Sebagai masyarakat yang berbudaya, tentu sudah bukan hal asing bagi kita ketika mendengar kata naskah. Sudah sekian banyak naskah yang menjadi bukti betapa hebat dan cerdasnya bangsa kita ini. Karangan yang masih ditulis dengan tangan merupakan arti kata naskah berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Menurut Nabilah Lubis (1996) dalam bukunya yang berjudul Naskah, Teks, dan Metode Penelitian Filologi menjelaskan bahwa naskah merupakan segala peninggalan secara tertulis yang ditulis menggunakan tangan oleh manusia yang hidup di masa lalu, dengan bahan berupa kertas, lontar, kulit kayu, ataupun rotan. Dengan megah dan hebatnya Nusantara, tidak sedikit naskah yang ternyata pada saat ini tidak tinggal di tanahnya sendiri. Pun tidak sedikit naskah atau manuskrip yang belum diketahui dan terdata secara resmi sehingga masih dikelola oleh perseorangan sebagai bagian dari warisan keluarga.
Suku Sunda dengan segala keluhuran hasil budayanya menjadi salah satu suku yang menyimpan banyak sekali catatan penuh makna sejak dahulu. Masyarakatnya sudah lama mengemas nilai-nilai integritas dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk dari keluhuran tersebut adalah masyarakat yang terbiasa dengan kegiatan menulis. Ternyata, hal-hal yang tertuang di dalam naskah-naskah yang ada menjadi penting di masa kini sebab menjadi sumber belajar dan menjadi memori kolektif bangsa. Banyak hal yang dimuat di dalam suatu naskah, permasalahan seputar kehidupan sehari-hari, nilai-nilai keagamaan, peristiwa penting yang terjadi, do’a-do’a, puisi serta karangan, dan hal lainnya. Salah satu naskah peninggalan secara turun temurun yang saat ini masih dapat terbaca dan dipelajari adalah naskah milik keluarga Abah Karta yang akrab disapa Abah Ata.
Naskah tersebut memiliki judul Tauhid dan Do’a untuk Keselamatan hidup ditulis oleh Uyut Aman yang kemudian dilakukan proses penyalinan naskah oleh Abah Oco Natajayakusuma. Naskah ini berisi nilai-nilai ketauhidan dan beberapa do’a untuk keselamatan hidup. Keyakinan masyarakat terhadap Allah SWT sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan nilai-nilai agama Islam telah dituangkan dalam naskah yang ditulis oleh masyarakat Suku Sunda, salah satunya adalah naskah milik Abah Ata ini. Sejak awal dibuat hingga saat ini, naskah ini berada di Kp. Lembur Sawah RT. 02 RW.02, Desa Cijeruk, Kec. Pamulihan, Kab. Sumedang, Jawa Barat.
Naskah ini ditulis menggunakan tinta hitam organik pada zaman dahulu yang lazimnya saat ini dikenal dengan sebutan harupat. Media yang digunakan adalah kertas berwarna kecoklatan dengan sampul yang terbuat dari daluang. Daluang sendiri merupakan kertas tradisional masyarakat Jawa yang termasuk di dalamnya digunakan oleh Suku Sunda. Kertas ini terbuat dari serat pohon mulberry, pohon ini dikenal oleh Suku Sunda dengan nama pohon saeh. Disinyalir kertas daluang ini merupakan kertas dengan serat terkuat dari jenis serat lainnya dalam penggunaanya sebagai media penulisan naskah kuno serta diperkirakan telah digunakan di Nusantara sejak abad ke-14 silam (Daluang, Kertas Tradisional Yang Mewarnai Tradisi Tulis Nusantara, 2020). Ditulis dalam bentuk karangan prosa dan syair berbahasa Arab, Sunda, dan Jawa dengan menggunakan aksara (huruf) Arab, Pegon, Sunda Latin, serta Aksara Cacarakan. Dengan deskripsi jumlah halaman naskah setebal 34 halaman yang memiliki ukuran 17,5 cm x 10,5 cm, namun ukuran sampul naskah memiliki perbedaan yakni 18 cm x 11 cm. Saat ini kondisi naskah dalam keadaan baik, hal ini dapat dilihat dari bentuknya yang masih terjaga, tulisan yang masih jelas dan dapat dilakukan proses transliterasi dengan mudah, serta tidak terdapat kerusakan yang berarti sehingga menghilangkan bagian yang lain.
Seperti yang telah tercantum dalam judul, naskah ini berisikan nilai tauhid serta do’a, yang lebih lanjut berisi mengenai sifat-sifat Allah SWT, sifat para Nabi, serta pengenalan terhadap malaikat. Terdapat perbedaan penggunaan aksara (huruf) dalam penulisan naskah ini, uniknya hanya terdapat tiga halaman saja yang memiliki perbedaan penggunaan aksara (huruf). Satu halaman ditulis dengan menggunakan aksara (huruf) Sunda Cacarakan, dan dua halaman lain ditulis menggunakan aksara (huruf) Sunda Latin.
