Di desa adat dan pemukiman pelosok, warga masih terlihat bangunan batu berbentuk kubus yang dijadikan makam keluarga. Jasad tak diletakkan terlentang, tetapi meringkuk seperti bayi yang berada dalam janin. Sebelum "disimpan" dalam kubur batu, jasad juga telah didandani oleh baju adat Sumba. dalam kain yang melilit di pinggang. Bagi kaum pria, katopo juga sebagao simbol kejantanan. Baik pria dan wanita di Sumba menggunakan katopo untuk alat bantu bekerja, baik di ladang maupun di peternakan. Sumber :https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180303194158-269-280241/5-tradisi-ajaib-masyarakat-sumba
Kede merupakan upacara kematian dalam tradisi Sumba. Keluarga maupun kerabat dari seseorang yang meninggal itu akan mengantarkan hewan ternak ke kediaman yang meninggal. Berbeda dengan pernikahan, dalam kede tak ada batasan jumlah hewan ternak yang wajib diberikan. Setelah hewan ternak diterima, pihak keluarga yang berduka langsung menyembelih hewan tersebut, lalu dimasak dan disajikan kepada pelayat. dipotong. Prosesi ini hampir sama dengan yang dilakukan masyarakat Tana Toraja, namun minus prosesi adu kerbau. Sumber : https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20180303194158-269-280241/5-tradisi-ajaib-masyarakat-sumba
Pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono VII, tradisi macapat mulai dipopulerkan kembali. Sultan Hamengkubuwono VII yang sangat peduli tentang pendidikan, industry, dan kesenian, mewajibkan parakeluarga kerajaan untuk mempelajari dan melestarikan tradisi macapat. Pada awal perkembangannya, macapat hanya diperuntukkan untuk keluarga istana seperti anak, adik dan kerabat raja; namun lama kelamaan para abdi dalem keraton mulai mempelajari dan menyukai tradisi tersebut; kemudian dikenal oleh masyarakat luas, sehingga pada tahun 1960-an didirikan sekolah khusus macapat bagi masyarakat. Selain di Keraton Yogyakarta, berdasarkan Babad Pakualaman dijelaskan bahwa tradisi macapat telah dilakukan sejak Pakualam I hingga Pakualam IV, pelaksanaannya setiap hari Jum’at di Pendapa Pakualaman. Macapat dibacakan oleh abdi dalem di hadapan adipati atau raja, dan keluarga kerajaan, serta terdapat orang yang bertugas untuk membedah atau menjelaskan isi dan maksud dari macapat tersebut....
Orang yang pertama kali menggagas upacara adat Saparan ialah: Bapak Purowidodo (Pak Lurah Widodomartani) bersama Kepala Dukuh Pondok Wonolelo pada tahun 1967. Keduanya memiliki ide dan gagasan untuk melangsungkan upacara dengan mengumpulkan trah atau keturunan Ki Ageng Wonolelo, dan merancang kegiatan yang akan dilaksanakan. Setelah bermusyawarah dan masyarakat bersepakat, semua keturunan Ki Ageng Wonolelo diundang dan diminta untuk mengumpulkan pusaka yang tersebar di beberapa tempat untuk disatukan dan diarak keliling kampong sampai ke tujuan akhir, yaitu kompleks makam Ki Ageng Wonolelo. Pusaka tersebut disimpan di dalam rumah Tiban. Warisan Pusaka Ki Ageng Wonolelo meliputi : Tombak, teken (tongkat) dan baju Ontrokusumo, disimpan di Pondok Wonolelo; kitab suci Al-Qur’an yang ditulis tangan oleh Ki Ageng Wonolelo, disimpan di Kalasan; Potongan Kayu Mustaka Masjid, disimpan di Cangkringan; bandil, disimpan di Jatinom, Klaten; dan kopiah, disim...
Upacara dandan kali atau becekan merupakan upacara yang dilaksanakan oleh masyarakat di beberapa dusun, yaitu: Dusun Kepuh, Dusun Manggong, dan Dusun Pagerjuang. Dusun-dusun tersebut berada di Desa Kepuharjo, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman. Dandan kali bertujuan untuk meminta hujan. Konon, di Desa Kepuharjo pernah mengalami kemarau panjang sampai 8 bulan, setelah kemarau panjang tersebut masyarakat meminta hujan dengan membawa sesaji, dan menyembelih kambing di Sungai Gendol. Tidak lama setelah upacara dilangsungkan, kemudian turun hujan yang lebat dan memberikan kesuburan di sekitar Kepuharjo. Istilah “Dandan Kali” juga diberikan karena tempat upacara berada di sungai, dengan harapan sungai tetap dialiri air dan tidak mengalami kekeringan; bukan hanya Sungai Gendol, melainkan sungai-sungai di sekitarnya seperti Sungai Kretek dan Sungai Kebeng. Persyaratan utama dalam upacara dandan kali adalah semua yang hadir atau mengikuti prosesi upacara berjenis kelamin...
