Peninggalan purbakala prasejarah berupa Punden terdapat di Lebak, Banten tepatnya di Kampung Lebak Cibedug. Peninggalan purbakala terdapat di dataran tinggi Pegunungan Kendeng. Batu Menhir dan dolmen yang berada pada situs itu masih tetap pada posisi semula. Pundek berundak memiliki 9 teras yang berorientasi ke arah empat penjuru angin. Teras pertama yang berdenah bujur sangkar memiliki panjang 115 meter.
Pundek berundak itu berada tak jauh dari tepi sungai Cibanten yang konon pada zaman dahulu bisa dlayari sepanjang 13 KM dari Teluk Banten sampai ke Banten Girang. Tinggi punden berundak itu sekitar 5 meter dari permukaan tanah, dari tepian sungai terdapat anak tangga yang menuju punden berundak. Diduga pada zaman dahulu anak tangga itu digunakan para penganut tradisi megalitik untuk mensucikan diri di sungai sebelum melakukan upacara ritual.
Bukti daerah Banten telah memasuki masa sejarah diketahui sejak tahun 1974 saat ditemukannya sebuah batu bertulis di Munujul Pandeglang di aliran sungai Cidanghyang. Batu tersebut menggunakan aksara Palawa . Tahun 1950, De Casparis bersama mahsiswanya bernama Boechari berhasil membaca batu tertulis itu dan menyimpulkan prasasti tersebut adalah peninggalan raja Purnawarman dari Kerajaan Tarumanegara abad V Masehi.
Prasasti Munjul berisi dua baris huruf Pallawa seperti huruf pada Prasasti Tugu di Jakarta dan menggunakan bahasa Sansekerta, pertama kali ditemukan pada tahun 1947 dan pada tahun 1950 De Casparis bersama mahasiswanya yang bernama Boechari berhasil membaca tulisan pada prasasti tersebut yang berbunyi : "Wikranto yam wanipateh-prabhuh satyapara (k) ra (mah)- narendraddhwajabhutena- srimatah purnnawamanah ." Terjemahannya kira-kira seperti ini : "Ini adalah tanda keperwiraan, keagungan dan keberanian yang sesungguhnya dari raja dunia yang mulia Purnawarman yang menjadi panji-panji sekalian raja-raja." Berdasarkan temuan prasasti Muncul dapat ditarik kesimpulan sejak abad V Banten telah masuk ke dalam kekuasaan kerajaan Tarumanegara yang berkedudukan di daerah Bogor. Sumber : Museum Negeri Provinsi Banten
Wilayah yang berjarak 10 KM sebelah utara Serang merupakan pusat perdagangan teramai Asia Tenggara pada Abad XVI. Terdapat Museum Situs Kepurbakalaan Banten Lama yang menyimpan berbagai macam benda purbakala yang memiliki nilai sejarah tinggi. Disini pula tertinggal sejarah pasang surut Kesultan Banten yang diawali abad XV sampai keruntuhannya abad XIX.
Keraton Surosowan adalah keraton yang didirikan oleh Kesultan Banten dihancurkan oleh kolonial Belanda pada tahun 1813. Di sana terdapat Loro Denok dan Pancoran Mas adalah kolam pemandian keluarga Sultan Banten. Memiliki luas kurang lebih 4,5 hektar sudah termasuk areal benteng dan keraton. Namun kini yang tersisa hanya tinggal pondasi dan puing-puing yang berserakan.
Dinamakan mesjid Kenari karena letak mesjid yang berada di Kampung Kenari sekitar 3 KM dari Mesjid Agung Banten ke arah selatan. Tempat ibadah ini termasuk mesjid tua yang masih berfungsi sampai sekarang, sebagai peninggalan dari Sultan Abdul Mufachkir Abdul Kadir Kanari (1651). Sultan pertama yang mendapat gelar Sultan dari Mekkah. Beliau putra Sultan Muhammad Pangeran Ratu Ing Banten. Di lokasi ini terdapat makam puteranya Sultan Ma’ali Achmad.
Situs Kelapa Dua tidak luput dari penelitian para arkeolog, wilayah yang berada dekat dengan Kota Serang ini ditemukan sistem penguburan yang sesuai dengan berita naskah kuno yang diperoleh dari Eropa. Pada situs ini ada indikasi ditemukannya bekas kelenteng dan pemukiman Cina. Sehubungan dengan adanya berita tentang perjanjian Inggris dengan Cina pada tahun 1661. Perjanjian tersebut terjadi pada zaman Sulten Ageng Tirtayasa menyebutkan penanaman tebu yang berada di kawasan kekuasaan Kerajaan Islam di Banten. Diantara makam kuno bangsa Cina yang digali telah ditemukan pula mata uang logam Ratu Banten pada tahun 1556-1580 yang diperkirakan telah berumur sekitar 400 tahun. Makam tersebut dibuat dengan sistem cor dari bahan batu gamping.
Keraton Kaibon letaknya terpisah dari Keraton Surosowan dan Masjid Agung Banten. Kompleks bangunan ini terletak di Kampung Kroya sekitar 500 meter sebelah tenggara Kraton Surosowan yang berada di sisi jalur jalan Serang-Banten Lama. Di sisi selatan komplek bangunan ini mengalir sungai Cibanten. Keraton Kaibon merupakan bekas kediaman Sultan Syafiudin, seorang sultan Banten yang memerintah antara tahun 1809-1815. Setelah wafat digantikan oleh putranya yang baru berumur 5 bulan karena itu sementara pemerintahan dipegang oleh ibunya, Ratu Aisyah. Bentuk arsitektur bangunan lebih menonjolkan gaya archais dibandingkan dengan keraton Surosowan. Dilihat dari bentuk pintu-pintu gerbang dan tembok keraton. Jika diurut dari depan keraton ini memiliki empat pintu gerbang yang berbentuk bentar . Pada tahun 1832 keraton ini dihancurkan Belanda yang tersisa sekarang hanya pondasi dan reruntuhan dinding serta pintu masuknya.