Malang - Candi Sumberawan dulunya bernama Kasurangganan sebuah nama yang terkenal dalam Kakawin Negarakretagama, dan ditemukan pada tahun 1845 oleh arkeolog Hindia Belanda, dan merupakan satu-satunya stupa yang ditemukan di Jawa Timur. Candi Sumberawan terukur panjang 6,25 meter, lebar 6,25 meter, dan tinggi 5,23 meter.
Candi Sumberawan yang terletak di Desa Toyomarto, Singosari, Malang, menjadi salah satu ikon budaya di Bumi Ken Arok. Bangunan berlatarbelakang Budhisme, memiliki ciri khas tersendiri, yaitu wujud stupa tunggal, tanpa tangga menuju bangunan atas.
Garis-garis cahaya matahari pagi, mampu menembus celah-celah dedaunan pohon yang tumbuh begitu rapatnya di lereng Gunung Arjuno. Cahaya-cahaya putih itu, menyatu dengan lembut kabut tipis yang turun menyapa setumpuk batu andesit hitam tersusun dalam bentuk stupa.
Kawasan ini disucikan, karena memiliki sumber air suci, sehingga candinya difungsikan untuk pemujaan. Pensucian, dan pensakralan kawasan sumber air, oleh masyarakat di masa lampau, sekaligus memiliki fungsi efektif dalam menjaga kelestarian sumber air.
Kakawin Negarakretagama mencatat, tepatnya tahun 1281 Saka atau 1359 Masehi, candi tersebut menjadi jujukan Raja Hayam Wuruk untuk observasi mengelilingi daerah kekuasaannya.
Pada saat itu, Hayam Wuruk menggunakannya sebagai tempat istirahat sekaligus beribadah. Diduga, didirikannya Candi Sumberawan setelah adanya kunjungan Hayam Wuruk.
Salah satu keunikan Candi ini adalah tidak memiliki tangga naik ruangan di dalamnya yang biasanya digunakan untuk menyimpan benda suci, dalam artian hanya bentuk luarnya saja yang berupa stupa, tetapi fungsinya tidak seperti lazimnya stupa yang sesungguhnya.
Diperkirakan, candi ini didirikan sekitar abad 14 sampai 15 masehi yaitu pada periode Kerajaan Majapahit. Bentuk yang stupa pada Candi Sumberawan ini menunjukkan latar belakang keagamaan yang bersifat Buddhisme, dengan batur candi berdenah bujur sangkar, dan polos tidak berelief.
Pada batur candi yang tinggi terdapat selasar, kaki candi memiliki penampil pada keempat sisinya. Di atas kaki candi berdiri stupa yang terdiri atas lapik bujur sangkar, dan lapik berbentuk segi delapan dengan bantalan Padma, sedang bagian atas berbentuk genta, puncaknya telah hilang. Diduga dulu pada puncaknya tidak dipasang atau dihias dengan payung atau chattra, karena sisa-sisanya tidak ditemukan sama sekali.
Di sekelilingnya terdapat aliran sungai dan deretan lahan persawahan penduduk. Udara sekitar juga terasa sejuk. Hembusan lembut angin gunung membuat siapapun yang mengunjungi kawasan ini akan merasa dimanjakan.
Kawasan ini juga banyak ditumbuhi pohon pinus yang terlihat sangat indah. Sederet pesona tersebut membuat pengelola berinisiatif menjadikan Candi Sumberawan sebagai tempat wisata.
Di beberapa titik, bisa dijadikan background foto selfie para pengunjung. Selain itu ada pula pusat kuliner, lengkap dengan gazebo agar pengunjung bisa bersantai bersama keluarga.
Nama Sumberawan berasal dari dua kata yakni sumber dan rawan. Artinya kurang lebih sumber yang berasal dari rerawan atau rawa-rawa. Kawasan Sumberawan dahulu disebut juga sebagai Tanah Kasurangganan atau Tanah Bidadari, konon terdapat sumber air yang biasa disambangi para bidadari. Letaknya berada di lereng Gunung Arjuna, dengan ketinggian sekitar 650 mdpl.