Manten kaji dimulai tahun 1930-an yang diselenggarakan oleh salah satu keluarga orang terkaya di Semarang yang memiliki berbagai usaha. Manten kaji berfungsi sebagai perekat sosial dan budaya dalam masyarakat. Manten kaji terbentuk sebagai akulturasi kebudayaan Arab, Jawa, Cina, Melayu dan Eropa, sesuai dengan latar belakang terbentuknya Kota Semarang. Manten kaji adalah tata cara pernikahan sepasang mempelai khas Semarangan. Dinamakan manten kaji karena busana yang dikenakan mempelai pria menyerupai gamis atau jubah yang sering dipakai oleh mereka yang baru pulang menunaikan ibadah Haji. Pengaruh Arab terlihat jelas pada sorban yang dinamakan, begitu pula dengan kopiah alfiah yang dikenakan oleh mempelai pria seperti orang yang pulang haji. Baju mempelai pria model gamis beludru berlengan panjang. Tata rias Pengantin Semarangan model cengge (pengaruh budaya China) dengan bedak yang sangat tebal. Selop kedua mempelai serta sanggul Jawa mendapat pengaruh dari Kasunanan Surakarta...
Pemerintah, Saniri dan masyarakat Negeri Soya kembali menggelar ritual adat Cuci Negeri Soya. Cuci Negeri Soya dilaksanakan secara rutin setiap tahun pada minggu kedua bulan Desember. Adapun serangkaian acara adat lainnya, diantaranya Pembersihan Negeri, Naik ke Gunung Sirimau, Upacara Adat CuciNegeri, Cuci Air (Wai Werhalouw dan Unuwei) dan Masuk Kain Gandong.Adat Cuci Negeri merupakan Tradisi Masyarakat Negeri Soya yang harus terus dilestarikan. Merupakan tradisi yang sudah berlangsung dari tempo dulu hingga kini dan kepada berikutnya. Upacara Cuci Negeri selain untuk membersihkan Negeri juga berarti menyucikan diri dari perasaan perseteruan, kedengkian, curiga-mencurigai. Hal ini ditandai pada kegiatan mencuci tangan, kaki, dan muka di air Wai Werhalouw dan Unuwei. Untuk diketahui, Adat Cuci Negeri bukan hanya berdasar kepada warisan secara turun temurun, melainkan juga dengan maksud untuk memelihara dan menghidupkan nilai-nilai positif yang diyakini oleh masyarakat...
Tradisi Upacara Kalang Obong merupakan upacara kematian yang masih dipertahankan oleh masyarakat Kalang. Identifikasi suku Kalang dalam pengertian budaya Kalang obong ini merupakan sebutan untuk segolongan orang atau suku bangsa yang tersebar di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah. Kata “Kalang” berasal dari Bahasa Jawa yang artinya batas. Orang Kalang adalah sekelompok masyarakat yang diasingkan dalam kehidupan masyarakat luas, karena dahulu ada anggapan bahwa mereka berbahaya. Orang Kalang dibagi menjadi dua golongan, yaitu (1) Golongan Kalang Obong adalah golongan Kalang dari laki-laki yang berhak untuk mengadakan upacara obong; (2) Golongan Kalang Kamplong merupakan golongan Kalang dari keturunan perempuan yang tidak berhak mengadakan upacara obong karena dianggap tidak murni lagi, sebab suaminya berasal dari luar Kalang. Ada tiga alasan mengapa upacara obong masih dipertahankan oleh masyarakat Kalang: Upacara obong dilihat dari faktor keyaki...
Banda Naira punya banyak keunggulan budaya yang pantas dipromosikan sebagai daya tarik wisata. Salah satunya adalah Tari Cakalele Banda yang biasa ditemukan di kampong (desa) Lontor, kampong Baru, kampong Waer, kampong Salamong, kampong Negre dan kampong Run . Cakalele Banda terbilang unik di banding tarian cakalele di daerah lain di Maluku. Tarian ini merupakan perpaduan seni tari, seni busana dan seni berperang. Pakaiannya yang warna warni dihiasi dengan burung Cerderawasih diatas topi para penari, menyerupai motif kostum elite bangsawan pasukan kerajaan Inggris, terkesan mengagumkan siapa saja yang melihatnya. Tidak heran kalau Cakalele ini adalah tarian elite dan prestise bagi masyarakat Banda dan karena itu juga diperuntukkan untuk menerima tamu-tamu terhormat yang datang ke Banda. Namun tidak setiap saat tarian Cakalele ini dapat dipentaskan, karena disamping biayanya yang cukup mahal, mencapai jutaan rupiah sekali masa pentas, juga Cakalele selalu berhubungan deng...