Siti Pol Mage Lio adalah nama sebuah desa di daerah Kabupaten Ende Lio. Di sana hiduplah seorang ibu dan seorang bapak. Si ibu bernama Ose Lango Ladju Burak, sedang si ayah bernama Pati Lae. Kedua suami-isteri mempunyai 8 (delapan) orang anak yang terdiri dari 7 (tujuh) orang putera dan seorang puteri. Nama ke tujuh putera tersebut masing-masing adalah Lalaku Lalo deng, Bala Karung, Kasarua Maring Badjo, Eko Kaen, Wewe Ame, Mabu Kaeng, dan Jawa Ama; Si wanita bernama Tonu Nogo Gunung Wudjo Ema. yang biasa disingkatkan menjadi Nogo Ema atau Nogo Gunug atau Tonu Wudjo. Pada masa itu orang belum mengenal makanan pokok seperti padi dan jagung. Makanan pokok mereka pada waktu itu ialah batu dan buah-buah. Minuman mereka adalah air yang berlumpur. Ketika Nogo Ema atau Nogo Gunung telah dewasa maka oleh saudara-saudaranya ia hendak ditukarkan dengan gading dan kambing. Ini berarti ia harus dibawa dan dijual kepada penduduk di pedalaman Lio. Cara semacam ini menurut istilah Lamaholot di...
Dalam sebuah kampung yang bernama We-Kto-Talaka tumbuhlah sebuah pohon beringin besar tepat di depan istana dari raja Malaka. Daunnya sangat rindang. Pohon beringin itu biasa disebut dengan nama Hali Malaka. Suatu ketika hinggaplah seekor ayam betina pada salah satu cabang beringin itu. Ayam betina itu dikirim oleh Nai Maromak atau Yang Mahakuasa ke dunia ini. Bertepatan pula pada waktu itu raja sedang berjalan-jalan menghirup udara segar di bawah pohon beringin tersebut. Setelah dilihatnya ayam betina itu, raja Malaka langsung mengambil sumptnya untuk menyumpit ayam betina itu. Sementara raja mencari-cari tempat yang cukup baik untuk menyumpitnya, tiba-tiba raja mendengar suatu suara yang mengatakan: "Hai tuan raja Malaka, janganlah engkau membunuh saya dengan sumpitmu, sebaiknya marilah kita mengadakan perundingan lebih dahulu." Kemudian ayam betina itu menruskan pembicaraannya demikian. "Tuan raja jangan memubunh saya, oleh karena saya ini adalah utusan dari Yang Mahakuasa da...
Sulit selaki untuk memahami kepercayaan orang Donggo (Sumbawa Timur), karena mereka begitu tertutup dan amat takut untuk memberi penjelasan mengenai apa yang mereka yakini. Hal ini tentu disebabkan karena banyak peristiwa agama telah berusaha untuk menanamkan pengaruhnya, terutama peristiwa 1969, peristiwa 1974, peritiwa 1979, belum lagi peristiwa yang terjadi pada masa pemerintahan Belanda. Tulisan-tulisan tentang kepercayaan orang Donggo tidak cukup jelas, bahkan kadang-kadang tidak sesuai dengan apa yang mereka katakan. Misalnya J. Elbert (1912: hlm. 69) mencatat bahwa yang menjadi ncuhi hanya dari keturunan duna (belut), sedang P. Arndt (1952) mencatat bahwa dou deke (tokok) yang berhak menjadi ncuhi. Baik Elbert dan Arndt mencatat bahwa pada masa itu hanya terdapat 5 buah klen patrilineal yang exogam, sedang masyarakat sekarang mengenal lebih dari 13 buah klen. Jadi walaupun merek seolah-olah tidak berkembang dan tidak menjalankan kepercayaannya lagi, secara...
Suku Boti merupakan keturunan dari suku asli pulau Timor, 'Atoin Meto'. Wilayah Boti terletak sekitar 40 km dari kota kabupaten Timor Tengah Selatan, So’e. Secara administratif kini menjadi desa Boti kecamatan Kie. Karena letaknya yang sulit dicapai di tengah pegunungan, desa Boti seakan tertutup dari peradaban modern dan perkembangan zaman. Suku ini memiliki bahasa Dawan sebagai bahasa daerahnya. Ikatan Perkawinan (Maftus Neo Mafet Mamonet) Tahapan ikatan perkawinan merupakan kelanjutan dari kesepakatan yang sudah ditentukan pada tahap peminangan. Ikatan adat ini disebut Ma Fut Nekaf yang merupakan tahap penyerahan syarat dalam ikatan adat berupa sopi (minuman tradisional beralkohol) satu botol (waktu lalu), kini telah diganti dengan gula air satu botol dan satu kepingan uang logam (golden Belanda) bernilai 25 sen atau 50 sen. Dalam masyarakat Dawan, hal ini disebut dengan istilah Tua Boit Mese, Noin Sol Mese. Arti harafiahnya adalah penyerahan sebotol sopi da...
