Pernikahan atau perkawinan dalam Batak Toba merupakan tahapan awal dimana kedua mempelai mulai memasuki adat Batak secara penuh. Seperti pada suku lain, Batak Toba menempatkan proses dan tahapan pernikahan merupakan sesuatu ritual yang sakral dan penuh makna. Sebab memulai suatu keluarga dalam adat Batak Toba berarti memulai suatu tahapan pembentukan lingkungan sosial adat kecil yang nantinya mampu menyokong adat horja yang lebih besar dalam ruang lingkup Dalihan na Tolu (baca Sekilas tentang Dalihan na Tolu ) dan bentuk pelaksanaannya dalam tata cara Suhi ni Ampang na Opat (baca Apa arti Suhi ni Ampang na Opat? ) . Adapun tata cara adat Batak dalam pernikahan yang disebut dengan adat na gok, yaitu pernikahan orang Batak secara normal berdasarkan ketentuan adat terdahulu seperti tahap-tahap berikut ini: 1. Mangaririt Sekarang ini ada yang melaksanakan acara paulak une dan maningkir tangga &nb...
Suku Mandailing sendiri mengenal paham kekerabatan, baik patrilineal maupun matrilineal. Batak Mandailing yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam. Dalam sistem patrilineal, orang Mandailing mengenal marga, bahwa marga dari ayah secara otomatis akan menurun kepada anak-anaknya. Dan beberapa nama marga yang termasuk Batak Mandailing adalah Harahap, Lubis, Nasution, Batubara, Hasibuan, Tanjung dan masih banyak lagi. Sedang sistem matrilineal, marga untuk menantu perempuan, biasanya akan mengikuti dari silsilah perempuan pengantin lelaki seperti ibu atau nenek dari pihak ibu. Seperti Kahiyang putri Joko Widodo, Presiden RI ke 7 yang mendapatkan marga Siregar yang sama seperti ibu dari Bobby Nasution. Pelaksanaan Pernikahan Mandailing menempuh yang spesifik adalah pelaksanaan pernikahan. Perhelatan perkawinan  tradisonal  Mandai...
Dalam Provinsi Sumatera Utara terdapat Kepulauan Nias, yang menyimpan begitu banyak kebudayaan. Masyarakat Nias memberi nama pada daerah tempat tinggal mereka dengan sebutan “Ono Niha” (Ono = anak atau keturunan, Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai “Tano Niha” (Tano = tanah). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Masyarakat Nias kuno adalah masyarakat yang hidup dalam budaya megalitik (batu besar) yang dibuktikan dengan peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman khususnya di Teluk Dalam (Nias Selatan), Onolimbu (Nias Barat)dan di tempat-tempat lain sampai pada saat zaman sekarang ini. Perkawinan dalam adat Nias merupakan hal yang paling penting dan sangat bersifat sakral. Masyarakat Suku Nias, menganggap bahwa perkawinan adalah kehidupan yang harus diteruskan diatas bumi ini karena harus dijalankan dengan hukum adat atau fondrako. 1. ...
Mengunyah sirih adalah sesuatu yang biasa di Nias. Tradisi ini disebut sebagai "manafo". Lima bahan yang digunakan; daun sirih (tawuo), kapur (betua), gambir (gambe), tembakau (bago), dan pinang (fino). Ramuan dari lima bahan ini disebut "Afo". Karena tradisi ini sangat hidup, "manafo" dianggap sebagai satu simbol budaya Nias dan sering menjadi bagian di acara tradisional di Nias, seperti upacara menyambut pengunjung penting. Sumber: http://www.museum-nias.org/istiadat-nias/
Di Sumatra Utara, tepatnya di tanah Batak masih memiliki sekelompok orang yang dengan teguh tetap menganut agama nenek moyang mereka yakni agama Parmalim, meski kita semua tahu bahwa sejak dulu agama ini tak pernah diakui oleh pemerintah dan sengaja diisolasi. Agama Parmalim sendiri berpusat di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Berdasarkan sejarah dan cerita dari penganut agama ini, konon Parmalim Hutatinggi dirintis Raja Mulia Naipospos (wafat 18 Februari 1956). Saat ini Parmalim Hutatinggi dipimpin Raja Marnakkok Naipospos, cucu Raja Mulia Naipospos. Di Hutatinggi sendiri, untuk menunjang pelaksanaan berbagai kegiatan dan ritual keagamaan berdiri sebuah kompleks yang disebut bale Pasogit (balai asal-usul) yang terdiri dari empat bangunan utama yakni Bale Partonggoan (balai doa), Bale Parpitaan (balai sakral), Bale Pangaminan (balai pertemuan), dan Bale Parhobasan (balai pekerjaan dapur). Bagi umat Parmalim, Bale Pasogit merupakan Huta Nabadia (tanah...
