Memang terbilang cukup ekstrim jika mendengar makanan berbahan dasar ulat sagu. Namun itu lumrah di tanah Papua. Menurut masyarakat Papua, ulat sagu terasa legit dan gurih. Bisa dimakan secara langsung atau diolah terlebih dahulu. Bisa diolah dengan cara direbus, digoreng, kemudian disajikan dengan sambal. Ada pula yang mengolahnya menjadi sate terlebih dahulu sebelum dinikmati. (sumber : http://news.liputan6.com/read/2067571/kuliner-ekstrim-sate-ulat-sagu-enak-gila).
Honai merupakan tempat tinggal asli suku Dani yang mendiami wilayah pegunungan tengah Papua. Honai memang didesain khusus sebagai rumah yang melindungi dari hawa dingin. Sampai saat ini, honai secara turun-temurun masih dibangun sesuai dengan tradisi dan kondisi setempat. Honai berbentuk bulat. Atap hoani berbentuk kerucut atau kubah (dome). Material yang digunakan untuk membangun atap, yaitu menggunakan alang-alang atau jerami. Ukuran honai biasanya 5 meter sampai 7 meter. Honai yang dihuni oleh kaum wanita biasanya lebih pendek. Honai bagi kaum perempuan disebut “Ebeai ” . Nama honai laki-laki dalam bahasa Lani disebut “ap inakunu” dan honai perempuan disebut “kumi inawi .” Orang Lani mempunyai tiga honai, yakni honai bagi kaum laki-laki, honai perempuan dan honai yang dikhususkan untuk memberi makan atau memelihara ternak seperti babi. Menariknya, honai juga merupakan tempat pendidikan khusus. Honai laki-laki dew...
Dani adalah satu dari sekian banyak suku bangsa yang terdapat atau bermukim atau mendiami wilayah pegunungan tengah Papua, Indonesia. Mendiami keseluruhan kabupaten jayawijaya serta sebagian kabupaten puncak jaya. Suku dani merupakan suku yang mendiami suatu wilayah di lembah beliem dan tidak hanya dikenal sejak ratusan tahun yang lalu sebagai petani yang terampil, namun juga mempunyai tradisi yang diluar masuk akal yaitu tradisi potong jari. Tradisi potong jari sudah menjadi bagian kehidupan suku dani sebagai bentuk menunjukkan kesedihan dan rasa duka cita ditinggalkan oleh anggota keluarga yang meninggal dunia. Mereka menjadikan tradisi ini sebagai lambang dari kesedihan yang telah ditinggalkan. suku dani diwajibkan untuk memotong jari mereka ketika kerabat dekatnya meninggal dunia, dan mereka beranggapan dengan memotong satu jari, maka kesedihanpun akan ikut hilang bersama jari yang terpotong tersebut. Bagi suku dani, jari diibaratkan...
Tari Sajojo adalah sejenis tari pergaulan rakyat yang berasal dari Papua. Lirik lagu dalam tarian sajojo bercerita tentang seorang gadis cantik yang diidolakan oleh pemuda-pemuda di kampungnya. Salah satu jenis tari pergaulan ini mulai populer pada tahun 1990-an. Awalnya di kalangan militer yang pernah tugas di Timor, Maluku dan Irian. Tari Sajojo, memiliki kekhasan pada gerakannya yang meloncat bongkok, dengan dimulai dari kaki kiri. Iringan musik Sajojo, biasanya beirama Cha Cha Cha Ambon medly. Saking populernya tarian dan nyanyian Sajojo ini, kita dengar dimana-mana, hingga banyak sekolah, lembaga dan kelompok masyarakat memperlombakan tarian Sajojo. Bahkan tari sajojo telah dimodifikasi menjadi senam meski tanpa meninggalkan unsur-unsur aslinya. Kepopuleran tari Sajojo didukung pula oleh karakter tarian itu sendiri. Jenis tarian Sajojo adalah tarian grup yang tidak dibatasi jumlah penarinya.
Bila Anda berkunjung ke Papua, mungkin pernah melihat tarian yang satu ini. Tari yospan namanya. Tari yang merupakan kepanjangan dari yosim pancar ini adalah tarian pergaulan yang sering dibawakan muda-mudi sebagai bentuk persahabatan. Tarian ini adalah penggabungan dua tarian dari rakyat Papua, yakni tari yosim dan tari pancar. Yosim adalah tarian yang mirip poloneis dari dansa barat. Tari ini berasal dari Sarmi, kabupaten di pesisir utara Papua, dekat Sungai Mamberamo. Ada pula sumber yang mengatakan jika yosim berasal dari wilayah Teluk Saireri (Serui, Waropen). Sementara, pancar adalah tari yang berkembang di Biak Numfor dan Manokwari pada awal tahun 1960-an. Pada awal kelahirannya, gerakan-gerakan dalam tari pancar seperti “akrobatik” di udara, yakni gerakan jatuh jungkir-balik dari langit. Gerakannya mirip daun kering yang jatuh tertiup angin – dari pesawat tempur jet Neptune buatan Amerika Serikat yang dipakai Angkatan Udara Belanda di I...