Menurut penuturan Abah Ata, tidak semua bagian naskah dapat dibaca dan diamalkan oleh satu orang. Dalam kegiatan pembacaanya, satu orang memiliki bagian-bagian tertentu. Do’a-do’a yang terdapat di naskah ini pun dapat dibacakan ketika kita sedang berjalan, sehingga meskipun kita sedang melakukan aktivitas, kita tetap berdo’a untuk diberi keselamatan dan tetap mengingat sang pencipta. Setelah dilakukan proses transliterasi oleh mahasiswa Program Studi Sastra Sunda Universitas Padjadjaran, berikut ini hasil yang diperoleh dari dua halaman terakhir pada naskah yang ditulis dengan aksara (huruf) Sunda Latin.
Dipayungan kunu alus Dipindigan kunu suci Dipapat ku sabda Adeg-adeg Tanjung Jaya Perang ... panca tengah ... agung maha raja demanang tamala sareng hulu naga bari péré ku tanji malela remenak di Sumedang rangrang hurip langgeng lan kena ati. -“- Hekakaya isun sangiang tungal Nu nunggu dina jantung ... Arep teguh jaya hurip diri waras badan -“- Hekakaya isun Sangiang permana
Naskah milik Abah Ata ini merupakan satu dari sekian banyak naskah yang masih terjaga kelestariannya hingga kini. Utamanya, kita sebagai masyarakat Sunda harus mengenal serta melestarikan naskah-naskah yang ada. Naskah menjadi bagian terpenting dari peradaban suatu bangsa, sehingga menjadi runtutan memori kolektif bagi masyarakat dan negaranya. Institusi informasi serta kajian perpustakaan dan sains informasi berperan besar dan berkaitan erat dengan pelestarian naskah. Institusi informasi ini menjalankan upaya knowledge preservation dan heritage preservation. Hingga pada akhirnya, kumpulan informasi tersebut baik berupa naskah atau koleksi lainnya dapat lestari dan dapat didayagunakan dengan maksimal. Lestarilah budayanya, sejahteralah bangsanya.
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.
SMP Negeri 1 Berbah terletak di Tanjung Tirto, Kelurahan Kalitirto, Kecamatan Berbah, Sleman. Gedung ini awalnya merupakan rumah dinas Administratuur Pabrik Gula Tanjung Tirto yang dibangun pada tahun 1923. Selama pendudukan Jepang, bangunan ini digunakan sebagai rumah dinas mandor tebu. Setelah Indonesia merdeka, bangunan tersebut sempat kosong dan dikuasai oleh pasukan TNI pada Serangan Umum 1 Maret 1949, tanpa ada yang menempatinya hingga tahun 1951. Sejak tahun 1951, bangunan ini digunakan untuk kegiatan sekolah, dimulai sebagai Sekolah Teknik Negeri Kalasan (STNK) dari tahun 1951 hingga 1952, kemudian berfungsi sebagai STN Kalasan dari tahun 1952 hingga 1969, sebelum akhirnya menjadi SMP Negeri 1 Berbah hingga sekarang. Bangunan SMP N I Berbah menghadap ke arah selatan dan terdiri dari dua bagian utama. Bagian depan bangunan asli, yang sekarang dijadikan kantor, memiliki denah segi enam, sementara bagian belakangnya berbentuk persegi panjang dengan atap limasan. Bangunan asli dib...
Pabrik Gula Randugunting menyisakan jejak kejayaan berupa klinik kesehatan. Eks klinik Pabrik Gula Randugunting ini bahkan telah ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Sleman melalui SK Bupati Nomor Nomor 79.21/Kep.KDH/A/2021 tentang Status Cagar Budaya Kabupaten Sleman Tahun 2021 Tahap XXI. Berlokasi di Jalan Tamanmartani-Manisrenggo, Kalurahan Tamanmartani, Kapanewon Kalasan, Kabupaten Sleman, pabrik ini didirikan oleh K. A. Erven Klaring pada tahun 1870. Pabrik Gula Randugunting berawal dari perkebunan tanaman nila (indigo), namun, pada akhir abad ke-19, harga indigo jatuh karena kalah dengan pewarna kain sintesis. Hal ini menyebabkan perkebunan Randugunting beralih menjadi perkebunan tebu dan menjadi pabrik gula. Tahun 1900, Koloniale Bank mengambil alih aset pabrik dari pemilik sebelumnya yang gagal membayar hutang kepada Koloniale Bank. Abad ke-20, kemunculan klinik atau rumah sakit di lingkungan pabrik gula menjadi fenomena baru dalam sejarah perkembangan rumah sakit...
Kompleks Panti Asih Pakem yang terletak di Padukuhan Panggeran, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, merupakan kompleks bangunan bersejarah yang dulunya berfungsi sebagai sanatorium. Sanatorium adalah fasilitas kesehatan khusus untuk mengkarantina penderita penyakit paru-paru. Saat ini, kompleks ini dalam kondisi utuh namun kurang terawat dan terkesan terbengkalai. Beberapa bagian bangunan mulai berlumut, meskipun terdapat penambahan teras di bagian depan. Kompleks Panti Asih terdiri dari beberapa komponen bangunan, antara lain: Bangunan Administrasi Paviliun A Paviliun B Paviliun C Ruang Isolasi Bekas rumah dinas dokter Binatu dan dapur Gereja