Kalei Bunti (usung pengantin) Pengantin yang di usung pun yakni pengantin perempuan. Budaya ini masih dilestarikan oleh warga Desa Bolo sampai sekarang. Budaya Kalei Bunti ini sudah melekat dan tak bisa dipisahkan dari kehidupan warga masyarakat, khususnya di saat acara-acara pernikahan. Kalei Bunti ini ada di Desa Bolo Kecamatan Madapangga Kabupaten Bima-NTB. Budaya yang menjadi palaksanaan rutin warga ketika ada hajatan pernikahan ini sangatlah menarik, selain melestarikan budaya yang sudah turun temurun, Kalei Bunti juga menjadi suatu nilai keairifan lokal yang patut dilestarikan. Pelaksanaan acara ini diawali dengan pengantin perempuan akan diusung keliling desa, hingga berakhir di tempat kediaman pengantin itu sendiri. Adapun tempat dilaksanakanya acara Kalei Bunti ini, yakni berlangsung di jalan raya dan dimulai sekitar jam 22:30 wita (malam) hingga selesai. Sebelum dimulai, pihak keluarga pe...
Kapore dan koca adalah penganan manis dengan ditaburi kelapa parut diluarnya. Koca hanya ditaburi kelapa parut diluarnya. Sementara di dalamnya terdapat cairan gula merah. Kapore tidak ada cairan gula merah di dalamnya, tetapi cairan gula merah dicampur dengan kelapa parut di luarnya. Kapore dan Koca cocok untuk kudapan di siang hari terutama bagi para pekerja di sawah atau pekerja bangunan istirahat sambil menikmati kopi dan teh. Di kampung-kampung biasanya penjual menyebut Kapore dan Koca bersamaan. “ Weli Kapore Koca…..! “ artinya Beli Kapore Koca…!” Demikianlah pedagang asal kelurahan Penagara Kota Bima setiap hari lewat di depan rumah. bahan pembuatan Koca dan Kapore adalah beras ketan, gula merah, sedikit garam, dan kelapa parut. Khusus Koca, ditcampur air daun pandan yang ditumbuk untuk memberikan warna hijau pada Koca. “ Sekarang juga banyak yang menggunakan pewarna buatan, tetapi yang paling enak dan alami adalah dengan da...
Bolu Mantoi, demikianlah orang-orang tua di Bima sering menyebut kue tradisional Mbojo yang satu ini. Bolu Mantoi berarti Bolu lama, karena saat ini berkembang banyak sekali kue bolu yang dihasilkan dengan serba cepat melalui peralatan memasak yang kian canggih. Saya masih ingat, nenek saya dulu membuat Bolu ini dengan cetakan dari besi dengan bentuk bulat tetapi dibagian bawahnya lingkarannya agak mengecil. Bolu Mbojo rasanya tidak terlalu manis. Bahan pembuatannya adalah tepung terigu, telur, gula dan sedikit soda agar Bolu mengembang. pembuatan Bolu Mbojo dalam skala kecil dan untuk kebutuhan keluarga dibutukan 2 kilo terigu, 1 kilo gula pasir, 10 butir telur dan satu setengah sendok soda. “ Tapi kalau dibuat untuk kebutuhan hajatan atau dijual, maka kebutuhan bahan lebih banyak lagi. Bolu Mbojo masih tetap dijual di pasar Amahami Kota Bima. Kadang juga dijual dalam kemasan plastic dengan harga Rp.10.000. Di Pasar Amahami, Bolu Mbojo dijual dengan harga Rp.5.000 unt...
Penganan tradisional ini sangat sederhana dan berbahan dasar jagung dan kelapa parut dengan sedikit garam. Jago Sombu dijual di pasar Raya Ama Hami Kota Bima. Ina Sei, penjual Jago Sombu hanya duduk setengah jam menjajakan Jago Sombu dan langsung diserbu para pembeli. Jika kita kesiangan ke pasar Ama Hami, maka bisa dipastikan kita tak akan dapat membeli Jago Sombu. Penganan ini cukup diminati karena tidak manis dan cukup gurih disantap dengan kelapa parut yang ditabur di dalam Jago Sombu. Harga Jago Sombu cukup murah meriah yaitu Rp.1.000 untuk satu bungkus Jago Sombu menggunakan daun pisang. Jago Sombu sangat higienis menggunakan bahan jagung, kelapa parut dan dibungkus daun pisang. Menurut Ina Sei, Jagung yang sudah tua direbus dulu dengan afu atau kapur supaya kulit luar jagung terkelupas. “ Rebusannya setengah matang saja untuk mengeluarkan kulit dan putik hitam di jagung. “ Papar Ina Sei. Kemudian direbus lagi sampai masak. Jago Sombu kemudian ditaburi kelapa p...
Jauh sebelum diciptakan alat pemanas nasi yang beredar saat ini, para pendahulu kita sesungguhnya telah menemukan dan memanfaatkan perkakas tradisional untuk menghangatkan nasi. Penghangat nasi ini cukup alami dan jauh dari efek bahan-bahan sintetis yang berbahaya bagi tubuh. Perkakas ini hanya terbuat dari daun lontar yang dianyam khusus sebagai wadah penyimpanan nasi. Orang-orang Bima menyebutnya Sanduru. Sementara di Sambori menyebutnya dengan Saduku sebagai tempat/wadah untuk menyimpan nasi. Ketika orang-orang Sambori ke kebun atau ke ladang mereka selalu membawa makanan dengan Saduku. Ukuran Saduku juga bermacammacam, ada yang kecil dan ada juga yang besar. Saduku kecil dengan ukuran tinggi 25 cm dan lebar 20 cm digunakan untuk menyimpan nasi untuk ukuran satu sampai dua orang. Sedangkan yang besar dugunakan untuk kebutuhan lebih dari lima orang. “ Pengalaman warga Sambori, menyimpan nasi dengan Saduku bisa bertahan sampai 3 hari dan tidak basi.” Tutur Ina Sukarni,...