Kabeala merupakan senjata andalan dari Nusa Tenggara Timur (NTT) yang biasa dibawa para pria dengan diselipkan pada ikat pinggangnya. Bentuk dari senjata ini menyerupai parang, golok atau pedang dengan ukuran panjangnya sekitar 48 cm sampai 58 cm. Tentu saja senjata tajam ini digunakan untuk kebutuhan bekerja dan juga ada yang dipakai sebagai simbol kejantanan masyarakat NTT. Bentuk Kabeala Senjata ini memiliki banyak bentuk pada gagang serta sarungnya. Hal ini berfungsi untuk membedakan penggunaannya dalam masyarakat. Gagang yang menggunakan bahan baku kayu digunakan untuk pekerjaan bertani dan berburu. Sedangkan gagang yang menggunakan bahan gading atau tanduk digunakan sebagai senjata untuk mempertahankan diri. Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) yang banyak menggunakan senjata Kabeala yaitu wilayah pulau Sumba. Pulau Sumba ini terpisah dari ibukota provinsi Kupang dan lebih dekat dengan provinsi NTB. Di wilayah ini masih terdapat banyak hutan rim...
TOWE SONGKE merupakan kain tenun khas daerah manggarai, Kain tenun songke juga biasa di sebut lipa. Towe atau lipa dalam bahasa Manggarai untuk laki-laki disebut dengan "Tengge Towe/Lipa" dan untuk perempuan disebut dengan "deng Towe/Lipa". Towe Songke biasa digunakan baik di rumah maupun saat menghadiri ritual adat, ke gereja, ketika mandi dan tidur, saat kelahiran dan pernikahan, dan untuk membungkus orang yang telah meninggal. Songke juga bisa menjadi pemberian saat acara masuk minta (lipa widang) dari orangtua kepada bakal keluarga baru. Dan dari fungsinya Lipa Songke kerap kali dianggap sebagai "wengko weki," yang melindungi tubuh. Boleh dibilang, Songke itu menjadi jejak budaya Orang Manggarai. Saat ini, di kota-kota pusat administrasi wilayah Manggarai Raya seperti Ruteng, Borong dan Labuan Bajo, para pegawai pemerintah diwajibkan mengenakan Songke dalam bentuk jas atau kemeja sebagai salah satu usaha menghargai dan melestarika...
Pada dahulu kala di puncak gunung Kelimutu atau yang biasa disebut Bhua Ria (hutan lebat yang selalu berawan), terdapat sebuah desa yang di kepalai oleh Konde Ratu. Dalam daerah tersebut, terdapat dua tokoh yang sangat disegani, yaitu Ata Polo si tukang sihir jahat dan kejam yang suka memangsa manusia, dan Ata Bupu yang dihormati karena sifatnya yang berbelas kasih serta memiliki penangkal sihir Ata Polo. Walaupun memiliki kekuatan gaib yang tinggi dan disegani masyarakat, keduanya berteman baik serta tunduk dan hormat kepada Konde Ratu. Ata Bupu dikenal sebagai petani yang memiliki ladang kecil di pinggir Bhua Ria, sedangkan Ata Polo lebih suka berburu mangsa berupa manusia di seluruh jagat raya. Pada masa itu, kehidupan di Bhua Ria berlangsung tenang dan tenteram, sampai kedatangan sepasang Ana Kalo (anak yatim piatu) yang meminta perlindungan Ata Bupu karena ditinggal kedua orang tuanya ke alam baka. Karena sifatnya yang berbelas kasih, permintaan kedua anak yatim piatu tersebu...
Kerajaan Larantuka semula didirikan oleh seorang tokoh perempuan bernama Watowele bersama suaminya Pati Golo Arakian yang berasal dari keturunan bangsawan dari pulau Timor dari kerajaan Wehale merupakan tokoh peranakan perempuan bangsawan Jawa danjuga bangsawan kerajaan Wehale. erajaan itu semula lebih dikenal dengani kerajaan Ata Jawa sebelum akhirnya bernama Larantuka. Watowele senduru merupakan tokoh keramat yang diyakini dilahirkan dari gunung Ilemandiri dan merupakan cikal bakal keturunan satu – satunya dinasti yang memerintah kerajaan Larantuka dan juga dihormati sebagai keturunan langsung dari gunung / keturunan Ile Jadi. Baru pada pemerintahan keturunan ke – 3, yakni raja Sira Demon Pagu Molang kerajaan Larantuka menemukan bentuk pemerintahan tradisional yang lebih teratur yang tetap dipelihara hingga berakhirnya kerajaan Larantuka. Cerita rakyat versi lain Watuwele dan Lenurat dikatakan sebagai penduduk asli Larantuka yang di sebut Ile jadi. Pada mulanya penghuni lereng Gu...
Setiap memasukiawal tahun, tepatnya diakhir Januari atau permulaan Februari, warga Wanokaka menyelenggarakan ritual adat yang disebut Bijalungu Hiupaana yang berpusat di kampung Waigalli. Tanggal pasti ritual ini ditentukan oleh para rato berdasarkan tanda-tanda alam serta perhitungan bulan gelap dan bulan terang. Secara harafiah Bijalungu berarti meletakkan dan yang diletakkan adalah persembahan dan tanda berkat menyambut musim baru, sedangkan Hiupaana adalah nama sebuah hutan kecil berjarak kurang lebih 500m dari Waigalli, tempat tanda berkat tersebut diambil untuk selanjutnya di simpan di loteng rumah adat (uma daluk). Jadi Bijalungu Hiupaana berarti pergi ke hutan Hiupaana, karena di sanalah, tepatnya di sebuah gua kecil yang dianggap sakral, puncak upacara dilaksanakan. Upacara adat besar di Sumba Barat selalu merupakan kronologi dari serangkaian ritual yang berhubungan, yang jika dihitung hingga ke puncak upacara bisa berlangsung berhari-hari bahkan ada yang berminggu-minggu....