Sumberawan pernah dipugar pada masa Hindia Belanda pada tahun 1937, dan tercatat, saat pemugaran berlangsung diketahui keberadaan sumber air tepat di bawah candi. Tetapi setelah semua proses rampung, aliran airnya jadi merembes ke mana-mana. Akibatnya, muncul sumber air baru di beberapa lokasi.
Sumber di bawah Candi Sumberawan mengalirkan air suci. Hal tersebut diakibatkan begitu kuatnya para pertapa yang melakukan ritual di dalam candi, hingga membuat sumber air ini menjadi Air Amerta atau Air Keabadian.
Sumber air ini dipercaya sebagai salah satu air suci yang diperebutkan para Dewa dan Raksasa sebagai sumber kesaktian. Air tersebut diperoleh lewat cara mengaduknya dengan Gunung Mandara, menggunakan tali berwujud Naga Besuki. Menurut hasil penelitian laboratorium air ini sangat jernih dan layak diminum secara langsung.
Situs purbakala yang dibangun abad 14 masehi ini, tidak hanya menarik pemerhati budaya, tetapi wisatawan juga. Otomatis, kehadiran pengunjung berdampak ekonomi disekitarnya, khususnya warga setempat.
Terhitung 11 warung yang tersebar di sekitar Candi Sumberawan, dan warung ini menjadi sumber pendapatan utama. Berbagai jenis kuliner bisa menjadi pilihan pengunjung, sekaligus menikmati pemandangan dan udara sejuk di sekitarnya.
Eksistensi ekonomi yang paling mencolok, terjadi malam hari, sedangkan siang hari, relatif minim, alias tidak terlalu banyak pembeli. Ngopi di warung, adalah segmen yang mendominasi, lantaran mereka tidak sekedar minum, juga membeli makanan, rokok, dan jajan.
Sebelum pandemi, pendapatan warung-warung itu, cukup untuk menambah devisa rumah tangga. Namun, ketika pandemi berlangsung, pendapatan terjun bebas, lantaran efek turunnya jumlah pengunjung.
Terkait jumlah pengunjung, dikatakan Sundari, warga Desa Toyomarto, penjaga tiket Candi Sumberawan, ada penurunan lebih dari 50% dibanding sebelum masa pandemi. Penurunan tersebut didominasi pengunjung berlatarbelakang pelajar atau mahasiswa.
Aktifitas outbond yang sering diadakan di sekitar Candi Sumberawan, nyaris tidak ada sejak masa pandemi. Padahal, peserta outbond berdampak pada perekonomian di lokasi tersebut, khususnya warung-warung.
Umumnya, pengunjung non pelajar atau mahasiswa, jarang mampir ke warung, ada yang membawa makanan maupun minuman dari rumah, dan ada yang kondisi perutnya sudah kenyang.
Keberadaan sumber air, ternyata mendatangkan ekonomi kreatif bagi warga setempat, yaitu jasa pembersihan karpet. Pemanfaatan air bersih yang mengalir cukup deras, menjadi solusi pemilik jasa persewaan perlengkapan untuk membersihkan aset berharga mereka. Sebelum masa pandemi, dalam sehari bisa 6 hingga 8 karpet yang dibersihkan sepanjang aliran sungai yang membelah areal pertanian.
Tetapi, di masa pandemi ini, hanya 2 hingga 3 karpet yang dibersihkan dalam sehari, itupun tidak tiap hari. Hal ini tidak lepas menurunnya request persewaan perlengkapan, otomatis mempengaruhi penggunaan karpet untuk berbagai acara.
Musani, warga Dau, Malang, mengaku, kedatangannya di sumber air sekitar Candi Sumberawan, tujuannya tidak berwisata, melainkan spiritual. Tetapi, spiritual yang dimaksudnya bukan secara umum, melainkan khusus, yaitu dunia pertogelan.