Terdapat sebuah batu keramat di Gunung Kamboi Rama, Kepulauan Yapen Propinsi Papua. Di atas Gunung Kamboi Rama tersebut terdapat dua buah desa kecil bernama Desa Kamboi Rama dan Desa Aroempi. Desa Kamboi Rama dihuni oleh manusia sementara Desa Aroempi dipenuhi tanaman sagu milik tuan tanah bergelar Iriwonawani. Dari desa inilah asal mula legenda batu keramat. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, kaum laki-laki Desa Kamboi Rama berburu binatang sementara kaum wanitanya mencari sagu di Desa Aroempi. Sebelum mencari sagu di Desa Aroempi, penduduk desa biasa melakukan pemujaan kepada Dewa Iriwonawani. Dewa Iriwonawani Marah Seiring waktu, sagu di Desa Aroempi menjadi berkurang karena terus menerus diambil oleh penduduk Desa Kamboi Rama. Dewa Iriwonawani menjadi marah, kemudian memindahkan tananam sagunya ke daerah lain. Masyarakat Desa Kamboi Rama menjadi ketakutan. Atas perintah kepala suku, mereka segera pindah ke daerah pantai. Mereka mendirikan desa baru d...
Berikut ini cerita daerah Kisah Towjatuwa Dan Buaya Sakti di Sungai Rami. Cerita ini berasal dari daerah Papua, tepatnya Jayapura. Inti dari cerita ini adalah tentang tolong-menolong dan balas budi antara buaya sakti yang bernama Watuwe dengan Towjatuwa. Dahulu kala hidup sepasang suami istri di Kampung Sawjatami, Jayapura, Papua. Sang suami bernama Towjatuwa. Kala itu, istri Towjatuwa tengah hamil tua dan mengalami kesulitan dalam melahirkan bayinya. Suatu ketika sang istri menggigil karena mengalami pendarahan, namun bayi dalam rahimnya tidak kunjung keluar. Karena panik, Towjatuwa bergegas pergi ke seorang nenek dukun di kampungnya untuk meminta bantuan. “Nenek, nenek tolong…istri saya hendak melahirkan tapi si bayi tidak kunjung keluar. Istri saya kesakitan tolong nek!” Towjatuwa memanggil nenek dukun. “Baiklah, aku akan menyiapkan peralatan agar bisa membantu istrimu melahirkan. Kau pulanglah dulu, aku akan menyusulmu.” Ne...
Alkisah, di daerah Mimika, Papua, terdapat sebuah kampung yang dihuni oleh sekelompok suku Mimika. Mata pencaharian penduduk tersebut adalah memangkur sagu yang telah diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang mereka. Setiap hari, baik kaum laki-laki maupun perempuan, memangkur sagu di sepanjang aliran sungai di daerah itu. Suatu hari, beberapa orang dari penduduk kampung tersebut hendak mencari sagu dengan menggunakan perahu. Selain membawa alat berupa kapak dan pangkur,[1] mereka juga membawa bekal berupa makanan dan minuman karena kegiatan memangkur sagu tersebut memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga hari. Setelah beberapa lama melayari sungai, tibalah mereka di suatu tempat yang banyak ditumbuhi pohon sagu. Dengan penuh semangat, kaum laki-laki mulai menebang pohon sagu yang sudah bisa diambil sari patinya. Setelah rebah, pohon sagu itu mereka kuliti untuk mendapatkan hati sagu yang berada di dalamnya. Kemudian hati dari pohon itu mereka tum...
ALKISAH, dahulu di daerah Asmat hiduplah tujuh orang bersaudara yang telah yatim piatu. Ayah dan ibu mereka telah lama meninggal karena suatu penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Anak tertua dari tujuh bersaudara itu bernama Ker. Menyusul di belakangnya, adiknya yang bernama Okhrobit, kemudian Ovorirat. Anak yang keempat, kelima, dan keenam semuanya mempunyai sebuah nama, yaitu Beribit Ua,Beribit Enga,Beribit Uco. Dan yang paling bungsu adalah seorang anak perempuan, bernama Taraot. Ketujuh orang bersaudara ini sepeninggalan orang tuanya diasuh oleh neneknya, bernama Yamsyaot. Nenek Yamsyaot terkenal sangat keras dalam mendidik mereka. Mereka tinggal di suatu tempat yang terpencil, jauh dari kampung-kampung lainnya. Nenek Yamsyaot membuat sebuah rumah yang hangat bagi cucunya. Rumah itu terbuat dari tiang-tiang kayu dan ijuk sebagai tembok dan atapnya. Rumah tradisional ini terkenal di seluruh Irian Jaya dengan nama honay (honai). Pada suatu hari Ker araucasam ata...