Budaya Ceng Beng merupakan budaya khas etnis Tionghoa di Indonesia. Ceng Beng jatuh biasanya pada bulan April, dan meliputi pembersihan dan ziarah kuburan keluarga dekat. Biasanya, para keluarga datang mengunjungi kuburan para almarhum 10 hari sebelum dan sesudah tanggal jatuhnya Ceng Beng. Mereka membersihkan batuan kuburan, memberi penghormatan serta menghidupkan lilin di sekitar kuburan tersebut. Asal mula Ceng Beng berawal dari seorang pemuda yang sangat mencintai orang tuanya. Ketika dia sudah menjadi salah satu pemimpin daerah, orang tuanya telah meninggal. Sayangnya, ia tidak mengetahui mana kuburan milik orang tuanya. Karena itu, ia meminta seluruh rakyat untuk membersihkan kuburan keluarga mereka dan memberi persembahan. Ketika akhirnya tinggal 2 kuburan berdekatan yang belum disentuh para rakyat, ia menyadari bahwa kuburan itulah kuburan orang tuanya. Tradisi ini diturunkan terus ke etnis Tionghoa dan menjadi bagian dari budaya Indonesia yang tidak kalah penting dengan...
Tentu saja kita tahu, kematian adalah suatu akhir dari perjalanan hidup seseorang. Ketika seseorang meninggal, ada kalanya dilakukan upacara adat untuk menghormati kepergiannya. Pada adat Batak, upacara adat yang dilaksanakan dilakukan dengan berpesta, merayakan dengan suka cita hingga 3 hari lamanya. Tergantung dengan umur dan status sebelum kematiannya, setiap orang yang meninggal memliki perlakuan yang berbeda-beda dalam penguburanya. DImulai dari anak yang belum lahir ( mate di bortian) , anak bayi ( mate di poso-poso ), anak-anak ( mate dakdanak ), remaja ( mate bulung ), dewasa yang belum menikah ( mate ponggol ), dan dewasa yang sudah menikah. Hanya ada satu kesamaan yang diperlakukan, menutupi tubuh yang sudah meninggal dengan kain...
Mangure Lawik merupakan kearifan lokal yang dilaksanakan masyarakat Tapanuli Tengah dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan berkah dari Allah agar dapat memperoleh hasil tangkapan ikan yang berlimpah. Dalam tradisi ini juga harapan, keinginan, agar masyarakat terhindar dari malapetaka yang menimpa mereka sehingga untuk mencegah hal tersebut sekaligus sebagai ungkapan rasa terima kasih, maka diperlukan dari tradisi tumbuhan atau sedekah laut. #OSKMITB2018
Mangure Lawik merupakan kearifan lokal yang dilaksanakan masyarakat Tapanuli Tengah dengan tujuan untuk mendapatkan keselamatan dan berkah dari Allah agar dapat memperoleh hasil tangkapan ikan yang berlimpah. Dalam tradisi ini juga harapan, keinginan, agar masyarakat terhindar dari malapetaka yang menimpa mereka sehingga untuk mencegah hal tersebut sekaligus sebagai ungkapan rasa terima kasih, maka diperlukan dari tradisi tumbuhan atau sedekah laut.