Ia meyakini, sumber air tersebut memiliki energi-energi yang mampu menghubungkan manusia dengan makhluk astral. Caranya, berendam di sumber air pada malam hari atau jam 0 hingga subuh atau sekitar jam 4.
Dikatakan Musani, dampak pandemi tidak berpengaruh pada dunia spiritual, dalam artian aktifitas maupun orangnya relatif tidak menurun, malah ada peningkatan.
Diakui atau tidak diakui, dampak pandemi merambah sektor ekonomi, khususnya di tempat wisata, termasuk yang berlatarbelakang budaya. Uniknya, hanya sektor “dunia lain” yang tidak dapat diganggu gugat, dalam artian tidak terkorelasi sama sekali domino effectnya.
Tidak jauh dari keberadaan candi, ada Patirtan Taman Sari Kasuranggan yang dibangun tahun 2021 dan terbuka untuk umum, dalam artian tidak tersekat background religi, aktifitas maupun personal. Partitan Taman Sari Kasuranggan sudah didatangi orang dari berbagai daerah dan berbagai latarbelakang religi, dengan aktifitas berbeda-beda.
Pembangunan patirtan ini, memang didesain multifungsi, dan airnya berasal dari sumber air di area Candi Sumberawan. Konsep pembangunan patirtan, mengacu kolaborasi Jawa dan Yunani. Kolaborasinya filosofi, kosmologi dan mitologi tentang air.
Ada 5 pancuran di patirtan Taman Sari Kasuranggan, 1 pancuran berwujud sosok dewi membawa tempayan dan 4 pancuran berwujud naga dalam mitologi Jawa kuno. Masing-masing pancuran berlatarbelakang berbeda, yaitu pembersihan, kesehatan, rejeki, derajat serta pamor.
Air mempunyai makna sebagai sumber kehidupan. Selain dimanfaatkan untuk kebutuhan kehidupan seperti minum, mandi,memasak, mencuci, irigasi dan lainnya.
Dari filosofinya, air selalu mengalir dari hulu yang lebih tinggi ke hilir yang lebih rendah, artinya dalam kehidupan kita harus rendah hati. Air itu selalu mengisi ruang-ruang yang kosong, artinya kehidupan kita selalu memperbaiki diri dengan mengisi ruang-ruang jiwa dan hati. Air selalu menghilir ke muara, artinya kehidupan kita harus punya tujuan dan konsiten.
Berbeda lagi dengan filosofi Yunani kuno, air adalah prinsip dasar segala sesuatu, yaitu air menjadi pangkal, pokok, dan dasar yang ada di alam semesta. Air adalah sumber kehidupan, artinya bahan makanan berbagai makhluk hidup yang semuanya mengandung air, dan semua makhluk hidup memerlukan air untuk hidup.
Ketika minum, kita minum air. Mandi, memakai air. Melihat hujan, bentuknya air. Ke pantai, sejauh mata memandang hanyalah hamparan air laut. Disekeliling kita air,tinggidan air, dalam artian keadaan membentuk kesadaran.
Patirtan Taman Sari Kasuranggan diyakini oleh beberapa pelaku spiritual, memiliki energi-energi positif yang dapat membangkitkan motivasi dan spirit.
