Oleh Aniasalsabila | 22 Oct 2024.
Wayang Banyumasan

Wayang merupakan salah satu warisan budaya tak benda Indonesia yang memiliki akar dalam sejarah dan tradisi Jawa. Sebagai seni pertunjukan, wayang te...

Ekspresi Muda K...

Oleh Journalaksa | 19 Oct 2024.
Ekspresi Muda Kota

Perkembangan teknologi yang semakin pesat tidak hanya ditemui pada bidang informasi, komunikasi, transportasi, konstruksi, pendidikan, atau kesehatan...

FITUR


Gambus

Oleh agus deden | 21 Jun 2012.
Alat Musik

Gambus Melayu Riau adalah salah satu jenis instrumental musik tradisional yang terdapat hampir di seluruh kawasan Melayu.Pergeseran nilai spiritual...

Hukum Adat Suku...

Oleh Riduwan Philly | 23 Jan 2015.
Aturan Adat

Dalam upaya penyelamatan sumber daya alam di kabupaten Aceh Tenggara, Suku Alas memeliki beberapa aturan adat . Aturan-aturan tersebut terbagi dal...

Fuu

Oleh Sobat Budaya | 25 Jun 2014.
Alat Musik

Alat musik ini terbuat dari bambu. Fuu adalah alat musik tiup dari bahan kayu dan bambu yang digunakan sebagai alat bunyi untuk memanggil pend...

Ukiran Gorga Si...

Oleh hokky saavedra | 09 Apr 2012.
Ornamen Arsitektural

Ukiran gorga "singa" sebagai ornamentasi tradisi kuno Batak merupakan penggambaran kepala singa yang terkait dengan mitologi batak sebagai...