Lo’i artinya obat. Pa’i Piri artinya pahit. Ramuan ini adalah jamu bagi orang-orang Bima sejak dulu yang memiliki khasiat mengobati berbagai penyakit dan menambah nafsu makan. Dulu, orang-orang yang menekuni profesi sebagai peramu obat ini cukup banyak, terutama kaum ibu. Namun sekarang,sudah jarang ditemukan ibu-ibu yang menjual “ Jamu Bima “ ini. Satu-satunya peramu dan penjual yang masih tetap menekuni adalah Nenek Sa’adiah atau akrab disapa Ina Dau(65 Thn) yang setiap dua kali seminggu selalu keliling kampung Sadia dan sekitarnya menjual Lo’i Pa’i Piri. Jamu Bima ini diramu dan diracik dari berbagai bahan yang bersumber dari akar, serat dan kulit pohon-pohon berkhasiat yang ada di pegunungan Bima. Beberapa di antaranya adalah Kulit pohon Duwet, Rope Konca, Rope Tula. Disamping kulit pohon-pohon berkhasiat itu, Jamu ini juga dilengkapi bahan-bahan seperti kunyit, tamulawak, tempuyang, bawang putih dan rempah-rempah. Menurut Ina Dau, b...
Di tengah maraknya obat kimia, obat tradisional ternyata tidak ketinggalan daya tariknya. Praja Keta misalnya, walaupun obat tradisional ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu, sampai sekarang peminatnya masih tetap ada. Terbukti dengan masih banyaknya penjual Praja Keta di pasar ataupun di kampung. Duama Heyo, salah satu pembuat Praja Keta mengaku “Praja Keta ini masih banyak yang cari, yang buatpun masih banyak” akunya. Praja Keta merupakan obat tradisional yang berbentuk pil, bahannyapun sederhana, yaitu beras ketan hitam dan beras biasa yang dicampur dengan air. Walaupun bahannya sederhana, tapi tidak dengan khasiatnya. Praja Keta cocok untuk semua penyakit, baik penyakit yang berat maupun yang ringan seperti asma, kencing manis, penyakit mata, sariawan, dll. Duama Heyo menjelaskan bahwa “Praja keta ini cocok untuk semua penyakit, kalau panas dalam atau sariawam, tinggal kunyah 1 atau 2 biji, biasanya langsung sembuh” jelasnya. Jika dibanding...
Sebagian orang menyebutnya dengan Lawatu Puru.Tapi kebanyakan menyebutnya dengan Kawatu Puru. Penganan ini merupakan salah satu kue tradisional Bima-Dompu yang sangat akrab di tengah masyarakat ketika panen usai. Pada masa lalu, sebelum meninggalkan ladang dan tegalan, ibu-ibu membuat Kawatu Puru ini sebagai oleh-oleh dan rasa syukur atas selesainya panen padi. Memasuki kampung, rombongan “ Pako Tana” (Sebutan bagi warga yang pergi berladang) disambut seperti pahlawan yang pulang dari medan Juang. Nah, saat-saat indah itu lah Kawatu Puru dibagikan untuk disantap bersama. Kawatu berarti adonan. Sedangkan Puru artinya dipanggang. Jadi Kawatu Puru adalah adonan yang dipanggang. Bahan dasar penganan ini adalah Beras Ketan dan parutan Kelapa. Pertama-tama beras ketan direndam, kemudian ditumbuk (Sekarang digiling) sampai halus. Setelah dibuat adonan kemudian di dalamnya dimasukan parutan kelapa yang sudah dicampur gula merah. Selanjutnya dibuat bentuk seperti kepalan anak...
Nika Baronta atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan Kawin Berontak merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari romantika sejarah Bima yang tetap akan dikenang sepanjang masa. Banyak kisah dan peristiwa yang terjadi pada masa itu terutama antara tahun 1942 hingga 1945. Sejarahwan H. Abdullah Tayib, BA dalam bukunya Sejarah Bima Dana Mbojo menulis bahwa mungkin sebagian dari tanda-tanda kiamat itu telah terjadi di tanah Bima pada masa itu dimana, orang tua si gadis mendatangi perjaka untuk secepatnya menikahi putrinya. Kebijakan Nika Baronta dipicu oleh keinginan Militer Jepang untuk menjadikan Wanita Bima sebagai Jugun Ianfu (Pelayan Bar dan Wanita Penghibur) yang akan dikirim ke pulau Jawa dan Sumatera. Hal itu disampaikan oleh perwakilan Militer Jepang wilayah Sumbawa di Istana Bima kepada Sultan Muhammad Salahuddin. Mendengar informasi itu, Sultan yang dijuluki Ma Ka Kidi Agama itu (Yang menegakkan agama itu ) langsung memanggil para pejabat kerajaan, Jeneli (Camat), dan...