Selain itu, ada yang menyebutkan, aroma mistis di patirtan membawa domino effect terhadap perubahan aura bagi yang berendam di tempat ini, dalam artian aura positif yang menetralisir maupun menghilangkan aura negatif. Dari kacamata lain, air yang berasal di sekitar sumber Candi Sumberawan, sangat bersih dan jernih, serta memiliki kandungan mineral cukup tinggi. (dodik)
Bahan: 1 buah tomat, potong dadu 2 ekor ikan tongkol ukuran sedang (1/2kg) 1/2 bks bumbu marinasi bubuk 1 sdt bawang putih Secukupnya garam Secukupnya gula 7 siung bawang merah, iris 5 buah cabe rawit, iris 2 batang sereh, ambil bagian putihnya, iris 3 lembar daun jeruk, iris tipis-tipis 1 bks terasi ABC Minyak untuk menumis Secukupnya air Cara memasak: Cuci bersih ikan tongkol. Taburi bumbu marinasi desaku, garam secukupnya, air 2 sdm ke ikan tongkol. Siapkan bahan-bahan. Iris tipis bawang merah, daun jeruk, seret, cabe rawit. Kukus ikan tongkol selama 10 menit. Lapisi dengan daun pisang atau daun kunyit. Boleh jg tidak d lapisi. Setelah ikan di kukus, goreng ikan. Tumis bawang merah dan bahan lainnya. Masukkan terasi yg telah dihancurkan. Setelah matang, masukkan ikan yang telah digoreng. Aduk hingga rata. Sajikan dengan nasi hangat. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/24995999?ref=search&search_term=dabu+dabu
Bahan-bahan Porsi 2 orang Bumbu Ikan bakar : 2 ekor ikan peda 1 sdm kecap 1/2 sdm Gula merah 1/2 sdt garam Minyak goreng Bahan sambal dabu-dabu : 7 buah cabe rawit merah, iris kecil 1 buah tomat merah, iris dadu 3 siung bawang merah,iris halus 2 lembar daun jeruk, buang tulang tengah daun, iris tipis 2 sdm minyak goreng panas Cara Membuat: Marinasi ikan dengan air perasan jeruk nipis dan garam secukupnya, diamkan 20 menit, kemudian panggang diatas teflon(aku di happycall yang dialasi daun pisang) sesekali olesi minyak plus bumbu ke ikannya(aku pakai bumbu kecap dan gula merah) panggang sampai matang. Cara bikin Sambal dabu-dabu : Campurkan semua bahan sambal dabu-dabu ke dalam mangkok kecuali minyak kelapa, panaskan minyak kelapa, kemudian siram diatas sambal tadi, sajikan ikan peda bakar dengan sambal dabu-dabu. Sumber: https://cookpad.com/id/resep/15232544?ref=search&search_term=peda+bakar
MAKA merupakan salah satu tradisi sakral dalam budaya Bima. Tradisi ini berupa ikrar kesetiaan kepada raja/sultan atau pemimpin, sebagai wujud bahwa ia bersumpah akan melindungi, mengharumkan dan menjaga kehormatan Dou Labo Dana Mbojo (bangsa dan tanah air). Gerakan utamanya adalah mengacungkan keris yang terhunus ke udara sambil mengucapkan sumpah kesetiaan. Berikut adalah teks inti sumpah prajurit Bima: "Tas Rumae… Wadu si ma tapa, wadu di mambi’a. Sura wa’ura londo parenta Sara." "Yang mulia tuanku...Jika batu yang menghadang, batu yang akan pecah, jika perintah pemerintah (atasan) telah dikeluarkan (diturunkan)." Tradisi MAKA dalam Budaya Bima dilakukan dalam dua momen: Saat seorang anak laki-laki selesai menjalani upacara Compo Sampari (ritual upacara kedewasaan anak laki-laki Bima), sebagai simbol bahwa ia siap membela tanah air di berbagai bidang yang digelutinya. Seharusnya dilakukan sendiri oleh si anak, namun tingkat kedewasaan anak zaman dulu dan...
Wisma Muhammadiyah Ngloji adalah sebuah bangunan milik organisasi Muhammadiyah yang terletak di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Wisma ini menjadi pusat aktivitas warga Muhammadiyah di kawasan barat Sleman. Keberadaannya mencerminkan peran aktif Muhammadiyah dalam pemberdayaan masyarakat melalui pendekatan dakwah dan pendidikan berbasis lokal.